19. Hancur

3.7K 69 4
                                    

 
CAHAYA matahari menembus sela jendela kaca, sinarnya menerangi setiap sudut ruang bahkan yang sedang tertutup hordeng sekalipun. Pagi yang cerah itu seakan menertawakan gadis bodoh yang tengah meringkal di atas kasur. Matanya sembab akibat terlalu lama menangis, tubuhnya lemas karena begadang semalaman dan tatapannya kosong memikirkan kejadian memalukan beberapa jam lalu. Gadis malang.

Sandra masih mengingat jelas bagaimana Alkana memperlakukannya, sampai ia tak bisa berkutik. Sentuhan Alkana mampu membuat Sandra tersihir hingga melayang ke udara. Pertama kalinya Sandra melakukan itu, tapi Alkana mampu membuatnya mencapai puncak kenikmatan berkali-kali.

Gila, Sandra merasa sudah gila saat ini, tapi di sisi lain ia seperti menemukan hal baru. Ia bisa mendapatkan ketenangan tanpa harus meminum Alkohol, meskipun keduanya sama-sama merusak. Permainan yang baru di kenalkan Alkana nampaknya membuat Sandra melupakan masalahnya, sensasi gila itu mampu meracuni akal sehatnya. Sandra hanya berharap tidak menyesal di kemudian hari.

Sandra bangkit dari kasur lalu melangkah ke kamar mandi seraya memegangi selimut yang melilit tubuhnya. Baru saja dua langkah kakinya terayun Sandra berhenti, matanya melirik sebuah nampan di atas nakas yang berisi sepotong roti tawar dengan selai coklat lengkap dengan air mineral dan susu putih.

Senyumnya mengembang singkat, Sandra tidak tau jika seorang Alkana bisa perduli. Saat Sandra terbangun Alkana sudah tidak ada dan Sandra tidak tau kapan lelaki itu mengantar makanan untuknya.

Setelah agak lama mematung Sandra bergegas menuju kamar mandi, ia akan membersihkan tubuhnya.

Tiga puluh menit kemudian Sandra sudah menyelesaikan ritual mandinya, ia menggunakan gaun semalam dengan handuk membungkus rambut panjangnya.

Lagi, sudut bibirnya terangkat tanpa izin saat matanya menatap nampan yang disiapkan Alkana. Bohong jika Sandra berkata tidak suka, nyatanya Sandra sama seperti gadis lain ia sangat suka di perhatikan meskipun hanya dengan sepotong roti.

Terahir tiga bulan lalu ia melihat ada nampan berisi makanan di nakas kamarnya, yaitu ketika ia sakit Rena yang menyiapkannya dan setelah itu tidak pernah lagi. Sandra harus benar-benar sakit jika ingin mendapat perhatian dari kakaknya, selebihnya Rena akan lebih memilih pekerjaannya.

Sandra melangkah mendekati nakas meraih air mineral itu lalu meneguknya. Seketika sensasi dingin menjalar di lehernya membasahi setiap sela tenggorokan yang semula terasa kering. Hingga tinggal setengah Sandra baru menyudahinya.

Keningnya mengeryit saat matanya menemukan sebuah note terselip di bawah nampan. Tanpa pikir panjang Sandra langsung mengambil kertas mungil itu. Ia yakin itu pasti berisi pesan dari Alkana.

Sandra gemetar setelah membaca pesan dari lelaki itu, tulang belulangnya terasa lemas bahkan tak mampu menahan tubuhnya untuk berdiri. Sandra tertunduk di lantai lalu menangis. Kalimat singkat dari Alkana mampu meluluhlantahkan hatinya.

Ia yang semula berniat menaklukan hati lelaki itu kini sudah mendapat penolakan mentah-mentah, bahkan ia belum sempat melakukan apapun. Kalimat itu meruntuhkan dinding kokoh yang baru saja ia bangun hanya dalam hitungan detik. Sandra menangis sesegukan menyesali perbuatannya. Hati yang pernah berharap Alkana bisa lebih baik kini malah sebaliknya.

"T**hank you for an unforgettable night... Setelah malam ini bersikaplah seolah tidak pernah terjadi apa apa. Dan jangan pernah meminta aku bertanggung jawab, karena itu tidak akan pernah terjadi Never!!!"

***

           Satria memarkirkan motornya lalu berjalan menuju kelas. Tangannya sesekali memegang memar di bagian pipi yang masih terasa ngilu. Jika bukan karena ia ketua osis ia tidak akan sudi ke sekolah dalam keadaan seperti ini. Tapi apa boleh buat, bagaimanapun ia harus menjadi contoh yang baik untuk teman-temannya.

Langkahnya berbelok kearah pintu yang diatasnya tertera angka romawi XII IPA ia lalu melempar tasnya di meja.

"Ahh..." Satrian merintih saat lebam di pipiya berdenyut. Ia menyesal telah menuruti perintah gadis itu, padahal awalnya ia hanya mencari kesempatan untuk mendekati Sandra tapi naasnya Alkana malah memberi siksaan bertubi-tubi.

"Sialan!" umpat Satrian kesal. Untungnya di kelas itu masih sepi dan tidak ada yang mendengar Satria merengek kesakitan.

Tak berapa lama kemudian Alkana memasuki ruang kelas. Satria lalu buru-buru merebahkan pantatnya di kursi dan meraih ponsel. Ia berusaha bersikap senormal mungkin.

Aliran darahnya berhenti bersamaan dengan langkah kaki Alkana yang tercekat di depan mejanya. Mustahil jika Alkana sekedar iseng melewati mejanya sebab meja Alkana berada di deretan paling depan. Lalu untuk apa lagi lelaki itu datang padanya?

"Kenapa?" Satria mendongak menatap orang yang semalam membuatnya babak belur.

Tanpa babibu Alkana menarik kerah Satria. "Al Al... santai Al?" Satria gelagapan tidak siap dengan pergerakan Alkana.

"Dari mana lo tau kamar gue?" tanya Alkana dengan sorot mata tak layak di sebut tatapan manusia.

"Sumpah Al gue nggak tau apa-apa, Sandra yang nyuruh gue" Satria seraya mengangkat kedua tangannya ala penjahat yang di acungi senjata.

"Lo pikir gue percaya?" Alkana mengangkat sudut bibirnya, remeh. "Gue tau sebelumnya lo nggak pernah datang ke tempat itu?"

"Gu-gue emang nggak pernah ke sana tapi semalam gue mau nemuin sepupu gue?"

Alkana diam mengamati ketua osisnya yang ketakutan.

"Ok-Oke gue emang ketemu sama Sandra dan itu cuma kebetulan. Selebihnya gue nggak tau apa-apa, beneran Al demi Tuhan."

Alkana memperkuat cengkramannya lalu membungkuk menatap Satria, "Lo bisa aman kali ini, tapi kalau sampe lo sebarin apa yang lo lihat semalam jangan salahin gue kalau lo nggak bisa lihat matahari besok" kecam Alkana penuh peringatan.

"Lo ngancem gue?"

Alkana tersenyum menyungging membenarkan ucapan Satria lalu melangkah pergi.

Satria membenarkan posisi bajunya seraya menatap punggung teman sekelasnya yang mulai menjauh. Di balik sikap dingin Alkana ada jiwa iblis yang sedang tertidur.

***

 
Alkana terkejut saat melihat tetesan darah mengotori teras rumahnya. Ia melangkah menuju kamar memastikan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan Sandra. Sekejam apapun Alkana memperlakukan gadis itu ia tidak pernah tega melihat Sandra terluka.
 
Mungkinkah dia mencoba bunuh diri? Pemikirannya melesat jauh dari espektasi sedangkan realitanya ia tidak tau. Ia hanya berharap Sandra baik-baik saja.

Alkana berhenti ketika sampai di kamarnya namun bukan jawaban atau Sandra yang ia temui melainkan pecahan gelas. Banyak bercak darah berceceran dengan pecahan beling yang berserakan di lantai.

Apa Sandra terluka? sebuah pertanyaan singkat itu muncul begitu saja.

Alkana sadar dengan apa yang ia lakukan, mungkin terlalu kejam karena menulis pesan itu. Tapi ia kehabisan cara untuk menghentikan Sandra. Atau setidaknya setelah ini Sandra sadar bahwa ia tidak main-main.

Alkana melangkah hati-hati melewati pecahan beling di depannya, seraya membayangkan betapa ngilunya jika salah satu benda itu melukai kakinya.

"Arghh..." Naas, benda yang ia hindari malah menggores tungkainya. Alih-alih pergi dari tempat itu Alkana malah meraih sebuah note yang ia buat pagi tadi di atas nakas. Ia juga melirik sepotong roti dan segelas susu putih yang tampak utuh, hanya air mineral yang Alkana yakin di sentuh oleh Sandra dan kemudian pecah. Ya sama persis seperti keadaan Sandra saat ini, hancur.

****

Salam dari penulis amatir yang dari kemarin bikin satu part nggak kelar kelar🤣🤣🤣

Jangan lupa vote, like and comment ya
bye...

NEVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang