#14

372 39 7
                                    

SELAMAT PAGI DUNIA!!!

Aku membuka jendela lebar-lebar. Sunah sudah menghilang sejak aku masuk kamar mandi dan sekarang aku melihat dia ada di pinggir kolam menonton ikan-ikan. Cindhe sudah menyiapkan pakaianku untuk pergi bersama paman Purwanka. Batara bilang, Astaka sudah pergi tadi malam bersama Yugala. Manusia itu bahkan tidak pamit dulu padaku.

Paman Purwanka menjemputku untuk membantunya memeriksa barang-barang. Ada beberapa gerobak yang sudah terisi penuh dengan pupuk dan bibit. Gerobak-gerobak itu sudah siap untuk ditarik oleh kuda.

"Paman, ada berapa lahan yang akan kita datangi?"

"Empat kepengurusan sawah dan tiga perkebunan." Paman Purwanka memiliki kontur wajah yang mirip dengan Dimas, dalam versi jauh lebih dewasa dengan jambang dan berowok yang cukup tebal. "Kenapa?"

"Tidak ada."

.

Para buruh tani terlihat senang bertemu tuan putri mereka. Danastri terlihat begitu dicintai rakyatnya. Aku mengelilingi pemukiman yang kemarin tidak Astaka tunjukan. Kata paman Purwanka aku sangat jarang pergi ke luar rumah, Dewani adalah putri yang paling dikenal rakyat. Menurut paman, Dewani punya banyak teman dari kalangan rakyat biasa. Bukan hanya teman-teman sepantarannya tapi juga keluarganya.

Rombongan kami berhenti di sebuah sawah yang begitu luas. Menunggu bibit diturunkan dari gerobak, paman mengajakku berjalan.

"Ndok, paman yakin kau sudah dengar kabar burung ini." Ambar mengikuti langkah kuda hitam paman Purwanka.

"Kabar apa?"

"Besar kemungkinan Paduka Karkasa menurunkan tahtanya untukmu." Paman Purwanka tersenyum bangga padaku. Danastri tidak tahu apa-apa soal ini.

"Tidak mungkin." Jawabku, "Ada Datyani dan Denurtri."

Kurang embel-embel 'Mbak', bodoh.

Pria di sampingku memandangiku sebentar sebelum kembali mengeluarkan senyumnya. "Rasanya Ndoro Denurtri tidak punya ketertarikan untuk ini dan semua orang masih kurang yakin dengan Ndoro Datyani."

"Astri tidak ingin membuat keributan soal itu." Sorry, Danastri.

"Paman tahu kau akan jawab seperti itu."

Tiba-tiba, seorang anak buah paman Purwanka berteriak memanggilnya.

"Astri ingin lihat ke sana." Kataku sambil menunjuk arah yang berlainan.

"Hati-hati."

Aku memacu Ambar terus mengikuti arah jalan. Ambar mulai menjauhi pemukiman dan persawahan. Kami mulai memasukin hutan. Semua baik-baik saja selama aku masih berada di lintasan jalan. Tidak akan tersesat.

Samar-samar aku dapat mendengar suara aliran sungai dan tawa anak-anak disertetai teriakan ibu-ibu. Seperti sungai tempat mandi, mencuci, dan kegiatan lainnya. Di ujung hutan, jalanan ini kembali membelah persawahan luas.

"Gunung?" Aku melihat gunung besar jauh di sana. Dari rumah, gunung ini hanya terlihat pucuknya saja. Tapi dari sini, gunung itu terlihat begitu gagah berdiri.

Wait. Something weird here?

Ada gubuk, sebuah pohon, dan batu besar di tengah sawah. Sesuatu yang sangat tidak asing bagiku. Tempat yang sama dengan sore itu, sore di mana aku pergi dari rumah setelah nenek memarahiku dan Jehan. Sore di mana aku duduk di batu besar memandang matahari yang mulai bersembunyi di balik punggung gagah sang gunung. Sore di mana Dimas menjemputku dengan motor besarnya. Sore di mana aku melihat batu besar itu bercahaya diterpa berkas sinar matahari.

"Ambar, kita jalan ke sana."

Langkah Ambar terhenti di tengah jalan ketika sebuah batu terlepar dan jatuh tepat di hadapan kami. Seingatku tidak ada siapapun di sekitar sawah ini, semua orang berkumpul di titik temu untuk pembagian pupuk dan bibit.

"KRAK!"

Satu batu lagi jatuh di dekat kami. Batu yang sedikit lebih kecil dari yang pertama. Aku mendongak dan melihat keadaan dan aku pastikan bahwa tidak ada siapapun di dekat kami.

"NGIIIIKK!"

"WOAAHH!"

Ambar tiba-tiba meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Dia begitu panik ketika sebuah batu tajam mengenai kaki kanan depannya.

"Ambar, STOP!"

Satu batu kecil mengenai kaki belakangnya. Hentakan kaki belakang Ambar hampir membuatku terjatuh jika tidak segera aku memeluk lehernya.

"AMBAR!" Dia berusaha melemparku dari punggungnya. "Ambar, STOP!" Kuda-kuda di sini memang terlihat sedikit lebih liar dari pada kuda-kuda di peternakan kuda milik om Erwin, ayah Ruby.

Jadi aku memilih menjatuhkan diri dari atas Ambar setelah dia sedikit lebih tenang. "Anjirrr!" satu umpatan ketika aku terjatuh dengan kakiku yang tidak tepat sasaran.

"Sssstt..." Aku memaksa kedua matanya untuk menatapku. "It's okay." Ambar berhenti tepat saat paman Purwanka dan beberpa prajurit datang.

"Ndoro Danastri, apa yang terjadi?"

Aku menjelaskan apa yang terjadi pada Ambar. Salah satu dari prajurit itu membungkuk dan mengambil batu-batu yang tadi mengenai Ambar.

"Ada yang bermain ketapel." Kami mengikuti prajurit tersebut memandang kesekeliling. Mendapati hal yang sama seperti yang aku lihat beberpa waktu lalu, akhirnya kami memilih untuk kembali.

Ambar menatap tepat di mataku. "You'll be fine."

"Kau mau naik tandu saja?" Tanya paman Purwanka setelah melihat kakiku kesusahan untuk naik kembali ke atas Ambar.

"Tidak, paman." Jawabku dengan senyum meyakinkan.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang