#3

974 74 6
                                    

Detik-detik berikutnya, suara itu perlahan menjadi samar dan... hilang.

Tidak.

Bukan hilang, tapi berubah. Berubah menjadi suara desiran angin, gesekan antar ranting pohon, dan kicau burung. Hawa dan susananya berubah hingga aku tidak ingin bangun rasanya.

Hanya beberapa menit tenang dengan hawa yang sangat mendukung untuk tidur, ada suara yang mendekat. Seperti suara langkah kuda saat aku menemani Ruby berkuda.

Salah satu hal yang paling aku benci seumur hidupku. Dikagetkan saat lagi tidur.

Aku membuka mataku dan bersiap untuk berteriak marah, sebelum melihat siapa yang membangunkanku.

"AAAAAAAAAAAA!" Aku berteriak dan bergerak mundur hingga punggungku mentok pohon. Pohon? Batang pohon besar yang berada di belakang tubuhku.

Tiga orang laki-laki berlutut di hadapanku. Mereka bertelanjang dada, hanya mengenakan celana coklat gelap panjang, dan kain yang di sampirkan seperti sarung saat bapak-bapak ngeronda. Masing-masing menyelipkan sebilah pedang kecil seperti adat-adat pernikahan yang mengenakan kris.

Mampus, gua.

"Ndoro Ajeng?"

Apa? Makin banyak orang gila di dunia ini apa gimana, sih?

"Ndoro Ajeng, ayo kita kembali. Saudagar itu sudah pergi dari rumah."

Saudagar siapa? Rumah siapa?

"Nyai Ratu bisa marah kalau kami tidak membawa Ndoro Ajeng pulang."

HAH?!

Aku tetap diam tidak menanggapi perkataan mereka. Mataku melihat ke sekeliling. Ini hutan. Sama sekali bukan tempat di mana aku seharusnya berada. Bukan tempat tadi aku terlelap.

Aku melihat ke tubuhku sendiri. Ini baju siapa?

"AAAAAAAAAAAAAAA!" Aku semakin bergerak mundur mengitari pohon menjauh dari mereka. Wajah ketiga pria itu berubah panik.

"Ndoro, ada apa?"

"Siapa kalian?!" Aku mengangkat kakiku seolah ujung kakiku adalah sebilah pisau yang dapat membuat mereka menjauh dariku.

"Ndoro Ajeng, baik-baik saja?"

KALAU DITANYA JANGAN BALIK NANYA. NGAJAK RIBUT ITU NAMANYA!

"Ndoro, sebaiknya kita kembali ke kerajaan supaya Ndoro bisa di periksa tabib."

Orang gila.

Mereka menuntunku untuk berjalan bersama mereka, dua orang di sisi kanan dan kiriku, satu lagi berada di belakangku. Orang-orang ini menuntun kuda mereka masing-masing.

Pernah dengar sepasang suami istri yang menunggangi keledai bersamaan, lalu mereka dicaci orang lain karena dikira tidak kasihan pada keledai itu dan akhirnya keledai itu mereka tuntun bersama, tetapi orang-orang mengatakan mereka bodoh karena tidak berpikir untuk menaiki keledai itu.

Mereka bertiga bertingkat-tingkat bodohnya kerena punya kuda masing-masing dan tidak menungganginya.

Aku berhenti berjalan dan membuat mereka juga berhenti. "Kalian tahu cara menunggangi kuda?"

"Maaf?"

"Kalian punya kuda kenapa tidak kalian gunakan?" Aku sedang mencoba menahan emosiku saat ini.

"Ndoro Ajeng ingin menunggang kuda sampai rumah?"

Aku berbalik ketika seorang di belakangku berbicara. "Kalian mau gua jalan kaki?"

Aku merebut tali kuda seorang di sebelah kananku, tanpa izinya aku melompat naik ke atas kuda. Mereka diam dan aku tidak peduli mereka melihatku dengan pandangan bingung dan aneh.

.

Mereka membawaku ke sebuah bangunan yang terlihat sangat tidak manusiawi bagiku, bahkan mungkin ini adalah bangunan peninggalan jaman Jaka Tarub ngintip tujuh bidadari di sungai.

Halamannya sangat luas dan dipenuhi pohon rindang dan tumbuhan berbunga. Ada aliran sungai buatan yang dipenuhi ikan hias. Jalan menuju bangunan utama beralaskan pasir putih yang lembut terasa menyentuh kulit kakiku.

Kulit? Aku bahkan tidak menggunakan alas kaki?

Aku menaiki tiga undakan tangga menuju pintu kayu besar di hadapanku. Ada dua orang berdiri di depan pintu besar itu, mereka menunduk hormat padaku setelah itu membukakan pintu.

"Mari Ndoro."

"Ini tempat apa?" Tanyaku saat mulai masuk ke dalam. Interiornnya serba kayu yang diukir dan beberapa tanaman hias.

"Ndoro, ini rumah."

"By the way nama gua bukan Ndoro." Aku bergumam masih sambil melihat-lihat sekelilingku. Aku tahu mereka saling pandang dan membicarakanku dengan bahasa batin mereka.

"Kita menghadap Paduka Raja dan Nyai Ratu, Ndoro?"

"Siapa?" Aku berhenti di depan sebuah pintu kayu yang di jaga oleh dua orang lagi. Mereka berpakaian sama dengan tiga orang yang mengantarku.

"Bapak dan ibu, Ndoro Ajeng."

Pintu itu terbuka. Aku menoleh ke dalam dan mendapati seorang pria dan seorang wanita duduk bersebelahan, ditemani seorang gadis yang mungkin seumuranku. Wajah mereka berubah kaget dan panik. Pria besar berbadan kokoh yang duduk di kursi segera bangun dan berjalan cepat ke arahku.

"WOOOAAW!" Aku berbalik dan berlari menghindar. Pria itu berhenti dan memandangku bingung.

"Danastri?"

APA?!

"Mohon maaf Paduka, Ndoro Danastri kami temukan tertidur di tengah hutan. Dia bertingkah aneh, Paduka." Salah satu dari orang yang membawaku ke sini berbicara pada pria itu.

"Mungkin, Ndoro Danastri terjatuh."

Pria besar itu kini memperhatikanku. Tiba-tiba tangannya terulur padaku. "Ayo, Ndok! Kita bicara di dalam."

Aku mengikutinya berjalan ke dalam ruangan tadi meski masih berusaha menghindari kontak fisik dengannya. Wanita yang tadi duduk bersama pria besar ini memelukku setelah aku sampai di hadapannya.

"Dewani, tolong panggilkan tabib untuk kakakmu." Pria besar itu merangkul lembut gadis yang sedang duduk di lantai.

"Iya, ayah."

Kakak? Ayah? Aku kakak dia? Ini ayah?

"Ndok, kamu tidak apa-apa?"

Aku menoleh pada wanita yang baru saja melepas pelukannya. "Ya."

Saat aku masih bingung dengan semuanya, ada tiga orang perempuan masuk ke dalam ruangan ini.

Seperti aku mulai menangkap keadaannya. Jika tidak salah, tiga orang yang membawaku kemari adalah pengawal seperti empat orang yang menjaga pintu di luar dan di dalam, pria ini seorang raja dan wanita ini ratunya, gadis yang baru saja pergi adalah putri mereka, melihat dari pakaiannya dua orang yang baru datang ini mungkin putrinya yang lain, dan seorangnya lagi pelayan.

"Ndoro Ajeng, baik-baik saja?" Perempuan yang menghampiriku mengenakan celana hitam pudar dengan kain coklat yang di lilitkan di bagian tubuh atasnya hingga membentuk kemben. Hampir sama dengan penampilanku sekarang.

"Ya, gua gak apa-apa."

Hawanya berubah. Suasananya bertambah aneh. Mereka memandangku heran.

"Cindhe, bawa Ndoro Ajeng ke kamarnya. Nanti tabib akan datang" Wanita di belakangku mendorongku lembut pada perempuan yang dipanggilnya 'Cindhe'.

"Baik, Nyai Ratu."

Cindhe memegang siku kananku dan hendak menuntunku pergi dari sana sebelum pria besar ini kembali berbicara.

"Bersihkan dirimu, ganti pakaian, dan kembalikan pakaian itu pada Astaka." Aku merinding saat kecolongan membiarkan pria ini menyentuh kepalaku.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang