05. Berbayar

36.4K 2.1K 43
                                        

YASA tak bisa berkata apa-apa saat Gesa pamit untuk pulang ke Bandung di malam pernikahan mereka. Pria itu bahkan tak sengaja meninggalkan jam tangannya di sudut kamar. Yasa hanya pandangi jam tangan mewah berwarna silver itu. Setiap detik dari jam tangan itu lantas membuat Yasa tergugu dalam pikirannya sendiri.

“Elfara sakit, saya harus pulang.”

Hanya satu kalimat itu yang Gesa ucapkan sebelum dia pergi tanpa janji untuk kembali.

Sebenarnya, Yasa ingin menaruh harapan pada Gesa. Namun, Yasa paham di mana tempatnya saat ini. Yasa hanya seorang tamu yang singgah sementara dalam pernikahan Gesa dan Elfara. Entah kehidupan seperti apa yang akan Yasa lalui dalam persinggahannya kali ini. Akankah berakhir dengan senyuman seperti dongeng sebelum tidur ataukah selamanya dongeng itu berakhir saat Yasa membuka matanya.

Lelah bergulat dengan pikirannya sendiri, Yasa memutuskan untuk duduk di depan meja rias. Dia pandangi dirinya sendiri melalui pantulan cermin besar di hadapanya. Di sana, Yasa melihat dirinya masih cantik layaknya seorang pengantin. Bahkan, untaian bunga melati masih menghiasi sanggul sederhana yang menjadi mahkotanya hari ini. Satu demi satu, Yasa lepaskan semua hal yang menghiasi dirinya hari ini. Satu demi satu, Yasa tinggalkan semua kekhawatirannya hari ini. Apa pun yang akan terjadi esok hari, Yasa harus siap untuk menghadapi, baik itu dongeng bohong tentang pangeran berkuda putih atau kenyataan pahit tentang perempuan yang menjajakan rahimnya.

“Teh.”

Yasa menolehkan kepalanya saat mendapat panggilan itu. Yasa tatap gadis berusia 16 tahun yang berdiri cangung di ambang pintu kamar.

“Mala?”

“Aku boleh masuk gak, Teh?”

Anggukan kecil dari Yasa, membuat Mala tersenyum sumringah. Gadis manis berambut pendek itu mendekati kakaknya yang masih sibuk menghapus riasan. Dia berdiri di belakang Yasa. “Mau dibantuin gak, Teh?” tanyanya.

Tak tahu mendapat dorongan dari mana, gadis itu tumben menawarkan bantuan. Padahal, selama ini Mala tak pernah mematuhi ucapan Yasa. Apalagi, usia Mala yang terpaut hampir 8 tahun dengan usia Yasa, membuatnya sangat manja dan sulit untuk diandalkan.

“Bantuin Teteh buka sanggul aja, La. Teteh gak bisa bukanya, jepitannya kebanyakan. Gak kelihatan juga kalau Teteh buka sendiri,” jelas Yasa sambil memegang sanggulnya yang belum terlepas. “Tolong, ya, bageur.”

“Siap, Komandan!” Mala mulai melepaskan setiap jepitan dari legamnya rambut sang kakak bersamaan dengan rambut Yasa yang mulai terurai panjang.

“Teh ... sekarang Teteh udah nikah. Gimana rasanya?” tanya Mala tiba-tiba.

Yasa tak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia hanya tertegun sambil memandangi adiknya melalui cermin. Jangankan Mala, Yasa sendiri pun tak tahu perasaannya saat ini seperti apa. Diam-diam, Mala ikut memandangi kakaknya dari pantulan cermin yang sama. Mala tak menyangka kini kakaknya sudah dipersunting oleh pria yang setahu Mala seorang pria tampan kaya raya dari Bandung.

“Teh, A Gesa itu ... orang sibuk, ya?” tanyanya.

“Pak Gesa, Mala!” sahut Yasa.

“Dia ‘kan udah nikah sama Teteh. Jadi, gak salah dong, kalau aku panggil Aa. Lagian dia juga orang Bandung,” timpal Mala tak mau kalah.

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang