YASA ditipu.
Hidup Yasa benar-benar dipermainkan. Yasa benci segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Yasa benci hinanya sebuah kemiskinan. Yasa benci tololnya sebuah kebodohan. Sampai-sampai, Yasa benci rasa iba pada dirinya sendiri.
"SIALAN!"
Yasa berteriak kalut dalam ruang yang terkunci rapat. Suaranya menyatu dengan pilunya isak tangis. Dia lempar setiap benda yang dapat dijangkaunya. Dia habisi setiap entitas yang dapat netranya lihat.
Sungguh, Yasa ingin menghancurkan segalanya. Segala hal yang dia miliki hingga tak ada yang tersisa untuknya tangisi.
Hancur penuh luka.
Sekarang, tak ada satu figur pun yang patut dia puja dalam kamar itu. Semua keindahannya leyap seakan ditelan bumi. Segala keelokannya hilang seolah direnggut gelap malam. Yasa tatap dengan nanar pantulan dirinya sendiri di balik cermin. Dalam amarahnya, wajah Gesa kembali terbayang. Dalam kemurkaannya, kebohongan Gesa kembali Yasa tuai.
Entah selucu apa hidup Yasa bagi Gesa. Entah setidakberharga apa perasaan Yasa di mata Gesa.
Yasa benar-benar diperdaya dalam ketidakberdayaan. Selama ini, Yasa berusaha membohongi dirinya sendiri demi keajaiban kecil dalam rahimnya. Selama ini, Yasa memaksa diri untuk jatuh cinta pada figur kecil itu. Dia terima segala kenyataan bahwa bayi cantik itu bukan miliknya. Dia lapang atas kenyataan bahwa tak ada ikatan indah antara dia dan bayi mungil itu. Ternyata, segalanya hanya kebohongan yang terjatuh pada kebohongaan.
Yasa benar-benar ditipu.
Entah sejak kapan Yasa berkubang dalam dusta seorang Gesa dan entah sejak kapan Yasa tenggelam dalam tipu daya seorang Gesa.
Dengan pandangannya yang begitu samar, semu senyuman Gesa kembali terbayang dalam cermin itu. Indahnya senyuman itu menjadi ejekan hina untuk Yasa. Yasa benci figur candala berlumur nista itu. Yasa benci sosok jelata yang buta akan rasa di sana. Bahkan, dalam legamnya manik Yasa, Gesa seakan terbahak bersama Elfara. Suara mereka begitu nyaring menusuk Yasa dalam rungu.
"Kalian pikir, semua ini lucu?! Hah?! Berengsek! Jangan tertawa, setan!"
Yasa tak henti melantangkan amarahnya. Sumpah serapah terus mengalun keji memecah keheningan. Yasa lempar cermin penuh hina itu dengan vast bunga dalam genggamannya.
Yasa menutup telinganya sekuat tenaga, menulikan diri dari suara nyaring dari cermin yang terjatuh kemudian pecah menjadi kepingan kecil. Semakin kuat takad Yasa untuk menghindari, semakin congkak suara itu menghancurkan pertahanan Yasa.
Hancur penuh pilu.
Serpihan kaca itu menjadi dekorasi indah dalam kancurnya hati Yasa. Setiap ujungnya yang teramat tajam seolah mampu membunuh Yasa pelahan-lahan. Setiap kelopak bunga yang berguguran menjadi hiasan sempurna kepedihan hati Yasa. Setiap merahnya kelopak itu seakan mampu membukam Yasa dalam keabadian.
Yasa bersimpuh dalam tangisan. Malam yang seharusnya menjadi lembaran tenang untuk menutup satu hari yang lelah, kini menjadi kemelut rasa bercampur kecewa.
Yasa terduduk dengan segenggam amarah yang masih dia miliki. Pandangannya enggan untuk tertunduk. Tubuhnya seolah menolak untuk jatuh. Yasa tak mau kalah pada hati dan rasa sakitnya.
Di luar kamar, Bapak dan Mala sudah tak bisa berpikiran baik lagi. Suara benda yang terus berbenturan seakan berbicara, sehancur apa Yasa saat ini. Mala meringis ngeri saat lemparan dari kekecewaan Yasa berlabuh tepat pada pintu di depan mereka.
"Yas! Buka pintunya!" Bapak berteriak. Tangan sepuhnnya tak henti berupaya untuk mendobrak pintu kokoh itu.
"YASA! BUKA PINTUNYA!"
Yasa terdiam saat mendengar suara Bapak. Dia tatap pintu kamarnya yang masih tertutup. Perlahan, dia bangkit, kakinya mulai melangkah menuju pintu itu. Tak ada keraguan dalam setiap langkah itu. Tak ada ketakutan dalam tekad itu.
Yasa tak menyadari setiap serpihan kaca itu kini menusuk telapak kakinya. Merahnya darah di lantai putih, meninggalkan jejak setiap langkah Yasa.
Derai air mata masih tak bisa Yasa bendung. Isak tangis masih tak mampu Yasa sembunyikan. Namun, amarah dan kebencian itu tetap terpatri pilu dalam manik legam Yasa.
Yasa buka pintu kamar dengan kekecewaan yang masih menyelimuti jiwa dan akal sehatnya. Tak ada keindahan yang bisa Yasa lihat, hanya figur Bapak dan sosok Mala yang tak kalah hancur. Dua orang itu berdiri dengan tatapan perih menyiksa hati.
"Semua ini gara-gara Bapak!" Yasa berucap dengan suara yang kian bergetar. "KENAPA BAPAK HARUS BERUTANG!" teriaknya.
"Yas ... maaf." Bapak merintih pelan.
Mungkin Yasa benar. Jika Bapak punya sedikit kuasa, keluarga tak mungkin berakhir seperti ini. Yasa tak perlu mengorbankan masa depannya. Yasa tak perlu mengesampingkan egonya. Yasa juga tak perlu meninggalkan cintanya.
"Kenapa Bapak harus berurusan dengan dia, kenapa sih, Pak?!"
"Iya, Yas. Semuanya salah Bapak. Bapak yang salah. Bapak yang gak berguna."
"Harusnya, Bapak jangan meminjam uang pada orang itu. Harusnya, Bapak biarkan kita mati kelaparan. Biarkan kita hina dalam kemiskinan. Aku gak mau hidup seperti ini, Pak. Aku gak mau!"
Yasa kini menatap Mala. Dia pegang kedua pundak adiknya itu dengan erat. "La, kamu enggak apa-apa 'kan kalau gak sekolah. Kamu gak perlu kuliah. Iya, La?"
"Teteh ...."
Mala menatap sang Kakak dengan hati yang ikut perih. Dia ingin membawa penawar untuk setiap pilu itu, tapi harus dengan cara apa. Mala hanya gadis naif yang suka kemewahan. Mala hanya gadis egois yang tak tahu arti pengorbanan.
Sampai akhirnya, Mala hanya terpaku dengan tidak berdaya. Dia terisak sambil menunndukkan kepalanya.
"Bapak, harusnya Ibu ada di sini. Semuanya akan baik-baik saja saat Ibu bersama kita. Bapak ... bawa Ibu kembali ke sini ...."
"Nyebut, Yas. Istighfar! Astaghfirullahaladzim ...."
Yasa menenggelamkan tubuhnya dalam pelukan Bapak. Dia tumpahkan seluruh perasaannya dalam dekapan rapuh itu. "Pak, dia putriku. Dia putriku," lirihnya.
Sekali lagi, Yasa tatap mata Bapak. "Tangan mungilnya, wajah cantiknnya, juga harum tubuhnya, mereka semua terus menghantui aku, Pak. Kenapa dia gak bisa pergi dari pandangan aku?"
"Yas, dia milik orang lain."
Yasa menggelengkan kepalanya dengan ribut. "Enggak, Pak. Dia putriku. Aku yang mengandungnya. Aku juga yang melahirkannya. Aku yang terbaring di rumah sakit demi tangisannya. Dia putriku."
Yasa terdiam. Matanya merewang tanpa arah. Dia mengingat kembali setiap detik yang dia habisnya bersama malaikat kecil dalam rahimnya. "Pak ... aku sempat membencinya. Aku sempat membenci putriku sendiri, tapi dia tetap darah dagingku."
Yasa tercekat oleh ucapannya sendiri. Dia terdiam sebentar, sampai akhirnya dia lari ke dalam kamar. Perempuan itu mengambil sebuah tas kecil. Dia kantongi beberapa uang kertas dari dalam lemari. Dia lipat sebuah perjanjian yang sempat dia tulis bersama Gesa. Dia bawa sebuah foto kecil. Foto pernikahannya bersama Gesa. Bahkan, buku pernikahan mereka menjadi benda yang tak luput Yasa bawa.
"Aku mau ke Bandung. Aku akan jemput putriku sekarang juga!"
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
Storie d'amoreKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...