Aku tidur dengan sangat nyaman. Rasanya malam ini adalah malam ternyamanku tertidur di dunia ini. Beberapa malam sebelumnya tidurku tidak terlalu nyenyak. Selain karena rasa sakit dan keadaan buruk yang baru saja terjadi, berada di tempat baru –lagi- membuatku terus dihantui rasa takut dan tidak nyaman.
Tadi malam bibi Dasih datang setelah aku mandi untuk mengganti perbanku dan memperingati untuk menjaga lengan kiriku tetap kering. Selesai mengganti perban, bibi Dasih menawarkan diri untuk tinggal dan menemaniku. Aku menolaknya sambil mengatakan bahwa ada Cindhe yang bisa menemaniku.
Pagi-pagi sekali Cindhe sudah keluar dari kamarku. Aku mendengarnya membuka pintu lalu menutupnya kembali. Mungkin tubuhku sudah terbangun, tapi mataku masih berat sekali untuk terbuka. Tidak lama kemudian Cindhe kembali lagi dan sibuk menyusun sesuatu di meja tengah.
Tidak tahu apa lagi yang biasa dilakukan Cindhe pagi-pagi, aku kembali tertidur lelap. Hingga saat matahari sudah terang dan jendela-jendela kamarku terbuka. Aku merasakan seseorang mengusap-usap pergelengan kakiku.
"Al, bangun."
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Ketika membuka mata aku mendapati Astaka berdiri di ujung kasurku. Tangannya masih mengusap-usap pergelangan kakiku. Aku duduk dan menutup wajahku dengan kedua telapak tangan.
Rasanya aku belum siap. Aku masih ingin tidur. Mataku masih terasa berat untuk dibuka.
Astaka menarik tangan kananku supaya aku bangun dari tempat tidur. "Kau harus sarapan, mandi, kita harus ke makam." Kata Astaka.
Aku menurut dan mengikutinya duduk di kursi tengah. Cindhe sudah membawakan berbagai makanan dan buah. Dari sekian banyak makanan yang dibawa Cindhe tidak ada ubi atau jagung rebus di sana. Aku menimbang apakah aku harus memakan ubi lagi atau makan saja nasi dan sayur lauk yang ada.
Setelah ritual pagi itu, aku keluar kamar untuk menemui orang-orang yang dari kemarin ingin menemuiku. Aku katakan pada Astaka kalau mungkin aku tidak punya cukup energi untuk itu. Dia berjanji bahwa aku bisa menjauh dari orang-orang kapanpun aku mau.
Di ruang tamu dan ruang duduk berkumpul beberpa orang yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Kata Astaka itu adalah keluarga jauh kami. Aku hanya membalas basa-basi singkat mereka dan melanjutkan ke ruang tamu di mana ada paman Janitra dan Lingga yang harus aku ucapkan terima kasih.
Paman Janita, Lingga, paman Purwanka, dan paman Djati berdiri ketika aku datang. Paman Purwanka mempersilahkan aku duduk di sampingnya. Aku sudah tidak melihat di mana Astaka ketika aku duduk.
Sepanjang percakapan didominasi paman Janitra dan paman Djati yang mengenang masa muda mereka bersama ayah. Paman Janitra berkali-kali mengucapkan penyesalan-penyesalan tentang kenapa mereka tidak menjemput kami di perbatahan hutan atas, kenapa mereka tidak bisa datang lebih cepat, kenapa mereka bisa luput memberi keamanan di jalur-jalur yang akan dilewati.
Aku hanya tersenyum kecil sambil mengatakan bahwa itu semua sudah terjadi dan tidak ada yang bisa kembali. Masalahnya yang membuat percakapan semakin panjang adalah semua orang menyadari wajahku yang masih terlihat lelah dan sembap. Aku tidak suka bagaimana mereka memandangku.
Beberapa lama kami duduk, aku merengek pada paman Purwanka untuk mengunjungi makam ayah dan ibu.
Sebelum siang, kami berangkat ke pemakaman menggunakan dokar. Aku duduk bersama Dewani, istrinya paman Djati –bibi Rasmi-, dan Sura. Kata Sura, bibi Sadah masih belum bisa bergerak banyak. Jadi ibunya masih harus beristirahat banyak-banyak.
Sura terlihat cukup sehat. Luka terbuka di pelipisnya ditutup, beberapa memar diwajah dan lengannya terlihat menggelap, dan pergelangan tangan kirinya yang terkilir dililit tebal oleh kain.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Исторические романыNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...