Cahaya merengsek masuk melalui celah-celah fentilasi. Suara-suara burung terdengar samar jauh di luar sana. Suasana sibuk mulai terasa walau aku belum bangun dari tempat tidur. Aku bahkan tidak berminat untuk bangun dan berniat kembali menutup wajah dengan selimut sebelum pintu kayu kokoh itu kembali diketuk.
"Ahk."
Masa bodoh dengan mereka. Tidurku sangat tidak tenang di tempat asing, tidak nyaman di kasur orang, tidak nyenyak di dunia lain. Aku tidak ingin diganggu orang sampai aku sendiri yang ingin menganggu mereka.
"Ndoro?" Masih suara yang sama setelah bermenit-menit lalu. "Sudah waktunya sarapan."
Aku menarik kembali kain ungu gelap menutupi tubuhku hingga kepala dan kembali memejamkan mata. Terdengar suara pintu terbuka dilanjutkan langkah terburu mendekati kasurku. Aku sudah menyiapkan telinga untuk mendengar suara Cindhe memanggilku untuk yang kesekian kalinya pagi ini.
"Danastri?"
Bukan suara Cindhe yang aku dengar. Suara itu berat, sedikit serak, dan dalam. Ada nada khawatir keluar dari sana. Persis seperti suara Ruby ketika melihatku sakit dan terbaring di tempat tidur.
"Tuan Putri baik-baik saja?"
Bedanya, Ruby akan langsung duduk di sampingku, mengguncang pelan tubuhku lalu mulai mengusap lembut lenganku dan menggangguku sampai mati. Tetapi aku tahu dia hanya berdiri di samping kasur tanpa berani mendekat.
"Suruh saja mereka makan duluan." Aku mengeluarkan tanganku dari selimut dan memberi tanda agar mereka pergi dari sini.
"Tapi Ndoro Ajeng juga harus makan." Aku merasakan Cindhe duduk di ujung kasur dengan hati-hati dan mulai menarik selimutku untuk melihat wajahku.
"Cindhe." Aku menyibak selimutku dan memandanya kesal. Gadis itu terlihat kaget dan menjauh dari kasur. "Minta saja mereka makan duluan."
"Anggota keluarga yang lain sudah selesai makan, Ndoro. Sekarang Ndoro yang harus makan."
Aku duduk di atas tempat tidur, mengusap kepalaku yang terasa sakit. Cindhe berdiri agak jauh dari tempat tidur sambil menundukkan kepalanya. "Baiklah, ambilkan makanannya."
"Baik, Ndoro."
Aku kembali memejamkan mata setelah Cindhe keluar kamar, menikmati sinar matahari dan angin yang menerobos masuk dari jendela yang dibuka Astaka. Lelaki itu mengelilingi kamar dan membuka semua jendelanya.
Sungguh, suasana dan hawanya sangat berbeda dengan hidupku yang biasanya. Ada rasa tidak enak ketika sadar bahwa aku tidak di 'rumah', tidak ada orang yang aku kenal dan tidak ada tempat yang aku tahu.
Aku tersentak ketika Astaka menarik selimutku. Dia dengan santai melipat kain ungu gelap itu dan meletakkannya di ujung tempat tidur.
"Ayo bangun, Danastri." Tanpa peduli aku yang masih duduk di atas tempat tidur, lelaki ini menyusun bantal-bantalku dan merapikan spreinya. "Kau tidak biasanya seperti ini."
Putri kerajaan macam apa Danastri ini? Bagaimana caranya menjadi dia?
"Memang aku biasanya seperti apa?" Aku berdiri dan bersiap meloncat dari atas kasur. "Seperti apa?" Ulangku sambil meloncat dan menabrak tubuh Astaka, "Minggir."
Ia hanya menghela napas pelan dan kembali membereskan tempat tidurku. Aku berjalan ke tempat duduk di tengah ruangan. Di atas mejanya terdapat sekeranjang penuh buah, beberapa gelas dan teko minum. Aku menuangkan air ke dalam gelas dan menengguknya hingga habis.
Cindhe masuk membawa nampan berisi makanan diikuti dua pelayan lainnya. Mereka meletakan nampan-nampan itu di atas meja. Setelah meletakkan nampan, kedua pelayan itu membungkuk padaku lalu pergi.
"Cindhe?" Aku berdiri bercakak pinggang memandang meja.
"Iya, Ndoro?"
"Kamu mau buat saya gendut?"
Wajah Cindhe berubah panik sambil menggeleng cepat. "Tidak Ndoro."
"Kalau begitu kalian berdua duduk!" Astaka langsung duduk di sebuah kursi kecil, aku tersenyum dan duduk di kursi sebelahnya. "Cindhe?" Aku menepuk sisi sebelahku agar ia mau duduk.
Pelan-pelan ia mau beringsut duduk di sampingku. Astaka dengan santai melipat kedua tangannya di depan dada dan bersandar pada sandaran kursi. Sedangkan Cindhe terlihat kikuk dan cangggung duduk di kursi ini bersamaku.
Seperti apa Danastri memperlakukan pelayannya?
"Ayo dimakan!" Aku mengambil sepiring nasi dan sepotong ikan lalu mulai memakannya. Tidak buruk. Rasanya wajar. "Ayo Cindhe." Aku menyerahkan piring lainnya pada Cindhe.
"Tapi Ndoro-"
"Cindhe." Suara Astaka mengintrupsi Cindhe dengan nada menggertak.
"Ya." Gadis ini mengambil piring yang aku sodorkan padanya.
"Lu lebih nurut sama dia daripada sama gua?" Aku menuduk dan menggigit bibirku kaget dengan apa yang aku katakan.
"Danastri?" Astaka berhenti memakan buah di tangannya, aku menoleh padanya tersenyum sebaik mungkin. "Bahasa darimana itu?"
"Ndoro-"
"Makan!" Aku mulai kesal tidak tahu karena apa. Aku muak dengan tempat ini dan segala kekonyolan di dalamnya. "Kalian berdua juga harus makan."
Aku melanjutkan makanku tanpa mengangkat wajah. Semakin lama, aku semakin ingin menangis berada di tempat asing ini. Ada setumpuk rasa tidak nyaman dalam diriku. Rasanya seperti ini bukan apa yang seharusnya terjadi. Setumpuk rasa tidak nyaman itu kemudian semakin menggunung dan membuat dadaku sesak.
Cindhe makan dengan hati-hati seolah salah gerakan sedikit saja akan menyebabkan aku meledak dan membentaknya. Berapa umur gadis ini? Dia terlihat masih terlalu muda dan sangat lugu.
Astaka makan dengan santai seperti dia sudah biasa duduk dan makan di sini bersamaku. Dia membuat rasa tidak nyamanku semakin menumpuk. Dia membuatku merasa harusnya aku bersama Ruby bukan duduk makan di tempat ini bersamanya.
"Saya ada patroli." Astaka bangun dari duduknya, merapikan pakaiannya dan hendak berjalan pergi sebelum menepuk bahuku beberapa kali. "Saya akan tengok Tuan Putri setelah pelajaran Widyastika." Astaka mengambil pedangnya yang diletakkan di atas kasurku. "Jangan lupa Cindhe."
"Iya, Ndoro Mas."
"Jangan lupa apa?" Aku bertanya setelah Astaka keluar kamar. Cindhe memperlakukan Astaka sama hormatnya seperti padaku.
"Ndoro Ajeng harus menghadiri pelajaran guru besar Widyastika."
Siapa lagi itu?
"Selesai makan Ndoro harus mandi." Cindhe meninggalkan piring makannya yang sudah kosong di bawah meja dan pergi ke kamar mandi untuk menyiapkan bak mandiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Fiksi SejarahNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...