08. Permintaan

27.6K 1.7K 44
                                    

GESA memandangi Yasa yang kini masih terlelap dalam balutan selimut. Perempuan itu terlihat begitu damai dalam tidurnya meski mata sembab dan hidung merahnya masih terlukis di sana. Bahkan, pipi nyanyar bekas tamparan Gesa seakan masih tersirat dalam ayunya wajah itu.

Malam panjang sudah hampir habis, tapi Gesa masih belum memejamkan matanya barang sedetik. Ada rasa bersalah yang Gesa rasakan saat memandang perempuan yang terlelap itu. Ada rasa pedih dalam hati Gesa saat menyadari wajah indah itu masih memamerkan kekecewaan. Gesa memang bukan manusia berhati malaikat, tapi dia juga bukan manusia yang dipenuhi oleh kekejian. Masih ada kasih sayang dalam keegoisannya, masih ada rasa iba dalam ambisinya, dan masih ada pengorbanan dalam setiap amarahnya. Karena, Gesa juga hanya manusia biasa yang kadang bisa menjadi baik dan tak jarang pula bisa bersikap buruk.

Seperti kata orang, manusia itu berada di posisi abu-abu. Mereka tak sesuci warna putih. Mereka juga tak sedalu warna hitam. Masih ada keburukan dalam diri manusia baik dan masih ada kebaikan dalam diri manusia buruk. Namun, kejamnya seorang manusia ketika mereka tidak menyadari keadilan akan hal itu. Mereka akan selalu memandang buruk manusia yang pernah melakukan keburukan, meski sebanyak apa pun kebaikan yang sudah diperbuat.

Manusia percaya bahwa seribu kebaikan takkan bisa mengubah manusia menjadi malaikat, tapi dengan satu kesalahan saja, manusia bisa melabeli manusia lain dengan panggilan keji yang disebut dengan iblis. Mungkin bagi Yasa, seorang iblis itu adalah Gesa. Pria yang menghargainya dengan sejumlah uang.

Sekarang, duduk di tepian ranjang dengan semangkuk air dingin berisi beberapa balok es dan sehelai handuk kecil. Dengan penuh kehati-hatian, Gesa tempelkan handuk kecil bersuhu dingin itu tepat di atas pipi Yasa yang masih terlihat bengkak. Tak jarang, Gesa meringis ngeri saat mengingat kembali betapa mudahnya dia melayangkan tangan pada Yasa.

“Maaf.”

Sudah tak tehitung bibir Gesa mengecapkan kata maaf, tapi tak tehitung pula rasa bersalah yang terus menghantui hatinya. Perlahan, Gesa singkirkan helaian rambut Yasa yang menghalangi wajah elok itu. Gesa tarik kembali selimut yang tak sengaja tersingkab dari tubuh Yasa.

“Maaf ... karena memaksamu, Yas.” Gesa menundukkan kepalanya. Dia raih tangan Yasa. Dia pautkan jemari kurus itu dengan jamari miliknya. “Mungkin kamu benar ... Tuhan tak memberiku kepercayaan untuk memiliki seorang putra. Kamu mungkin juga benar, aku terlalu kotor untuk manjaga salah satu malaikat kecil milik Tuhan. Yas ... aku hanya ingin Elfara sembuh. Tapi—”

Gesa tak mampu melanjutkan ucapannya. Dia tersedu sambil mengeratkan genggaman tangannya pada Yasa. Matanya mulai terasa memanas dan begitu perih. Setelah mengembalikan deru napasnya yang hampir tersenggal habis, Gesa kembali memandang wajah Yasa.

“Tapi ... Tuhan juga gak mau mengabulkan permintaan itu.”

Seakan menjadi kawan di kala sepi, Gesa tak henti membisikkan kekecewaanya, dia terus mengadu sendu pada Yasa yang sebetulnya masih terlelap dalam tidurnya.

“Yas, apa manusia kotor sepertiku tidak boleh meminta?” Entah pada siapa Gesa bertanya. Tapi, Gesa kembali bertemu dengan jalan buntu yang tak bisa dia lewati. “Kadang aku iri. Aku iri pada mereka yang bisa bermain dengan anak kecil. Aku juga cemburu. Aku cemburu pada mereka yang mendapat panggilan ayah.”

Gesa memandangi telapak tangannya sendiri. Tangan itu yang tadi malam melukai Yasa. Tangan itu pula yang membawa Yasa pulang ke sini.  “Kalau boleh meminta. Aku ingin meminta harapan itu dari kamu, Yas.”

Lelah mengadukan segalanya, Gesa kembali mengganti kompres haduk dari pipi Yasa dengan handuk yang kalah dingin. Dia tempelkan kembali helaian itu dengan hati-hati. Perlahan, tangannya bergerak untuk menyentuh wajah Yasa. Dia terkejut karena wajah indah itu begitu panas. Gesa tempelkan punggung tangannya di kening Yasa. Suhu tubuh Yasa begitu tinggi dengan napas yang tak teratur.

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang