ALKANA tidak tau apa yang membuatnya percaya pada ucapan Yani. Padahal Yani belum pernah bertemu dengan Sandra, mungkin karena ia selalu berharap kedatangan gadis itu, atau entahlah. Alkana memang sensitif akhi-akhir ini jika mengenai Sandra.
"Kamu selalu terkejut jika melihat ku?" Rena berucap santai sembari berjalan memutari sofa, kemudian duduk di sana.
Alkana menghela nafas. Kecewa, sebab yang datang bukan gadis yang ia inginkan melainkan kakaknya.
"Seharusnya aku yang terkejut," sambungnya, membuat lelaki itu terpaksa duduk. "Sudah berapa lama kamu tinggal di sini?"
"Tiga tahun yang lalu kak," Alkana menjawab seadanya.
"Rumah ini nggak pernah berubah, bahkan sejak Lima tahun lalu." Rena mengedarkan pandangannya, menatap interior rumah yang bernuansa putih. Masih sama dengan beberapa tahun lalu, hanya saja furniturenya yang berubah. "Ternyata ini yang bikin Sandra betah tinggal disini."
Alkana menatap lawan bicaranya dengan alis berpaut, ia tidak mengerti arah pembicaraan Rena.
"Rumah ini tempat dimana Sandra di besarkan, tempat dimana dia memiliki keluarga yang utuh sekaligus tempat Sandra menyaksikan kepergian ibu beserta ayahnya. Banyak momen yang terjadi di sini, dan mungkin kamu juga salah satunya."
Ternyata masih ada fakta lain yang baru Alkana ketahui tentang Sandra, dan selama ini Sandra tidak pernah menceritakannya. Pantas saja Sandra mengetahui setiap sela dari rumahnya, ternyata gadis itu memang di besarkan di sini.
"Sandra nggak pernah cerita," ucap Alkana tanpa sadar.
"Nggak semuanya harus di ceritakan," Rena menyilang kakinya, "Kamu contohnya. Kamu nggak ceritakan kalau kamu adalah ayah dari bayi yang di kandung Sandra?" Rena berbicara santai, tidak ada gurat ketegangan atau kemarahan di sana dia benar-benar tenang.
Melihat Alkana hanya diam, Rena berbicara lagi. "Aku fikir satu minggu cukup untuk kamu mengambil keputusan, jadi apa rencana mu selanjutnya?"
Alkana kalut dalam diam, ia belum menceritakan apa-apa pada Fany, dan tidak mungkin ia mengambil keputusan tanpa sepengetahuan ibunya, tidak mungkin.
"Aku butuh...." Alkana menggantung kalimatnya, ia tidak berkonsentrasi saat Yani melihatnya. Dia berjalan mendekat sambil membawa minuman.
Setelah meletakkan teh hangat dan mendapat ucapan terimakasih dari tamu majikannya Yani kemudian undur diri.
"Aku... butuh waktu kak," Alkana menjawab ragu.
"Untuk apa? untuk lari dari tanggung jawab, hm." Tuduh Rena, "Menikahlah, dan kebohongan mu kemarin ku maafkan. Kamu tau, aku sampai mengusir Reza dari rumah."
"Maaf, aku tidak bermaksud begitu kak."
"Aku tau, dan itu sebabnya aku membiarkan kamu satu minggu ini, aku harap kau punya jawaban yang bisa menjadi jalan tengah untuk masalah ini."
Rena mungkin terlihat tenang tapi tatapannya menuntut, dan memaksa Alkana agar mengikuti kehendaknya. Sementara Alkana sendiri belum bisa membuat keputusan apa-apa.
"Kak, gimana kalau aku ngomong sama Sandra dulu, ada yang mau aku jelasin."
Menurut Alkana seandainya Rena mengizinkannya berbicara dengan Sandra mungkin Alkana bisa menyakinkan Sandra agar mau menunggunya, karena bernegosiasi dengan Rena membuatnya tidak bisa menemukan titik terang.
"Jadi Sandra tidak mengangkat telponmu? sudah kuduga."
"Kak, aku mau ngomong sama Sandra?" Alkana memasang wajah memelas.
"Sandra marah sama ayahnya sampai bertahun-tahun," Rena bukannya menjawab pertanyaan Alkana tapi malah mengalihkan pembicaraan. "Sama seperti saat dia kecewa marah denganku. Kamu tau kan dia meninggalkan rumah berbulan-bulan. Kalau kamu nggak mau jadi salah satunya nikahi dia sebelum terlambat, dan Sandra akan memaafkanmu. Aku nggak bisa jamin kamu bisa bertemu dengan Sandra setelah Sandra benar-benar marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEVER
Teen FictionSetelah menciumnya secara tidak sopan Alkana juga memaksa Sandra menjalin hubungan denganya. Sebuah kegilaan yang tak mungkin di lakukan oleh gadis itu. Namun siapa sangka waktu dapat mengubah segalanya. Scandal yang menimpa gadis itu membuatnya te...