GESA akhirnya bisa bernapas lega saat urusan outlet dan perampokan kala itu menemui jalan keluar. Gesa hanya bantu mengurusi garansi motor karyawannya yang dicuri dan mengeluarkan tabungan pribadinya untuk menggaji karyawan. Meski kerugian yang Gesa alami cukup besar, setidaknya tidak ada korban jiwa.
"Terima kasih," ucap Gesa. Pria itu mangut sopan, melepas para penyidik dan beberapa karyawannya yang keluar dari pekarangan rumah Yasa.
Sudah tiga hari Gesa bermalam di rumah Yasa. Dengan alasan mengurusi permasalah outlet, Gesa sengaja menjadikan rumah Yasa sebagai tempat untuknya bertemu dengan para karyawan outlet-nya. Semoga, hari ini menjadi hari terakhir rumah Yasa didatangi banyak orang. Gesa sungguh tak enak hati pada Yasa, terutama Bapak.
Setelah orang-orang itu pergi meninggalkan rumah Yasa, Gesa mendesau pasai. Seakan ada satu beban di pundaknya yang hilang, pria itu kembali masuk ke dalam rumah.
Gesa menyernak hati, memandang Yasa yang sibuk merapikan ruang tamu. Perempuan itu tengah mengangkat beberapa gelas kotor bekas Gesa dan para tamunya. Suara gelas yang beradu menjadi nyanyian tunggal yang mengalun dalam rungu mereka berdua. Sesekali, Yasa terlihat menyingsingkan lengan cardigan yang terus menganggu gerak tangannya.
"Biarin aja, Yas. Nanti, aku yang rapikan," ucap Gesa.
Yasa hanya menoleh sekilas. Dia tetap mengangkat gelas-gelas itu dan menaruhnya dalam ember kecil.
Gesa tak bisa menutup mata. Makin hari Yasa terlihat makin kurus. Gurat senyumannya menghilang. Pipi berisinya juga sama-samar pergi. Bahkan, bibir semerah cerinya kini terlihat jauh lebih pucat.
Gesa perlahan mendekati Yasa. Dia ikut memindahkan setiap piring dan gelas kotor ke dalam ember. Gesa bersihkan setiap remah-remah makanan dan abu rokok ke dalam tempat sampah.
Dengan kesunyian dari lisan Yasa, Gesa menatap Yasa dari samping. "Terima kasih, Yas."
Lagi-lagi, Yasa hanya menoleh sekilas. Perempuan itu seakan tak mendengar ucapan Gesa. Yasa memilih untuk mengangkat ember dengan kedua tangan kurusnya.
"Biar aku aja." Mala tiba-tiba mengintrupsi. Dia rebut ember yang sudah penuh itu dan membawanya ke dapur.
"Maaf, Yas ... jadi merepotkan begini," ucap Gesa.
Tak ada kesantunan yang Yasa berikan untuk Gesa. Baru saja Yasa akan beranjak, ucapan salam dari luar rumah kembali menahan perempuan berbadan kurus itu untuk berdiri di tempatnya.
"Assalamu'alaikum, Bu Yasa."
Yasa mengkerutkan keningnya. Dia segera melongok ke luar rumah, memeriksa siapa yang bertamu kali ini. Dari suaranya, Yasa yakin tamu kali ini juga tidak sendirin. Terdengar beberapa suara perempuan yang bersua pelan di balik pintu rumah.
"Selamat siang, Bu," sapa Bu Erna.
Ternyata, kali ini rumah Yasa kedatangan guru-guru SMA Husada. Yasa tersenyum kecil. Dia cukup terekejut dengan kedatangan para guru itu. Tak hanya Bu Erna dan Pak Ujang, istri kepala sekolah juga ikut datang.
"Eh, ibu-ibu sama bapak-bapak, silakan masuk." Yasa buka pintu rumahnya lebar-lebar dan mempersilahkan orang-orang itu untuk masuk.
Di ruang tamu, Gesa masih berdiri. Pria itu mangut dan tersenyum tipis. "Silakan duduk, Pak, Bu," ucapnya.
"La, tolong bawa air untuk bapak-ibu guru," ucap Yasa saat melihat Mala berjalan dari arah dapur. "Sekalian sama kue tadi tea."
"Gak usah repot-repot, Bu," ucap Bu Erna.
"Enggak apa, Bu," sahut Yasa.
Di dalam ruang tamu itu, semuanya berbincang ramah. Gesa dan Yasa juga ikut duduk bersama guru-guru itu. Tak jarang, Gesa mendapat godaan dari Pak Ujang dan hanya dibalas senyuman kecil dari Gesa.
"Ya, begitu lah Pak Gesa, Bu Yasa, segalanya itu hanya titipan. Kalian masih sangat muda. Masih panjang perjalanan kalian berdua. Gak perlu terburu-buru. Pasti Allah ganti dengan putra dan putri yang sholeh dan sholehah," ucap Pak Ujang.
Yasa terenyuh perih karena ucapan Pak Ujang. Bukan tanpa alasan guru-guru SMA Husada datang ke rumah Yasa. Mereka semua mendapat kabar kalau Yasa telah melahirkan dengan kondisi bayi yang tidak bisa diselamatkan.
Diam-diam, Yasa peluk hatinya begitu pelik. Yasa marah pada dirinya sendiri. Entah sampai kapan Yasa harus hidup dalam buaian kebohongan seperti ini.
Tak jauh berbeda dengan Yasa, Gesa pun mengepalkan tangannya begitu erat. Dia ingin derana dalam derita, tapi fakta apa yang harus dia lantangkan di depan dunia ini. Fakta kalau putri mereka baik-baik saja atau fakta bahwa pernikahan mereka hanyalah sebuah kebohongan demi sebuah legalitas.
"Pokoknya, kalian berdua jangan patah semangat. Rencana Allah pasti yang terbaik." Bu Erna mengintrupsi pikiran Gesa dan Yasa. Perempuan berjilbab itu menyadari ketertegunan Yasa dan Gesa karena ucapan Pak Ujang.
"Oh iya, ini dari guru-guru. Semoga, Bu Yasa bisa segera pulih dan kembali ngajar." Bu Erna lantas menyodorkan bingkisan buah dan kue yang masih terbungkus begitu rapi dan cantik.
Bu Lina, sang istri Kepala Sekolah juga memberikan bingkisan yang dia bawa. "Bu Yasa, semoga lekas pulih. Tadinya, Bapak juga mau ikut ke sini, tapi ada pertemuan di Dinas Pendidikan," ucapnya.
"Iya, enggak apa. Terima kasih banyak, Bu," sahut Yasa, lalu melirik Bu Erna. "Sampaikan terima kasih saya untuk guru-guru. Jadi merepotkan begini."
"Enggak merepotkan, Bu Yasa. Ya, udah atuh, ya. Kami permisi dulu. Soalnya ada satu tujuan lagi," pamit Pak Ujang.
"Oh iya, kita sekalian ke Pak Nuril juga ya," timpal Bu Erna. "Rumahnya gak jauh dari sini, 'kan?"
"Maaf, Pak Nuril memangnya kenapa?" tanya Yasa ragu.
"Dia ngulem guru-guru untuk botram gitu, makan makan gitu, katanya sekalian salam perpisahan," jawab Bu Erna.
Sejak mengganti nomornya, Yasa memang belum masuk ke dalam grup Whatsapp sekolah lagi. Dia ketinggalan banyak informasi mengenangi sekolah. Jangankan kabar tentang Nuril, bahkan jika bukan karena Mala, Yasa juga tak tahu kalau sekolah kini sedang direnovasi.
"Bu Yasa juga diundang sebetulnya, tapi kalau kondisi Bu Yasa belum pulih, enggak apa-apa, Bu. Pak Nuril pasti memaklumi." Pak Ujang ikut menimpali.
"Sebentar, salam perpisahan? Pak Nuril mau ke mana?" tanya Yasa penasaran.
Di samping Yasa, Gesa menatap Yasa dengan perasaan yang tak karuan. Padahal hal sepele, tapi Nuril selalu bisa membuat hati Gesa bergemuruh cemburu. Namun, pria itu langsung memalingkan wajahnya. Gesa ragu. Bolehkan dia cemburu pada apa yang mungkin takkan menjadi miliknya lagi?
"Pak Nuril dapat beasiswa di luar negeri untuk program pasca sarjananya. Gak disangka, dia bisa lolos seleksi dari ribuan pendaftar. Kalau rezeki, memang gak ada yang pernah tahu, gak disangka-sangka ...."
Yasa terdiam, mendengar penjelasan Pak Ujang. Sungguh, Yasa turut bahagia saat mendengar kabar baik dari Nuril. Andaikan dulu Yasa memaksakan untuk bersama Nuril, mungkin pria itu tetap menjadi pengajar honor di SMA Husada. Andaikan dulu Yasa tidak pergi dari hidup Nuril, mungkin pria itu takkan bisa memandang luas dunia dengan cara yang berbeda.
Meski didewasakan oleh luka, Nuril akhirnya menemukan jalannya sendiri.
Sekarang, Yasa semakin yakin. Yasa juga akan menemukan jalannya sendiri, jalan penuh keindahan dan berlabuh pada kebahagiaan.
Yasa yakin. Entah dengan atau tanpa Gesa sekali pun.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .
![](https://img.wattpad.com/cover/313366127-288-k273298.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomantikKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...