YASA dulunya yakin bahwa masa depan adalah milik mereka yang percaya pada indahnya sebuah mimpi. Namun, sekarang Yasa ragu. Dia ragu akan keindahan dari mimpinya sendiri. Mungkin, selamanya mimpi indah Yasa hanya bisa menjadi bunga tidur dalam hidupnya. Bunga yang memang mekar dalam harapannya saja, tidak dalam kehidupannya.
Hari ini, Bapak masih terbaring di rumah sakit. Mala masih merengek meminta untuk bisa datang ke Bandung. Sedangkan Yasa, dia harus menjalani prosedur akhir dari bayi tabungnya.
Ternyata, selama ini Yasa salah. Hidup itu bukan tentang mimpi indah. Hidup itu tak lebih dari serangkaian masalah, penolakan yang tak kunjung lelah, penempatan rasa yang salah, hingga akhirnya Yasa sadar harapannya sendiri yang membuat dia pasrah. Biarlah segalanya berjalan apa adanya, berlalu dengan semestinya, dan berakhirnya dengan seharusnya. Karena Yasa yakin, pada saatnya Tuhan akan berkata, “Istirahatlah, biar Aku yang menyelesaikan akhirnya.”
Entah akhir seperti apa yang akan Tuhan berikan untuk Yasa, hidup tetap harus berjalan, karena waktu tak pernah berhenti bergulir.
“Nyonya Yasa, anda sudah siap?” tanya salah seorang suster.
Sambil mengeratkan genggaman tangan pada baju pasien yang dia kenakan, Yasa menganggukkan kepalanya samar, lantas menolehkan kepala. Pandangannya langsung tertuju pada wajah Gesa yang berdiri di sampingnya. Pria itu merangkul bahu Yasa dan membawa mereka berdua ke sebuah ruangan bernuansa putih yang begitu bersih.
Dalam ruangan itu sudah ada banyak orang. Lebih tepatnya, ruangan itu diisi oleh dokter dan beberapa suster yang sudah menutupi hampir seluruh tubuh mereka dengan pakaian operasi. Bahkan, wajah mereka juga tertutup masker medis. Hanya, sepasang mata dari orang-orang itu yang dapat Yasa lihat.
Yasa mulai menyusuri tempat dan orang-orang di sana melalui sorot matanya. Perlahan-lahan, dia duduk dengan detak jantung yang mulai tak karuan. Berbagai macam alat yang ada di sana membuat Yasa jatuh dalam rasa gugup.
“Udah mau pipis belum?” tanya salah satu dari mereka di sana. Dari suaranya, Yasa yakin itu Diaz, dokter yang selama ini menemani juga membantu Yasa dalam proses bayi tabungnya.
“Belum,” sahut Yasa.
Diaz memberikan sebotol air mineral. “Ya, udah ... minum dulu yang banyak. Soalnya, proses transfer embrionya akan lebih mudah dilakukan saat kamu nahan pipis,” jelasnya.
Yasa mengerti, dia menganggukkan kepalanya dan segera minum dengan cepat. Saking cepatnya, dia sampai tersedak oleh air minumnya sendiri. Perempuan bewajah ayu itu terbatuk sambil menutup mulutnya sendiri.
“Hati-hati.” Itu suara Gesa. Sejak tadi, pria itu menopang tubuh Yasa dari belakang. Tangannya masih setia merangkul bahu Yasa. Dia beralih untuk mengambil botol air minum dari tangan Yasa. Jemarinya dengan lembut mengusap bibir Yasa yang basah karena air minumnya sendiri.
Yasa tertegun karena hal itu.
“Pelan-pelan aja,” ucap Gesa.
Bahkan dengan wajah yang tertutup masker sekalipun, Yasa masih bisa melihat senyuman Gesa. Mata indah itu melengkung bagaikan dua busur panah yang selalu menghiasi senyuman Gesa.
“Udah cukup kali, ya?” Pertanyaan Diaz sanggup mentrupsi pikiran Yasa. “Kita mulai aja,” ucap Diaz lagi.
Gesa mengerti. Dengan hati-hati, dia membantu Yasa untuk berbaring di atas meja operasi. Tak hanya itu, Gesa juga membantu merapikan penutup kepala Yasa yang hampir melorot karena ukurannya yang terlalu besar. Tangannya begitu telaten memasukkan setiap helai rambut legam Yasa yang tak sengaja keluar.
“Yasa dan Gesa, kalian berdua juga bisa melihat prosesnya.” Diaz menunjuk monitor USG di depan mereka. “di sini,” sambungnya.
Gesa mengkerutkan keningnya. “Loh, Yasa ... Yasa—gak harus di—anestesi?” Gesa terheran sampai ucapannya begitu terbata-bata.
“Enggak ... prosedurnya gak mengharuskan pembedahan dan gak akan memerlukan waktu yang lama,” sahut Diaz.
“Serius? Gak bakal sakit ‘kan?” tanya Gesa lagi. Meski di balik masker, wajah Gesa tak bisa berbohong. Keningnya masih saja mengkerut, melukiskan kebingungan dan kekawatirannya.
“Enggak ... Pak Gesa,” timpal Diaz.
Sekarang, entah apa yang dokter dan para suster itu lakukan pada tubuh Yasa. Yasa tak berani untuk melihat. Bahkan, monitor di depan matanya tak sanggup Yasa lihat. Hal yang dengan jelas Yasa rasakan, ada alat yang masuk ke dalam tubuh bagian bawahnya. Rasanya tidak sakit, tapi sungguh tidak nyaman.
Jujur, ada sedikit rasa malu sekaligus segan saat tubuh bawahnya tentu saja dilihat secara langsung oleh sang dokter dan para suster itu. Yasa memalingkan wajah, tapi pandangannya malah berakhir pada Gesa yang begitu serius melihat monitor USG. Pria itu terlihat khawatir bercampur cemas. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi tangannya tak lepas menggenggam tangan Yasa. Hingga, Yasa bisa merasakan betapa hangat dan eratnya genggaman tangan itu.
“Maaf,” guman Gesa tanpa suara. Dia usap kening Yasa yang terhalang anak rambutnya sendiri. Sengaja atau tidak, sadar atau tidak, Gesa melabuhkan ciumannya pada kening Yasa.
Yasa menutup matanya sebentar, merasakan Gesa yang begitu hangat. Perlakuan lembut dari Gesa lagi-lagi membuat Yasa tertegun dalam diam. Yasa bukan tak ingin cinta, Yasa bukan tak mau kasih sayang, tapi dia takut menyakiti dirinya sendiri dan Elfara.
Tak terasa, 15 menit berlalu begitu saja. Semua alat yang sejak tadi mengganggu Yasa sudah terlepas. Kecemasan yang terlihat dari wajah Gesa perlahan memudar. Keduanya saling menatap dengan pikiran mereka masing-masing.
“Sudah selesai. Yasa boleh beraktivitas biasa atau istirahat di ruang rawat inap juga boleh,” ucap Diaz.
“Istirahat aja,” timpal Gesa dengan cepat.
Diaz mengangguk paham. Dia mendekati Yasa dan Gesa. “Mungkin, nanti akan ada gejala-gejala yang dirasakan, mulai dari keram perut, nyeri payudara, mual, sampai keluar bercak darah. Tapi, jangan khawatir. Selama tidak berlebihan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dua pekan dari sekarang, kalian hanya perlu menunggu hasilnya, berhasil atau tidak,” jelasnya.
“Apa ada yang perlu Yasa hindari atau lakukan selama dua pekan itu?” tanya Gesa.
“Jangan terlalu kecapean aja, tapi tetap harus olahraga ringan. Makanan dan pola tidur tetap dijaga, jangan sampai banyak pikiran apalagi stres. Lalu, beberapa obat yang nanti akan saya resepkan jangan lupa untuk diminum. Itu aja sih,” Diaz terdiam sejenak. “oh ya, jangan dulu berhubungan badan.”
Diaz menyentuh sekilas bahu Yasa yang kini masih melamun. “Kalau ada hal yang kamu rasakan, jangan ragu untuk bilang ke Gesa, oke?” tuturnya.
Yasa hanya mengangguk samar. Diam-diam, dia menyentuh perut di balik baju pasiennya. Sekarang, keajaiban kecil akan mulai tumbuh dalam rahimnya. Meski bukan miliknya, meski hanya sementara, meski sekedar titipan, tapi biarkan keajaiban itu Yasa miliki selama sembilan bulan lamanya.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...