40. Waktu yang Tidak Tepat

637 26 1
                                    

Waktu sudah menunjukan pukul 19.00 malam, tapi sejak Tiga jam yang lalu Sandra masih duduk termenung di kursinya, ditemani segelas Hot cappuccino dan sepiring kentang goreng yang belum sempat ia sentuh sama sekali.

Entah sudah berapa kali pelanggan cafe keluar masuk secara bergantian bahkan orang yang duduk di depan Sandra sudah berganti Lima kali tapi ia masih setia duduk di sana.

Sandra juga tidak perduli dengan para pelayan yang sejak tadi menatap aneh kearahnya, mungkin karena ia masih menggunakan seragam sekolah atau karena ia nampak lusuh. Entahlah, yang jelas ia tidak memusingkan itu.

Cafe yang ia datangi berada tidak jauh dari rumah, Sandra sengaja datang ketempat itu untuk menenangkan diri dan ia berharap tidak ada yang bisa menemukannya.

Kilas kejadian beberapa jam yang lalu terus membayang, semuanya terus berperang di benaknya. Sampai ia bingung bagian mana yang harus ia dahulukan.

Mengenai Hema, sejujurnya Sandra khawatir dengan kondisi ayahnya. Ia juga sudah lama tidak mengunjunginya. Seandainya Sandra tau dari awal jika ayahnya sakit ia tidak mungkin sedalam itu membenci ayahnya.

'Apa benar tidak ada orang yang bener-benar jahat di dunia ini???' Sandra menghela napas, sedang sorot matanya menatap kosong pada cangkir Cappuccino di depannya.

Sandra mengingat lagi ucapan kakaknya beberapa saat lalu, "Amira juga yang selama ini bantu kakak kasih uang tambahan buat biaya sekolah kamu."

'Apa tujuan Amira sebenarnya? apa dia menyesal karena telah memisahkan aku dan ayah, atau dia hanya berpura-pura?'

Perang di benaknya terus berlanjut, Sandra tidak tau dimana titik terang yang sebenarnya, benarkah Amira benar-benar baik atau di balik semua itu ia menyimpan rencana besar.

Sandra bukan orang yang mudah terpengaruh apa lagi dengan pelakor seperti Amira. Sungguh sebenarnya ia butuh seseorang yang bisa membantunya memecahkan masalah ini, tapi siapa?

Sandra menyibakkan rambutnya kebelakang lalu memijat pelipisnya. Kepalanya terasa berat, saat saat seperti ini membuatnya teringat dengan Mona ibu kandungnya. Sandra ingin menangis tapi air matanya tak mampu lagi terurai, semua telah membeku sama keras seperti batu di dikepalanya.

"Sandra!"

Sandra terperanjat mendengar suara yang tak asing di telinganya. Ia mendongak, dan di detik itu juga Sandra memutar bola matanya.

"Kenapa?" tanyanya dingin.

Sepertinya ia salah memilih tempat. Sandra yang seharusnya dalam persembunyian malah duduk di teras cafe, tentu saja Reza dengan mudah menemukannya.

"Rena nyari kamu" ucap lelaki itu yang tak lain kakak iparnya.

"Gue nggak mau pulang."

"Rena pingsan, sekarang dia lagi dirumah sakit, kamu pulang ya?" pinta Reza seraya berjongkok di depan adiknya.

Sandra diam. Ia tidak mau kalah dengan rayuan Reza yang konyol.

"Pika juga nangis dari tadi, dia bilang kamu udah janji mau nemenin dia main. Dia masih nungguin kamu" Reza berkata dengan nada memohon membuat Sandra tidak tega. Apalagi tadi ia memang sempat berjanji pada Pika, Sandra jadi merasa bersalah pada keponakannya.

"Gue butuh koper" ucap Sandra menepis semua yang berkecamuk di otaknya.

"Aku bisa kasih koper kamu asalkan kamu mau nemuin Rena di rumah sakit."

"Nggak bisa sekarang?" Sandra menatap Reza malas.

Reza menyentuh punggung tangan adiknya yang berada di atas lutut, "Rena pasti punya alasan kenapa dia nggak jujur sama kamu. Aku tau semuanya."

NEVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang