16. Taksa

26.8K 1.7K 73
                                        

GESA tak tahu di mana akal sehatnya sekarang dan di mana hatinya saat ini. Dalam benaknya masih jelas terekam bagaimana malam itu Yasa memohon untuk berhenti, bagaimana malam itu Yasa merintih karena rasa sakit, dan bagaimana malam itu tubuh Yasa bergetar karena derita akan rasa takut.

Pergi!

Kata itu yang Yasa teriakkan saat pagi tiba. Gesa tak bisa berbuat apa-apa saat Yasa mengusirnya. Bahkan, saat Gesa mencoba untuk kembali memohon sebuah kata maaf, hanya cacian yang dia dapat. Gesa tak menyalahkan Yasa. Gesa juga tidak membenci perlakuan Yasa. Cacian dan penolakan itulah yang mungkin memang pantas Gesa dapatkan. Karena, Gesa juga paham, hal kecil seperti itu tak sebanding dengan apa yang Yasa terima darinya.

Sekarang, di rumah ini Gesa bisa berdiam. Dia duduk di ruang tamu dari rumah besar yang begitu sepi. Hanya pajangan antik yang menemani Gesa dan hanya rentetan potret yang mendampingi Gesa di sana. Dalam potret itu ada foto masa kecil Gesa hingga foto pernikahan Gesa dengan Elfara. Semuanya seolah menjadi cacatan kecil perjalanan hidup yang telah Gesa lalui.

Tiba-tiba, helaan napas dari perempuan sepuh di tempat itu mengalihkan perhatian Gesa. Dia pandangi perempuan itu.

“Udah mah satu-satunya, disuruh pulang ke rumah, susah … sibuk sama keluarga sendiri, sampai lupa punya pacar sepuh di sini. Mamah kangen, A.”

Gesa tersenyum kecil saat mendengar Mamah mengeluh. Perempuan yang hampir lekang oleh masa itu tersenyum, memamerkan beberapa kerutan di wajah cantiknya. Mamah adalah cinta pertama Gesa, perempuan yang melahirkan juga menjaga Gesa dari kecil hingga sekarang. Namun demi Elfara, Gesa harus meninggalkan Mamah di rumah Sumedang seperti ini sendirian. Sebenarnya, Mamah bukan tak mau hidup berdampingan dengan Elfara, tapi dia takut menjadi orang ketiga dan memembuat Elfara tidak nyaman.

“Mamah ‘kan gak bisa ke Bandung, A ... ya atuh kamu yang datang ke sini sekali-kali. Mamah juga bukan gak mau nengok Elfara, tapi ini encok sama asam urat gak bisa diajak kerja sama,” ucap Mamah lagi. Perempuan sepuh itu meletakkan beberapa camilan dan teh hangat untuk putra semata wayangnya yang kini sudah sangat begitu dewasa.

“Ya gimana gak encok, Mah ... tiap hari ngejait terus,” sahut Gesa.

Mamah kembali menghela napasnya. “Ya gimana atuh, A. Karena main sama cucu gak bisa, ya udah ... Mamah ngejait kebaya aja,” sahutnya.

Kali ini, bibir Gesa mengatup sempurna karena keluhan Mamah. Mungkin ini salah satu alasan Gesa ingin seorang putra. Tak hanya untuk Elfara, tapi juga untuk Mamah. Sebetulnya, Mamah memang tidak secara langsung memaksa Gesa untuk memiliki momongan. Namun, kebisuan Mamah saat Gesa memberi kabar buruk tentang kondisi Elfara, membuat Gesa mengerti. Mamah kecewa. Mamah harus menepis mimpinya untuk menggendong bayi kecil dari Gesa.

Sadar ucapannya mengusik hati Gesa, Mamah buru-buru menyodorkan makanan hangat yang dia buat. “Eh, A ... kebetulan Mamah bikin bakwan jagung kesukaan Aa, raos kalau lagi hujan begini,” ucap Mamah.

Gesa mengangguk. “Iya ... Mah,” ucapnya. Dia ambil beberapa potong bakwan yang masih hangat itu. Makanan buatan Mamah memang tak pernah bisa tergantikan. Gesa seakan mengulang kembali masa kecilnya. Masa bahagia saat tak ada satu hal pun yang harus Gesa khawatirkan atau sesalkan.

“Kabar Elfara sekarang gimana, A?”

“Baik, Mah. Kemarin operasinya lancar. Udah mulai pulih dan sekarang udah pulang.”

“Elfara sendirian di rumah?”

“Sama Ary,” singat Gesa dengan mulut yang penuh dengan bakwan jagung.

“Oalah, iya. Mamah sampai lupa sama Ary. Gimana kabar dia? Mamah teh kasihan sama Ary. Kamu jangan gitu ya, A. Gara-gara istri gak bisa ngasih keturunan, suaminya malah tega minta cerai.” Mamah sedikit banyaknya tahu tentang kisah Ary. Dokter cantik itu bahkan sudah seperti anak sendiri bagi Mamah.

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang