"Terkadang, kita memang tidak ingin mendengar sebuah kebenaran. Karena, bias kebohongan yang kita ciptakan terlalu indah untuk dihancurkan."
_____________________________________GESA mungkin buta akan rasa, tapi dia masih bisa merasakan bagaimana malam ini jauh lebih dingin dari biasanya. Gesa mungkin awam akan cinta, tapi dia bisa mengecap asa di balik wajah indah itu. Dia tatap siluet wajah Yasa dengan hati yang termaram penuh kabut. Setiap garis dari kesantunan itu tidak seindah dari biasanya. Setiap lekuk dari kecantikan itu tidak semegah biasanya.
Perlahan, Gesa mulai mengikis jaraknya dengan Yasa. "Yas," panggilnya.
Hembusan angin malam saat ini, rasanya terlalu menyiksa untuk menjadi teman. Kelamnya langit tanpa bintang di atas sana, rasanya teramat kelabu untuk menjadi kawan. Yasa hanya menjatuhkan pandangannya pada Gesa tanpa memberikan keindahan dari senyumannya sedikit pun. Dengan penuh kehangatan, Gesa sampirkan sebuah jaket tebal di tubuh Yasa. Dia tutupi tubuh indah itu, berharap bisa sedikit menghalangi kejamnya angin malam kala ini.
"Jangan di luar terus, Sayang. Dingin ... nanti masuk angin. Pindah ke dalam, yuk!"
Berpinjak di atas tanah yang sama, berteduh di bawah langit yang sama, dan berteman dengan semilir angin yang sama, Gesa berdiri di samping Yasa. Dia bawa tubuh Yasa dalam rangkulannya. Dia ciumi aroma rambut Yasa, aroma shampo yang begitu menyegarkan bagi Gesa.
"Kenapa ngelamun terus? Ada yang mengganggu pikiran kamu?" tanya Gesa.
Yasa balas rangkulan Gesa. Yasa lingkarkan kedua tangannya di pinggang pria berbadan kokoh itu. Yasa sandarkan segala kegundahan hati itu dalam teguhnya dekapan Gesa. "Ternyata ... orang-orang benar, ya ...," bisiknya.
Gesa tak mengerti. Kebenaran seperti apa yang Yasa takuti. Perempuan itu begitu tenggalam dalam kegundahan hatinya sendiri. Desau napas yang memburu akan kebebasan, terdengar mencekik setiap telinga yang mendengar. Perempuan berbadan dua itu makin dalam melarutkan perasaannya dalam harum tubuh Gesa.
"Aku hanya wanita murahan," ucap Yasa begitu parau.
Gesa menutup matanya sebentar. Ternyata, ini yang menjadikan malam kian dingin. Tenyata, ini pula yang menghilangkan kesantunan dalam indah wajah cantik Yasa. Gesa menghela napasnya begitu dalam. Dia cium pucuk kepala Yasa dengan denyut hati yang mulai lara.
"Yas ... aku 'kan bilang sama kamu, jangan dengerin perkataan orang-orang."
Hawa dingin semakin berani menyerang sepasang tubuh pilu itu. Gesa bisa merasakan debar jantung Yasa terasa hingga ke dadanya. Gesa juga bisa mendengar bagaimana hirup napas perempuan berwajah ayu itu.
Dalam pelukan Gesa, Yasa menggelengkan kepalanya samar. Terdengar bagaimana napas Yasa mulai meluap sesak. "Tapi ... mereka gak salah. Semua yang mereka katakan, benar adanya. Aku nikah sama kamu karena aku butuh uang. Kamu juga menikahi aku, karena kamu ingin seorang bayi. Semua itu benar. Kita gak bisa menyangkal hal itu."
Gesa tangkup wajah Yasa. Dia usap wajah sendu itu dengan jemarinya. Dia kecup sekilas bibir indah Yasa. "Yas ... kita sepakat untuk tidak membahas hal itu lagi. Iya, 'kan ...?" tanyanya.
Untuk kesekian kalinya, Yasa terpikat oleh legamnya manik Gesa. Yasa terjatuh pada harum tubuh Gesa. Dalam kerinduannya pada cinta, Yasa biarkan desah napasnya menyatu dengan milik Gesa. Dia eratkan dekapannya pada Gesa.
Perlahan, sinar rembulan mulai berani memamerkan keindahan cahayanya. Di bawah keelokan sang rembulan, dua jiwa itu menyatu dengan denyut nadi jantung yang saling bersahutan bagaikan kidung merdu cinta yang abadi.
"Aku ragu," bisik Yasa.
"Apa yang buat kamu ragu, Yas?" tanya Gesa.
Yasa benar-benar tak tahu di mana dia berpijak saat ini. Keraguan dalam hatinya seakan tak kunjung usai. Semakin indah cinta dalam hatinya berseri, semakin besar ketakutannya akan kenyataan itu muncul.
"Semuanya. Aku ragu pada semuanya ... perasaan ini, kebahagiaan ini, juga hubungan ini. Aku meragukan semuanya."
Yasa terdiam sejenak. Dia mengingat kembali ucapan Gesa hari itu. "Saat hari itu, kamu dengan lantang mengakui aku sebagai seorang istri di hadapan semua orang. Aku bahagia, sungguh. Tapi ... rasanya, hal itu terlalu indah untuk sebuah transaksi. Hal itu terlalu agung untuk sebuah perjanjian. Semuanya benar-benar membuat aku bingung. Aku bahagia sekaligus kecewa dalam waktu yang sama."
Ucapan Yasa benar-benar mengusik palung hati Gesa. Pria itu terpaku dalam geming. Dia tatap kedua bola mata yang teramat legam milik Yasa. Sampai akhirnya tatapan itu memberanikan Gesa untuk kembali berucap. "Yas, apa perjanjian kita yang membuat kamu ragu. Apa transaksi kita yang membuat kamu bingung? Apa semu hubungan kita yang membuat kamu kecewa?" tanyanya.
Yasa tak menyangkal atau pun menerima ucapan Gesa. Batinnya makin tersiksa saat mendengar pertanyaan demi pertanyaan itu. Yasa malah menundukkan kepalanya dengan sempurna, menghindari tatapan Gesa.
"Yas ... kalau itu keraguan kamu. Kita lupakan perjanjian itu. Kita lupakan semua transaksi itu. Kita buat hubungan baru."
Yasa menggelengkan kepalanya samar. Dia tatap wajah Gesa dengan pupil yang bergetar. "Bahkan, aku gak mengenal perasaanku sendiri ... aku juga merasa asing dengan perasaan kamu. Aku gak tahu, apa aku layak disebut seorang istri atau enggak? Aku juga tak mengerti, bayi ini milik siapa?" tanyanya.
Yasa usap perut besarnya. Dia raih tangan Gesa agar ikut menyentuhnya dengan lembut "Semakin hari, bayi ini terus tumbuh di sini. Semakin hari, aku terus menyayangi bayi ini. Aku suka saat kamu menyentuh perutku. Aku suka saat kamu mengecup perutku." Yasa sengaja menggantungkan ucapannya. Dia kembali meminta agar Gesa menyusuri perutnya.
Keajaiban kecil itu kembali hadir. Bayi dalam perut Yasa terasa bergerak samar. Yasa biarkan Gesa merasakan getaran itu. Yasa izinkan agar Gesa menemui keajaiban di dalamnya.
Sorot mata terkejut dari Gesa hanya Yasa balas dengan senyuman tipis.
"Dia mulai bergerak?" tanya Gesa.
Yasa mengangguk kecil. "Dalam mimpi aku, dia tumbuh dalam pelukan kita berdua. Dia berlari riang, lalu dia memanggilku dengan panggilan Bunda. Dia akan pegang tangan aku dengan jemarinya yang begitu mungil. Dalam mimpi aku, dia juga tertawa, lalu menangis dalam pelukan kita berdua. Hanya kita berdua, aku dan kamu."
Yasa genggam tangan Gesa. "Katakan! Apa mimpi aku bisa menjadi nyata? Apa kita bisa melupakan perjanjian itu? Apa kita bisa abai pada transaksi itu? Apa kita bisa memulai hubungan baru? Katakan, Gesa! Katakan sekarang juga!" teriaknya.
"Yasa ... dengarkan aku—" Ucapan Gesan terpotong karena Yasa meremat tangannya begitu erat.
Lagi dan lagi, perempuan itu menundukkan kepalanya. Yasa biarkan keegoisan itu mengusai hatinya. Yasa biarkan keinginan itu menaklukkan nalurinya. Yasa biarkan bualan kebohongan itu menyamarkan kenyataan yang ada.
Biarlah Yasa menjadi wanita murahan itu. Biarlah Yasa merebut posisi itu. Dia ingin menjadi pemeran utama dalam kisah cinta ini, hanya satu-satunya pemeran utama yang ada untuk Gesa.
Maaf, Elfara ... tapi aku ingin memiliki semuanya. Semuanya tanpa tersisa dan tanpa berbagi dengan siapa pun, batin Yasa bergumam.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
Storie d'amoreKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...