57. Realita

489 15 0
                                    

SANDRA menatap kosong keluar jendela, sambil sesekali menarik napas dan mengeluarkannya perlahan. Meloloskan kejanggalan yang menyiksa batinnya. Ia baru saja menyelesaikan makan malam bersama Rena, tapi kakaknya tidak membahas apa-apa mengenai masalahnya. Mungkin seharusnya Sandra bersyukur, namun nyatanya tidak. Sandra merasa tidak tenang, apalagi tadi ia melihat sendiri Rena mengusir suaminya yang membuatnya semakin merasa bersalah.

"Tante belum tidur?"

Sandra tersentak mendengar suara keponakannya, ia lalu mendekati Pika yang tengah berbaring "Ya udah tante mau ke kamar?"

Pika bangkit dan duduk disampingnya.

"Kenapa lagi, Mily sama Al udah tidur," Sandra melirik kedua kucing keponakannya yang sudah tertidur di atas matras.

Tadi Pika memang memaksanya untuk menemaninya bermain di kamar bersama Mily dan Al, dan Sandra beruntung ketika Pika ketiduran kedua kucingnya juga ikut tertidur.

"Mama sama Ayah lagi marahan," ucap Pika kemudian dengan nada melas, "Gimana ya Tan caranya supaya mereka nggak marahan lagi? Pika kangen sama ayah," Pika sambil mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh.

Belum genap Dua puluh empat jam Reza pergi tapi Pika sudah merindukannya, lalu bagaimana dengan Sandra yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan Hema? Apa benar ia tidak memiliki rasa rindu sama sekali.

"Tadi ayah nelpon, tapi di reject sama mama. Pika juga lihat mama dari tadi nangis...." Pika menghela napas, lalu menyandarkan kepalanya dilengan Sandra. "Apa mama sama Ayah bakal pisah?"

"Pika kata siapa?"

Pika diam, sebenarnya ia juga belum mengerti dengan pernikahan, tapi ia sering melihat di televisi saat ada sebuah keluarga yang memiliki masalah berat dan tidak memiliki kecocokan lagi mereka pasti memutuskan untuk berpisah. Pika juga mengetahui dari beberapa temannya yang tidak tinggal bersama ayah kandung, karena setelah berpisah ia memiliki keluarga baru dan memiliki orang tua tiri.

Dan Pika tidak mau seperti itu, sebab dari yang ia dengar orang tua tiri itu jahat dan suka menyiksa.

"Mama nggak bilang bakal pisah sama Ayah, 'kan?"

Pika menggeleng, "Tapi, bukannya ayah sama mama udah pisah rumah."

"Itu bukan berarti mereka pisah. Mungkin mama cuma marah sama ayah, dan nggak mau lihat ayah untuk sementara waktu. Nanti kalau mama udah nggak marah lagi pasti ayah boleh pulang."

Pika mendongak dengan sorot mata berbinar, "Serius tante?"

Sandra mengangguk yakin. "Berapa lama Tante?" Pika antusias.

"Tante nggak tau...."

"Yah...." Pika kembali lesu. Ia kira Sandra bisa mengetahui jawaban yang pasti, nyatanya Sandra juga tidak tau. Mengecewakan.

"Udahlah nggak usah di pikirin Pika tidur aja, besokkan Pika sekolah dan bisa ketemu sama Ayah."

"Oh iya ya...." Pika baru ingat kalau sekolahan tidak jauh dari sekolah dimana ayahnya mengajar, hanya berjarak beberapa puluh meter.

"Ya udah sana tidur."

Pika mengangguk kemudian berbaring, Sandra yang melihat itu lalu menarik selimut dan menangkupkan di tubuhnya.

Sandra melangkah menuruni anak tangga dengan pandangan mengedar ke sekeliling ruang yang hanya di terangi oleh cahaya redup, membuat suasana sunyi semakin terasa. Rumah yang biasanya selalu terlihat ramai sekalipun hanya di tinggali tiga orang itu kini serasa tak berpenghuni.

Reza, satu-satunya orang yang sering membuat keributan di rumah itu. Entah itu saat sedang lipsing bersama anaknya, menonton televisi bersama Rena atau berlarian kesana kemari bersama kucing-kucingnya. Reza memang pandai membuat semuanya terlihat sempurna.

NEVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang