#25

301 31 2
                                    

Makan malam semalam terasa menyakitkan. Suasana lebih tegang dari biasanya. Dua petinggi dan semua pengawal pribadi tidak berada di meja makan. Semua menyambut dengan pertanyaan yang seragam ketika aku masuk ruang makan. Ibu dan ayah terlihat menjadi lebih mengkhawatirkan anak-anaknya.

Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah Datyani yang masih menginginkanku untuk celaka. Saat mengantar piring ke tempat cuci piring karena aku makan dengan lambat, sempat-sempatnya Datyani berkata 'harusnya Yugala tidak perlu datang, biarkan orang asing itu melukaimu dulu', 'kau bersifat sangat buruk hingga ada orang yang mencoba melukaimu', 'atau jangan-jangan itu disengaja supaya kau mendapat lebih banyak perhatian'.

Aku melempar piringku ke tempat cuci, mengangkat dagu dan dadaku, lalu berdiri di hadapan Datyani. 'Atau jangan-jangan kau yang mengirim orang itu dan Lawana membiarkannya kabur supaya kalian tidak ketahuan?'

Datyani marah, hampir menamparku kalau saja Denurtri tidak masuk dan menghentikannya. Mengatakan kalau kami akan diamuk ibu jika tidak berhenti. Datyani tentu saja tidak terima. Ia berdecak kesal lalu pergi sambil menubruk bahuku kencang.

.


Hari ini mungkin aku akan coba merubah pandanganku terhadap Denurtri. Dia tidak seburuk yang aku pikirkan. Dia menyelamatkanku dua kali kemarin. Dari Lawana dan Datyani.

Hari ini aku tidak diperbolehkan keluar kamar tanpa ada yang menemani. Setelah Astaka pergi tadi pagi untuk mengurus sesuatu, Endrasuta yang terus mengawasiku bersama beberapa pengawal lainnya. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan untuk keluar kamar tanpa di ikuti orang-orang itu hanyalah duduk di taman. Cindhe bersamaku membawa kertas-kertas yang Astaka berikan untuk belajar baca tulis. Satu hal lagi yang membuatku was-was adalah bagaimana jika tiba-tiba Cindhe bertanya apa dan bagaimana bacaaan dan tulisannya.

Siang ini Safield mendatangiku bersama Parwoko. Bertanya berbagai hal tentang apa yang terjadi semalam. Apa aku baik-baik saja, apakah aku terluka, apa orang itu sudah tertangkap dan hal lainnya. Parwoko membantu kami berkomunikasi supaya lebih mudah. Aku tersenyum sebaik mungkin meyakinkan kalau aku baik-baik saja.

Ditengah perbincangan dengan Safield dan Parwoko, Astaka datang dengan terburu-buru menghampiriku kami di taman dan menarikku berdiri, membisikan sesuatu di telingaku. "Ikut sebentar."

"Hey. Pelan-pelan." Safield berdiri menahan lengan Astaka ketika melihat ia menarikku menjauh dari yang lain.

Astaka terdengar menghela napas kasar lalu berbalik menghadap Safield. "Mau apa?"

Aku mendelik pada Parwoko untuk menghentikan Safield dan membawanya pergi. "Nanti kita bicara lagi." Aku tersenyum pada Safield saat Parwoko mengajaknya pergi.

Mendekati tangga, Astaka tiba-tiba berhenti membuatku menabrak punggungnya. Ia berbalik dan mendorongku ke tembok.

"Kenapa?" Aku mendongak menatap matanya.

"Mereka menemukannya. Orang asing kemarin." Astaka memastikan tidak ada seorangpun di sekitar mereka.

"Kamu menemukannya?"

"Panglima Lawana dan pasukannya. Paduka Karkasa tidak ingin anak-anaknya melihat, terutama kau." Astaka mundur menjauh dariku ketika beberapa pelayan lewat membawa keranjang-keranjang pakaian kotor. Mereka menunduk sopan ketika melewatiku dan Astaka. "Mereka pikir kau akan takut atau semacamnya."

"Lalu?"

Astaka kembali mendekatiku. Membuat seluruh tubuhku mendingin dan merinding. "Kita ke atas. Saya ingin kau lihat orangnya diam-diam."

"Oke."

Ada sebuah ruangan di lantai atas yang jendelanya mengarah langsung ke lapangan belakang tempat biasa prajurit latihan. Di tengah lapangan ada seseorang berlutut dengan kedua tangan terikat di punggungnya dan kepalanya ditutupi kain hitam. Di sekelilingnya beberapa anak buah Lawana berdiri untuk berjaga-jaga.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang