"Aku nggak bilang kalian terlambat, tapi kalau melihat keadaannya begini... sepertinya memang begitu," Rena berucap dengan nada santainya. Ia sudah tidak mau ambil pusing dengan masalah adiknya. Namun bagaimana pun cara penyampaian Rena tetap tidak bisa mengurangi ketegangan diruangan itu.
"Lalu kapan Sandra pulang? Sandra tidak mungkin kan selamanya di Singapore?" Fany berkata penuh harap, apapun akan ia lakukan agar Alkana bisa bersatu dengan Sandra serta bayinya.
"Aku kurang tau, Sandra juga nggak pernah bilang dia mau pulang."
Alkana langsung lemas mendengar itu. Ia terlambat, ia gagal menahan Sandra untuk pergi, ia kehilangan Sandra. Gadis itu meninggalkannya sesuai seperti perkataan Rena waktu itu. "Jika Sandra sudah marah aku tidak bisa menjamin kamu bisa bertemu dengannya," Rena tidak main main rupanya.
Jika waktu bisa di putar, Alkana ingin bertanggung jawab saat itu juga, tapi tidak mungkin. Alkana tidak ingin terpisah dari Sandra dengan cara seperti ini, terlalu menyakitkan baginya.
Mengapa Sandra tidak bisa menunggunya sebentar saja? mengapa Sandra pergi tanpa sepengetahuannya? Mungkinkah Sandra terlanjur kecewa dengannya? tidak ada maaf baginya, atau Sandra benar-benar membencinya seperti yang pernah ia katakan.
Tidak, Alkana tidak mau Sandra membencinya dan Sandra tidak mungkin membencinya, Alkana tidak bisa hidup dengan kebencian itu.
Alkana memijat pelipis yang tiba-tiba terasa nyeri, netra birunya pun mulai berair menunjukkan kelemahannya. Alkana menangis, ia benar-benar menyerah dengan semua ini. Harapannya musnah sudah, bersama kepergian Sandra dan hanya menyisakan rasa sesak yang begitu mendalam.
"Al, udahlah" Jery yang duduk di sebelahnya menepuk pundak, "Sandra pasti balik, lo tenang ya?"
Alkana diam dan menunduk, ia tidak pernah merasa sesakit ini apa lagi hanya karena wanita. Alkana tidak mengerti mengapa ia baru menyadari Sandra sangat berarti untuknya setelah dia benar-benar pergi. Alkana serasa ingin meraung saat itu juga, mengapa Tuhan tidak adil. Padahal Tuhan maha adil, tapi mengapa tidak padanya.
'Sandra meninggalkannya, Sandra sudah pergi meninggalkannya.' Kalimat itu terus berputar berulang di kepala Alkana seolah sebuah peringatan yang selalu berhasil membuatnya serasa direjam ribuan jarum yang menusuk nusuk di ulu hati. Luar biasa sakit.
Melihat putranya yang semakin tertunduk sedih Fany jadi tidak tega, ia lalu mengusap pundak Alkana, menguatkan.
Mungkin Rena seharusnya senang melihat lelaki yang pernah menyakiti Sandra menangis di hadapannya dengan sorot mata yang begitu rapuh, namun nyatanya tidak. Biar bagaimana pun ia bisa melihat penyesalan Alkana yang begitu mendalam, sampai tanpa sadar Rena ikut menitikan air matanya, kasihan. Dan sedetik kemudian ia buru-buru menyekanya.
"Sebenarnya aku kecewa karena Sandra tidak di rumah, tapi biar bagaimanapun mungkin ini ada kaitannya dengan kesalahan Alkana tempo hari. Untuk itu saya sebagai orang tua saya meminta maaf yang sebesar-besarnya untuk kesalahan anak saya sekaligus saya sendiri."
Rena hanya mengangguk mendengar itu.
"Dan sebelum saya pamit," Fany kemudian merogoh tasnya, meraih kotak cincin yang sengaja ia bawa. "Saya akan menitipkan ini untuk Sandra, sebagai bukti bahwa Alkana sudah siap menikahinya dan akan bertanggung jawab atas bayinya."
Rena melirik sebuah cincin yang sengaja Fany buka dan di letakan di atas meja. Hanya satu, tapi melihat beberapa mata berlian yang berjajar di sana membuat Rena yakin cincin itu berharga fantastis.
"Akan saya sampaikan," jawab Rena.
Meski dengan berat hati, Fany akhirnya berpamitan begitu juga dengan Alkana yang kemudian mencium punggung tangan Rena sebelum berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEVER
Teen FictionSetelah menciumnya secara tidak sopan Alkana juga memaksa Sandra menjalin hubungan denganya. Sebuah kegilaan yang tak mungkin di lakukan oleh gadis itu. Namun siapa sangka waktu dapat mengubah segalanya. Scandal yang menimpa gadis itu membuatnya te...