#28

311 39 1
                                    

A Little bit longer chapter



Balai desa sudah ramai saat aku, Astaka, dan pasukannya sampai. Giyarto dan dua orang lainnya sudah bersama pak Mardhi di balai desa. Warga desa juga sudah memenuhi halaman balai desa. Aku melihat sekeliling tapi tidak meliihat tanda-tanda kalau Lawana dan anak buahnya sudah sampai.

Masuk ke dalam balai desa aku menemukan ayah, paman Purwanka, dan beberapa petinggi lainnya ada di dalam desa sedang berbicara pada kepala desa. Di sisi lain balai desa aku melihat Dewani bersama Batara mengobrol dengan anak-anak muda yang mungkin waktu itu paman Purwanka bilang teman-teman Dewani di desa.

Semua orang menunduk memberi hormat ketika aku dan Astaka lewat. Aku hanya tersenyum sambil sedikit menunduk dan terus berjalan menuju ayah. Sampai di sana aku dan Astaka memberi hormat pada orang tua-orang tua di sana.

Ayah tersenyum dan menepuk pipiku pelan. Beberapa detik berikutnya, mereka sudah kembali sibuk membicarakan hal-hal orang dewasa yang tidak aku mengerti. Aku mengajak Astaka untuk bergabung bersama Dewani dan Batara. Dewani kelewat bersemangat melihatku yang berjalan ke arahnya. Semakin mendekati mereka, aku sadar kalau salah satu dari teman Dewani adalah gadis yang waktu itu memanggil Astaka di pasar.

Ooouh.

Mataku melirik Astaka yang berjalan di sampingku lalu beralih pada gadis yang aku lupa namanya. Gadis itu tersenyum terlihat malu-malu sambil memandang Astaka. Lengan Astaka menarik pelan lenganku hingga berhenti dan tidak berdiri terlalu dekat dengan Dewani dan teman-temannya.

"Di sini saja." Astaka menunduk dan berbisik di telingaku.

"Siapa namanya?"

"Hm?"

"Itu." Kataku sambil menunjuk gerombolan Dewani dengan dagu. "Perempuan yang waktu itu?"

Astaka menoleh sebentar ke arah gadis yang bersama Dewani sebentar. Gadis itu terpergok sedang melirik Astaka lalu mengalihkan pandangannya. Aku mendongak tersenyum menggoda pada Astaka. Lelaki itu hanya mendengus pelan dan tidak berkata apa-apa.

"Siapa?" Aku tidak lelah menggodanya.

"Inten. Dia bisa dibilang sepupu jauh saya."Astaka berdiri tegak sedikit di belakangku. "Dia hampir jadi pelayan Dewani, tapi memutuskan untuk mengundurkan diri."

"Oh, iya?" Aku baru tahu berita ini. "Kenapa gak jadi?"

Astaka mengangkat bahunya sekilas. "Saya kurang tahu. Ada kecelakaan saat itu, Inten harus istirahat beberapa lama."

Aku hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Astaka. Dewani dan Inten terlihat lumayan dekat bersama anak-anak yang lainnya termasuk Batara dan pelayan Dawani. Mungkin karena dulu Dewani mengenal Inten mereka jadi bisa berteman bersama anak-anak desa yang lainnya juga.

Balai desa semakin ramai ketika Endrasuta dan Giyarto membawa pak Mardhi masuk. Bisik-bisik diantara warga semai kencang dan kumpulan orang semakin banyak. Paduka Karkasa memberikan isyarat pada Astaka untuk memperketat keamanan. Astaka melambaikan tangan pada Endrasuta untuk menghampirinya. Endrasuta menyapaku singkat sebelum berdiri tepat di samping Astaka. Astaka memberi perintah pada Endrasuta untuk menambah pengawal di depan balai desa, seorang untuk menemani Giyarto, dan seorang lagi untuk menemani Batara.

"Batara selalu meremehkan segalanya." Kata Astaka setelah Endrasuta pergi. "Saya tidak menyalahkan mereka menganggap orang-orang itu teman, tapi mereka seharusnya lebih punya pikiran untuk waspada."

Aku ikut menoleh ke arah mana Astaka menoleh dan memandang sinis. Gerombolan Dewani yang berisi enam orang gadis remaja termasuk Dewani dan pelayannya dan Batara yang berdiri selangkah di belakang Dewani. Mereka tidak berisik, hanya terlihat mengobrol sesuatu yang tidak terdengar olehku diselingi tawa-tawa kecil. I meant like that's how we supposed to interact with our friends. Right?

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang