Kami kembali berjalan menyusuri hutan yang sudah gelap. Astaka terus menggenggam tanganku sambil berjalan mengendap di balik pohon. Dari jauh aku melihat ada cahaya obor yang bergerak mengikuti.
"Astaka." Kataku pelan.
"Berjalan lebih cepat, Al."
Kami hampir berlari menyusuri hutan. Menghindari siapapun orang itu yang mengejar kami. Aku rasa mereka melihat bayang-bayang kami dan berteriak mengejar.
Astaka menarikku ke depan dan memaksaku berlari lebih cepat.
"AAAAA!"
Aku berhasil menghindar ketika satu anak panah melesat dan menancap di pohon.
"Jangan berhenti, Al!"
Astaka melepas tanganku dan berhenti. Ia berbalik siap dengan pedangnya. Aku sempat menoleh dan Astaka berhasil menghadang tiga orang. Dua orang lainnya tetap berlari mengejarku.
"AAAAA!"
"AAAHK!"
Aku berhasil menyikut orang yang menangkapku. Belati ditanganku aku genggam erat dan aku ayunkan ke arah orang satunya lagi. Dia mengerang ketika aku berhasil mengenai lengan atasnya.
Orang yang tadi aku sikut menarik rambutku hingga aku terhuyung ke belakang. Tubuhku memberontak dan aku gagal mengayunkan belatiku ke belakang. Orang yang lengannya aku gores berjalan mendekatiku.
Tangan yang menarik rambutku beralih menahan kedua tanganku di belakang. Aku tidak tahu apakah dia tidak melihat belatiku atau bagaimana, tapi belati itu masih ada di genggamanku. Aku dorong tubuhku ke belakang hingga tubuhnya menabrak pohon.
"AAAAAHK!"
Belatiku menusuk mungkin perutnya. Tangannya melepaskan tanganku. Orang itu jatuh meringkuk di tanah.
Ambil keputusan Alia.
Tidak langsung aku cabut belatiku dariperutnya. Aku seret ke atas baru aku cabut dari tubuhnya.
"AAAAAAAHK!" Dia mengerang lebih keras dan meringkuk. Darah mengalir deras.
Tubuhku terjengkang ke belakang dan menabrak pohon ketika orang satunya menarik kasar bahuku. Semua orang-orang ini berpakaian sama dengan Lawana. Orang ini bertubuh kurus dan tinggi. Dia berdiri menjulang di hadapanku yang belum sempat bangun.
Tubuhku masih sakit karena Lawana kini harus kembali menghantam benda keras.
"Panglima Besar Lawana bilang kami boleh melakukan apapun padamu Ndoro Danastri."
"AAA!"
Aku berteriak ketika orang itu berlutut di hadapanku dan menarik kakiku ke arahnya.
DUAKH!
Aku berguling ketika tubuh orang itu jatuh ke arahku. Kepalanya membentur batang pohon dengan keras dan dia jatuh di tanah di sampingku. Buru-buru aku tarik tubuhku menjauh.
Kaki Astaka menendang kepala orang itu dengan keras hingga membentur pohon.
"Tapi tidak dia katakan kau bisa melakukannya selama ada saya."
DUAKH!
DUAKH!
DUAKH!
Astaka menendang bagian belakang kepala orang itu hingga dia memuntahkan darah.
"Astaka!"
Sinar rembulan yang menembus pepohonan memperlihatkan pemandangan tiga orang yang di hadang Astaka. Mengenaskan. Orang yang tadi perutnya aku koyak sudah tidak bersuara. Orang yang Astaka injak-injak kepalanya juga sudah diam membeku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Fiction HistoriqueNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...