Naik gunung, nyeberangi sungai, masuk hutan, dan tidak keluar lagi.
Itu yang aku tidak suka saat pulang kampung dan menginap di rumah keluarga bukan di rumah bude. Rumah keluarga di tengah hutan yang jika ingin kerumah tetangga kau harus melewati pepohonan lebat, semak-semak, dan kebon. Berlebihan. Tapi memang seperti itu.
Keluargaku adalah keluarga besar dengan garis keturunan yang aku tidak tahu apa istilahnya. Ada beberapa dokumen yang isinya adalah garis keturunan dan macam-macam istilah yang sangat aku tidak ingin tahu.
Aku tanpa sengaja menemukan dokumen tebal itu di dalam laci lemari di ruang tamu. Bersama sepupuku, kami membuka dokumen yang isinya hampir membusuk dan menjijikan. Sampul dokumen itu jelas saja menipu karena terlihat baru saja diganti.
Ada beberapa foto tua dan lukisan-lukisan yang kami yakin jika itu adalah nenek moyang kami. Nama-nama yang tertera adalah nama-nama khas jawa dan beberapa nama asing seperti Eropa dan Jepang. Seperti uyut papihku.
Namaku dan nama sepupu-sepupuku bahkan nama keponakan-keponakanku sudah tertera dalam dokumen menjijikan ini. Berpuluh-puluh tahun kedepan, kertas di mana tertera nama dan fotoku akan ikut membusuk seperti lembar-lembar sebelumnya.
"Mirip lu sih, Li!" Jehan menunjuk satu lukisan tua yang sudah memudar.
"Iyalah, buyut gua ini." Aku menunjuk nama belakang yang tertera di foto itu lalu berpindah ke dokumen satunya dimana ada grafik keturunan di sana.
"Buyut lu keren, sih!" Jehan melihat kolom nama di sebelah kolom nama buyutku. "Dapet orang Inggris."
"Situ tidak lihat mata sini biru?" Aku mengedipkan mataku dengan nakal.
"Gua colok lu!"
Aku tertawa saat Jehan mengacungkan kedua jarinya di depan mataku. Jehan ikut tertawa dan kembali membalik lembar berikutnya.
"ADUH GUSTI!" Kami berbalik kaget saat melihat nenek berjalan ke arah kami sambil berteriak. "Kalian sedang apa, ndok?"
Aku dan Jehan hanya diam.
"Nanti buku itu rusak." Nenek menutup dokumen-dokumen tebal itu, "Kembalikan ke laci." Jehan menurut dan mengembalikan kedua buku itu ke dalam laci lemari dan menguncinya.
"Darimana kalian dapat kunci itu?"
"Dari lemari dapur." Aku ikut berdiri di samping Jehan.
"Ya sudah. Main di tempat lain."
Jehan mendengus sambil berlalu dari hadapan nenek. Aku membuntuti Jehan sampai ke luar dan duduk di kursi panjang. Halaman rumah ini luas dipenuhi tanaman berbunga, pohon rindang, dan sebuah kolam ikan. Ditambah mobil-mobil yang terparkir.
Keluar dari halaman rumah, hanya terlihat pohon-pohon tinggi, semak, dan rerumputan. Jalanan di depan rumah tidak besar, hanya selebar tiga setengah meter juga hanya jalanan yang di aspal seadanya bahkan lebih dominan batu kerikil.
Jauh dari sini, pemandangan di depan rumah adalah gunung menjulang tinggi yang hingga kini aku tidak tahu gunung apa itu.
"Gua bahkan berasa mau mati baru tinggal 3 hari di sini." Jehan akan mulai mengeluarkan sumpah serapahnya lagi. "Ini tempat masih belum masuk sinyal apa?"
"Gua cabut ya, Je." Aku bangun dari kursi dan hampir belari menuruni undakan tangga.
"Mau kemana? Sebentar lagi gelap."
"Sebentar doang."
Aku menuruni undakan tangga di depan rumah dan berlari menyeberangi halaman. Di lapangan seberang jalan, sepupu-sepupuku yang lain bermain bola ditemani paman dan kakek.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Ficción históricaNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...