YASA tak bisa menepis pikirannya pada gambar milik Elfara. Setiap figur yang terlukis di sana seakan menghantui Yasa setiap detiknya. Setiap garis yang tercoret di sana seolah mampu membelenggu Yasa setiap waktunya.
Entah kebahagiaan siapa yang Yasa renggut, dia hanya ingin memiliki apa yang seharusnya dia miliki.Sumpah demi Tuhan, tak ada niat dalam hati Yasa untuk menghancurkan cita-cita orang lain, apalagi merenggut kebahagiaan perempuan lain. Namun, Yasa bukan pahatan batu yang tidak memiliki hati. Dia punya mimpi. Dia punya rasa. Bahkan, dia juga punya ego untuk bahagia.
Jika Yasa memang bukan pemeran utama dalam gambar milik Elfara, tolong izin Yasa untuk menggambar hidupnya sendiri. Di mana Yasa bisa berdiri di samping seseorang dan mengenggam tangan mungil dari putrinya sendiri.
Hanya itu. Hanya itu yang Yasa mau.
Bentala yang basah masih berpayung langit kelabu. Tanpa Yasa sadari, rinai hujan tetap tegar menyampaikan kerinduan langit pada bumi. Cakrawala itu masih bermuram durja. Jika langit juga memiliki hati, siapa tahu bukan kerinduan yang dia sampaikan. Mungkin saja, hujan adalah tangis pilu langit yang tidak terdengar oleh bumi.
Yasa pandangi jalanan kampung yang sepi karena hujan yang tak kunjung menepi. Perempuan itu duduk di sebuah gazebo yang terbuat kayu di pinggir jalan. Jika bukan karena hujan yang menerjang langkah Yasa, tak sudi sesungguhnya dia duduk sendirian seperti ini. Namun, tangisan langit terus memaksa Yasa untuk berdiam dan menunggu langkahnya datang kembali.
Hawa dingin mulai terasa menyakiti. Yasa mengigil sambil memeluk tubuhnya sendiri. Sebenarnya, Yasa sudah meminta Mala untuk membawakan payung, tapi jangankan sebuah payung, balasan pesan dari Mala pun tidak Yasa dapatkan.
Sambil menggosok kedua telapak tangan, Yasa memandangi sekantong sayur-mayur di sampingnya. Tadinya, Yasa hanya ingin belanja di pasar sebelah, tapi malah terjebak untuk berteduh sendirian.
Suasana melankolia ini terus meminta Yasa untuk berkelana dalam pikirannya sendiri. Sudah tak terhitung kekhawatiran yang hinggap di pikiran Yasa. Sudah banyak juga asumsi-asumsi yang Yasa kecapkan dalam batinnya sendiri.
Sampai akhirnya, sebuah motor matic berwarna merah maroon berhenti di depan gazebo. Pengemudinya begitu tergesa memarkirkan motor dengan asal. Pakaian orang itu terlihat sudah setengah basah. Dari perawakannya, Yasa bisa menerka bahwa orang itu mungkim seorang pria berbadan kurus tinggi.
Yasa tersentak kaget saat pria itu membuka helm yang menutupi seluruh wajahnya.
"A Nuril," Yasa bergumam pelan.
Rasanya, sudah lama Yasa tidak melihat pria itu. Nuril memang sudah jarang terlihat di sekolah atau pun di sekitar rumah. Ditambah dengan Yasa yang masih dalam masa cuti melahirkan. Sampai-sampai, Yasa lupa kapan terakhir kali mereka bertemu.
Tak ada yang berbeda dari Nuril. Tatapannya tetap ramah. Senyumannya juga masih sama hangatnya. Hanya saja, tubuh Nuril terkesan jauh lebih kurus, tapi telihat lebih tinggi. Kepala pria itu bahkan hanya berjarak sejengkal dengan atap gazebo.
Namun, sepertinya Nuril tidak menyadari keberadaan Yasa. Pria itu berteduh sambil terus menggerutu, "Ah, elah ... padahal bentar lagi nyampe! Ada acara hujan segala!" desaunya kesal.
Nuril lantas memeras ujung baju dan memeriksa bungkusan plastik di tangannnya yang ternyata berisi beberapa buku.
"Untung gak ikutan basah," gumamnya.
"Abis dari mana, A?" tanya Yasa.
Sesuai dengan dugaan Yasa, Nuril benar-benar tidak melihat figur Yasa yang duduk di ujung gazebo. Pria itu terkejut. Kedua bola matanya hampir keluar karena terbelalak.
"Yasa? Kok di sini? Ngapain?" tanya Nuril.
"Kehujanan abis dari pasar. Aa dari mana?"
"Dari itu ... apa sih namanya, tempat buat ngirim barang?"
"Kantor ekpedisi?"
"Nah, iya ... itu, tapi tutup. Bukan tutup sih, mereka pindah, gak tahu ke mana."
Meski dengan nada canggung dari ucapannya. Pria itu tetap tersenyum ramah. Dia ikut duduk di tepian gazebo dengan bentangan jarak yang cukup jauh dengan Yasa.
"Eh, ini ... Aa gak masalah nih ikut neduh di sini?" tanya Nuril
"Ini tempat umum," sahut Yasa.
Seakan mengenang kenangan lama, rasannya hal ini pernah terjadi sebelumnya. Di mana Yasa dan Nuril duduk berdua di tengah hujan, menunggu langit siap memamerkan pelanginya.
Dua orang itu larut dalam pikiran mereka masing-masing. Tak ada kecap yang mereka ucapkan lagi. Hanya rintik hujan yang kini mendominasi bumi berserta bumantara.
Kini, Yasa menyadari kalau getar jantungnya untuk Nuril sudah berbeda. Tak ada perasaan hangat yang mendera hatinya. Tak ada tarian indah dari ribuan kupu-kupu dalam perutnya. Semuanya hambar tanpa rasa.
Berlainan dengan Nuril. Pria itu masih mencuri pandangan untuk Yasa. Dia tengah mencari rambut legam nan panjang milik Yasa. Meski masih sama indahnya, Nuril hanya bisa mengubur kembali debar jantungnya sendiri.
"Mau ngirim apa, A?" tanya Yasa.
"Buku," sahut Nuril.
Pria itu kembali memeriksa buku-bukunya dalam kantong plastik. Kemudian, dia menatap wajah Yasa dari samping. Sorot mata Yasa jauh lebih berbeda. Tak ada binar bintang dalam manik legam itu. Tak ada sorot harapan dalam kedua bola mata itu. Nuril terenyuh. Harinya berdenyut perih.
"Yas, Aa turut berduka cita untuk bayi kamu ... maaf, Aa gak ikut nengok bareng guru-guru. Lagi hectic waktu itu teh. Tapi, do'a Aa tetap yang terbaik buat kamu sama suami kamu."
"Di mana?" tanya Yasa. Dia mengela napasnya sebentar. Dia tak mau membahas hal itu kali ini. "Di mana kuliahnya?"
"Di Amsterdam." Nuril tertegun sebentar. Pria itu tengah menerka, akan sejauh apa dia akan meninggalkan rumah. "Jauh, ya?" tanyanya.
"Banget, tapi harus bersyukur. Gak semua orang dapat kesempatan itu."
"Kamu bener, Yas. Aa harus bersyukur. Do'akan aja, di sana Aa bisa mendapatkan hal yang Aa mau. Kehidupan yang lebih baik. Ketemu perempuan cantik yang mencintai Aa dan Aa cintai. Jadi, saat Aa pulang nanti, ada hal yang Aa pamerin ke kamu sampai kamu nyesel udah ninggalin Aa."
Yasa sontak menoleh. Dia tertegun dengan pandangan yang tertuju pada kedua bola mata Nuril. Yasa sungguh terkejut dengan ucapan Nuril. Namun, Pria itu malah tertawa kecil.
"Bercanda, Yas. Ya ... namanya juga hidup. Kalau gak meninggalkan, ya ditinggalkan. Gak selamamya apa yang kita rencanakan berjalan dengan mulus. Gak selamanya kita mendapatkan apa yang kita mau. Kita hanya perlu bersyukur. Karena, Tuhan itu tidak memberikan apa yang kita mau, tapi Dia akan memberikan apa yang kita butuhkan."
Nuril terdiam lagi. Masih ada rasa kecewa dalam hatinya. Ada rasa cinta yang bercampur dendam dalam kalbunya.
"Mungkin, saat itu ... bukan Aa yang kamu butuhkan. Makanya, Tuhan ngirim orang lain buat kamu, Yas."
Tiba-tiba, guntur di atas langit terdengar begitu nyaring. Di waktu yang sama, hujan turun begitu deras. Yasa dan Nuril seakan tak mampu mendengar debar jantung mereka sendiri.
Bahkan, gemercik air yang bertabrakan dengan tanah seakan mampu meredam suara Nuril.
"Tapi, Yas ... kalau kehidupan kedua itu beneran ada dan kita terlahir kembali untuk bertemu lagi, kamu jadi istri Aa, ya."
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...