#42 (Danastri)

225 34 4
                                    

Detik-detik berikutnya, suara itu perlahan menjadi samar dan... hilang.

Tidak.

Bukan hilang, tapi berubah. Berubah menjadi suara desiran angin, gesekkan antar ranting pohon, dan kicau burung. Hawa dan susananya berubah hingga saya tidak ingin bangun rasanya.

Hanya beberapa menit tenang dengan hawa yang sangat mendukung untuk tidur, ada suara yang mendekat. Seperti suara langkah kuda saat saya menonton Astaka berkuda.

Salah satu hal yang paling saya benci seumur hidup saya. Dikagetkan saat lagi tidur.

Saya membuka mata saya dan bersiap untuk berteriak marah, sebelum melihat siapa yang membangunkan.

"Alia?"

Apa saya tertidur lagi? Di hutan? Alia wanita muda yang tadi, kan?

"Bangun." Orang di hadapan saya mengguncang-guncangkan kaki saya untuk saya bangun.

Saya membuka mata dan mendapati Astaka berlutut di hadapan saya sambil masih mengungcang kaki. Kudanya berdiri menjulang di belakang. Setelah membuka mata, Astaka masih menepuk kaki saya beberap kali hingga saya bangun dan duduk tegap.

"Ck. Astaka?"

"Kenapa kau tidur di sini, Al?"

"Astaka, kau kenal Alia?"

Astaka diam, wajahnya menapilkan raut kaget. Perlahan ia menarik tangannya yang menyentuh kaki saya. Astaka mengerutkan keningnya bingung.

"Kau kenal wanita muda itu?" Saya bertanya dan Astaka masih diam. "Alia?"

"Danastri?"

Saya melihat sekeliling saya. Sekali lagi saya terbangun di hutan. Bersandar pada sebuah pohon besar dan tertidur. Hal yang saya ingat kenapa saya berakhir di sini adalah bahwa ada bangsawan perbatasan timur datang untuk melamar saya. Hal itu yang membuat saya kabur dari rumah.

"Kenapa saya terbangun di sini lagi?"

"Danastri?"

Saya menoleh ke arah Astaka lalu kembali melihat sekeliling. "Tadi Alia ada di sini, berbicara dengan saya."

Astaka tiba-tiba mengulurkan tangannya dan membungkuk. Ia merengkuh tubuh saya dan memeluknya erat. Untuk beberapa detik saya terpaku kaget.

"Kenapa?"

Astaka melepas pelukannya karena saya mendorongnya menjauh.

"Di mana Alia?" Tanya Astaka?

"Tidak tahu."

Raut wajah Astaka berubah panik. Ia menoleh ke sana- ke mari mencari sesuatu. "Apa yang Alia katakan?"

Saya berpikir sebentar mengingat-ingat apa yang Alia katakan. Permasalahannya adalah saya seperti bertemu Alia berbulan-bulan lalu. Sudah lama sekali rasanya saya berbicara dengan dia.

Setelah saya berbicara pada Alia, saya terbangun dengan lengan terluka perih, seluruh badan sakit, dan telinga yang berdengung.

"Alia-" Saya jeda sebentar untuk menyusun kata-kata yang saya ingat. "-Alia bilang saya harus bangun, saya harus bertahan, saya harus kembalikan dia sebentar, dan bawa dia pulang."

Saya kaget ketika Astaka bersimpuh dan membungkuk dalam simpuhnya di hadapan saya. Astaka tidak pernah sama sekali melakukan hal itu di hadapan saya. Tidak di hadapan siapapun kecuali di hadapan ayah dan ibuku.

"Kalau begitu tolong bertahan, Ndoro Danastri." Astaka jarang sekali memenggil secara formal kecuali ia sedang marah dan tidak ingin menganggap saya teman. "Tolong bangun, bertahan, dan biarkan Alia di sini sebentar lagi sebelum ia pulang. Biarkan saya bersama dia sebentar saja."

"Siapa Alia sampai kau mau bersujud selain pada Paduka Karkasa dan Nyai Kinasih?"

"Tolong Ndoro. Biarkan Alia di sini sebentar lagi. Biarkan saya bersama Alia sebentar lagi."

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang