20. Garam Diatas Luka

2.5K 70 0
                                    

           SEPULUH menit lagi lonceng tanda di mulainya pelajara akan berbunyi, tapi Alkana masih berdiri mematung di samping pintu mobilnya. Bukan tanpa alasan, Alkana sedang menunggu Sandra.

Entah ada angin apa sampai ia rela berdiri di sana berjam-jam tanpa kejelasan. Matanya sesekali menatap benda pipih di tangannya, menggesernya bila perlu dan selebihnya mengintai parkiran juga gerbang sekolah.

Kakinya terasa pegal terlalu lama berdiri, hilir mudik orang orang yang melintasinya lama kelamaan mulai curiga karena Alkana nampak tidak seperti biasa, dia terlihat gelisah.

Nihil, hingga lonceng berbunyi Alkana tidak melihat Sandra. Sebenarnya Alkana hanya ingin memastikan Sandra baik-baik saja tapi bagaimana jika Sandra tidak kesekolah? Ia tidak bisa mengetahui keadaan gadis itu. Untuk menyakini Sandra baik-baik saja sepertinya tidak mungkin, mengingat bercak darah yang kemarin mengotori kamarnya.

Ya, bercak darah itulah yang membawa Alkana ke sana. Itu sangat mengganggu sampai membuatnya berpikir semalaman tentang bagaimana kondisi Sandra. Seperti karma, dimana malam sebelumnya ia mempermainkan gadis itu sampai puas, namun kemudian Alkana di buat mati dalam kecemasan dan rasa khawatir yang menyerangnya tiba-tiba.

"Dimana Sandra?"

"Apa dia baik-baik saja?"

"Apa yang terjadi?"

"Mengapa ia sampai tidak kesekolah?"

"Apa dia terluka?"

Langkah Alkana terayun menuju koridor dengan ribuan pertanyaan berkecamuk di otaknya. Menyiksa tanpa henti, menyuarakan betapa ia tidak mampu menahan rasa penasaran yang menyerangnya tanpa jeda.

Kedua tangannya menyusup kesela rambut mengacaknya frustasi. Ini pertama kalinya ia kecewa karena seorang gadis. Jika biasanya Alkana tinggal memilih wanita mana yang ingin ia miliki tapi kali ini ia harus membayar mahal. Bahkan lebih mahal dari pada uang yang ia keluarkan, Alkana harus membayar gadis itu dengan hatinya.

Seberengsek apapun, Alkana hanyalah manusia biasa dan masih memiliki hati. Dan hati yang tak pernah terpakai itu kini perlahan menunjukan fungsinya.

***

"Al nanti malam gue ikut lo ya? janji deh gue nggak bakal gangguin lo sama Ratu" Jery menatap Alkana penuh kesungguhan namun Alkana melengos tidak perduli.

"Eh, di ajak ngomong juga?" Jery bersungut sebal tidak di gubris temannya.

Alkana melahap makanannya berniat ingin segera enyah dari kantin. Berlama-lama duduk dengan Jery membuat kepalanya semakin pusing, belum lagi saat Jery berceloteh menilai satu persatu cewek penghuni kantin mencari gadis yang kira-kira cocok di jadikan pacar itu terdengar sangat membosankan.

"Tapi boleh kan ya?" Jery mulai lagi "kali aja jodoh gue ada di sana, usahakan nggak ada salahnya. Ya nggak?"

Alkana melirik Jery sekilas lalu mengangguk.

"Al Al.. Riska lewat Riska lewat" Jery menyikut lengan Alkana tapi cowok bermata biru itu masih asik dengan baksonya.

Jery melambai ketika mantan ketua osisnya melintas bersama dayang dayangnya. "Hai Riska, makin hari makin cantik aja" rayu Jery di iringi senyuman terbaik yang ia punya.

"Ya-iyalah emangnya elo, makin hari makin hancur!" jawab Riska dan seketika membuat penghuni kantin tergelak.

"Makan tuh jodoh!" Alkana menimpali.

Jery mendengkus, tidak terima Alkana lebih membela gadis sombong itu. "Teman macam apa lo yang tega ngasih garam di atas luka" ucap Jery dramatis.

Alkana meyeruput orange jus di tangannya lalu menoleh, "Mendingan lo makan terus balik ke kelas. Gue pusing dengerin lo ngomong dari tadi nggak berfaedah."

NEVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang