ELFARA berusaha membuka kelopak matanya, tapi netra itu terasa buram dan pudar. Hanya cahaya putih dari sorot lampu yang dapat Elfara lihat. Bibir pucatnya ingin berucap, tapi begitu kelu. Jemari lentiknya ingin menggenggam, tapi begitu cabar. Seluruh tubuh Elfara terasa lemah tak berdaya. Bahkan untuk sekedar bernapas saja, terasa begitu sulit untuk Elfara lakukan.
"Tadi, kamar Bu Elfara sempat terkunci. Dia ditemukan tak sadarkan diri oleh perawat yang mengantarkan makanan."
"Sebetulnya, di TKP tidak ditemukan benda tajam. Dugaan kuat, Bu Elfara melukai dirinya menggunakan pecahan kaca dari figuran foto."
"Betul. Saat masuk ke IGD, pecahan kaca itu masih dia genggam."
"Situasinya cukup fatal. Luka sayatan di pergelengan tangan Bu Elfara sangat dalam. Jika penangan pertamanya lebih cepat dilakukan, Bu Elfara tidak akan kehilangan banyak darah. Sekarang, kita hanya bisa menunggu ...."
Sayup-sayup, Elfara mendengar suara-suara orang yang saling bersahutan. Entah apa yang mereka bicarakan. Semuanya terlampau bertabrakan dengan rasa pening.
Elfara menolehkan kepalanya, menatap siluet orang-orang di sana. Meski tidak begitu jelas, tapi Elfara bisa menerka figur itu, figur senja dari Mamah yang sedikit bungkuk. Di samping Mamah ada sosok Ary dan Diaz dengan snelli putih mereka. Di sisi lain, ada beberapa orang yang sukar untuk Elfara kenali.
Elfara terus mengedarkan pandanganya. Lambat laun, netra buram itu kembali menemukan pandangan. Banyak sekali wajah sendu di sana. Banyak sekali tangisan yang tertahan dalam sorot mata mereka. Senyuman kecil mulai tercipta dari wajah cantik bersemu pasi itu. Elfara bahagia. Ternyata, selama ini Elfara gak pernah sendirian. Ada banyak orang yang mengelilinginya.
Bola matanya kembali bergulir hingga manik cokelat itu menemukan wajah Gesa, pria itu duduk di samping Elfara tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. Kepala Gesa tertunduk sempurna dengan derai air mata yang seolah tidak ada habisnya.
Kini, Elfara tahu tangisan siapa yang sejak tadi samar terdengar.
"S-sayang ...." di balik NRM yang menutupi mulut dan hidung Elfara, suara perempuan cantik itu terdengar meski begitu pelan dan kesakitan.
Sorot mata Gesa semakin berkaca-kaca. Dia eratkan genggaman tangannya mereka. Gesa kecup punggung tangan yang terbalut perban tebal itu. "Iya, Sayang ... aku di sini," bisiknya.
"Maaf ... maaf ... aku-"
Ucapan Elfara tercekat karena napas yang kini terasa begitu menyakitkan. Dia mencoba untuk kembali menghirup udaranya, tapi semuanya begitu sulit. Dia terengah-enggah, memburu napas yang seakan hilang.
"Sakit ...," rintihnya pelan.
Gesa usap surai cokelat Elfara. Pria itu menggelengkan kepalanya dengan ribut. "Enggak, El. Kamu kuat ... aku di sini sekarang. Mana yang sakit?"
Elfara bersusah payah membawa genggaman tangan Gesa untuk menyentuh dadanya yang berdetak samar. "I-ni ... di sini ... semuanya sakit, Gesa ...."
Gesa menangis tanpa suara. Dia bahkan bisa merasakan bagaimana Elfara begitu kesakitan. Napasnya begitu tipis, detak jantungnya juga seakan samar terdengar.
"Bayi ... di mana Ayas?" Elfara mencari figur kecil yang sempat hadir dalam mimpi indahnya. "Di mana bayi cantik itu?" tanyanya.
Gesa memalingkan wajahnya. Dia tatap figur Mamah yang masih sama pilunya. Tak ada santun yang terucap dari Mamah. Hanya pilu yang dibalas derita.
"Yasa ... dia gak ada di sini? Dia yang membawa putriku?" dengan suara yang terbata-bata, Elfara kembali bertanya.
"Nanti ... nanti kita ketemu Ayas. Kita temui Yasa juga."
Elfara menutup matanya, meredam rasa sakit yang kian mendera. Dia eratkan genggaman tangannya pada Gesa, berharap bisa mendapat sedikit kekuatan untuknya bertahan sedikit lagi.
"Sayang, saat aku menunggu kamu datang ... aku bermimpi. Dalam mimpi itu ada kita bertiga. Ada aku ... kamu ... juga Ayas, tapi tiba-tiba Yasa datang. Dia datang dan merebut semuanya dariku. Aku marah, Gesa ... aku ingin marah, tapi kamu bilang Ayas dan hati kamu milik Yasa. Semuanya milik Yasa. Sekarang ...." Elfara kembali tercekat. Dia menangis dalam rintihannya. "S-sekarang apa yang aku miliki?" tanyanya.
Hati Gesa hancur detik itu juga. Ternyata, dia adalah penyebab dari semuanya. Ternyata, dia adalah kesakitan yang Elfara miliki. Dan, inilah buah pengkhianatan yang harus Gesa tuai. Dia tertunduk bersama air mata yang perlahan berjatuhan. "Maaf," paraunya.
Samar-samar, Elfara menggelengkan kepalanya begitu lemah. "Enggak ... aku yang salah. Aku yang gak sempurna ...."
Elfara kembali meremat genggaman tangan Gesa, menahan rasa sakit yang seakan merenggut kesadarannya. "Maafkan aku ...." ucapannya kembil tepotong oleh napas yang tersenggal. Dia menutup mata hingga linangan air matanya ikut menetes dan membasahi wajahnya.
"Elfara ... lihat aku ...." Gesa menggucang tubuh Elfara pelan, berharap bisa mengembalikan kesadaran istrinya itu. "Lihat aku ... El ... tatap aku."
Elfara bersusah payah untuk membuka matanya kembali, tapi rasa sakit itu membuatnya ingin menutup mata. "Aku capek ... aku tidur sebentar, boleh ya ...," bisiknya begitu pelan.
"Enggak Elfara, enggak!"
Namun, suara Gesa benar-benar bersahutan dengan tawa bayi kecil yang Elfara dengar. Dalam pandangan samar yang begitu kelabu, Elfara bisa melihat figur kecil dari dirinya sendiri. Gadis cantik berambut ikal yang menari di tengah panggung pertunjukkan taman kanak-kanak. Elfara terkekeh, menyadari betapa menggemaskannya Elfara kecil.
Tak lama, Elfara yang beranjak remaja ikut menyapa. Gadis berambut cokelat itu tertawa bahagia besama kedua orang tuanya. Elfara ingin berlari ke sana. Dia ingin menjadi bagian dari kebahagiaan itu. Namun, langkahnya kembali terhenti. Dia menoleh saat seseorang memanggil namanya.
"Elfara!"
Tenyata, Gesa. Elfara menyambut seruan itu dengan senyuman. Di sana, Gesa masih berseragam putih abu-abu. Pemuda itu berlari dengan boneka besar dalam pelukannya. Namun, bukan Elfara yang Gesa tuju. Gesa berlalu sampai akhirnya pemandangan itu hilang begitu saja.
Seakan mengulang hal yang sama. Kini, Elfara melihat dirinya bersama Gesa di hari penikahan yang megah. Kebahagiaan itu begitu terasa. Elfara kembali berlari. Namun, langkahnya seakan tak pernah sampai pada kebahagiaan itu. Dia malah bertemu dengan figur Yasa yang bergurau bersama Ayas dalam pangkuannya. Dari kejauhan, Yasa memberikan senyuman kecil, Yasa menganggukkan kepala sebelum kembali hilang dalam penglihatan Elfara.
Rentetan kenangan demi kenangan terus berulang. Wajah demi wajah terus menemui Elfara dengan berbagai macam kebahagiaan. Bagaikan sebuah film lama yang diputar kembali, Elfara seakan bisa melihat segala hal yang telah dia lalui di dunia ini. Canda, tawa, tangis, dan sedih. Semuanya kembali berputar dalam sorot mata Elfara.
Namun, film itu berhenti. Semuanya hilang dan digantikan oleh kehampaan. Tak ada hal yang mampu Elfara lihat sekarang. Semuanya kosong dan sunyi. Elfara ingin berlari, tapi harus ke mana langkahnya berarah. Elfara ingin berteriak, tapi seruan apa yang harus Elfara lantangkan. Elfara juga ingin menangis, tapi langkah mungil itu lebih dulu mengalihkan perhatian Elfara.
Tak jauh di depan sana, ada putra kecilnya. Malaikat rupawan berwajah Gesa kecil yang belum sempat Elfara peluk.
"Bunda ... kenapa lama? Aku mau pulang sama Bunda." bocah kecil itu merengek. Dia berlari, menyambut pelukan Elfara.
Damai dan menyenangkan.
Elfara mendekap putranya penuh kerinduan. Sungguh, dia bahagia. Hatinya begitu tenang dan nyaman, bahkan tak ada rasa sakit yang dia rasakan lagi.
"Elfara!" Suara Gesa kembali terdengar samar. Pria itu berdiri dan menunggu Elfara dari kejauhan.
"Aku mau di sini ... bersama putra kita, boleh 'kan?" tanya Elfara tanpa melepaskan keindahan pelukan dari putranya.
Gesa menganggukkan kepalanya. "Aku ikhlas ... aku ikhlaskan kamu di sana, El."
Senyuman Gesa mengantarkan Elfara pada tempat kosong yang begitu putih dan menyilaukan. Sangat putih hingga Elfara harus menutup matanya.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .
2 part lagi 🥀

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...