61. Sporadis

17.4K 1.2K 116
                                    

GESA masih tak bisa berpikiran jernih sampai saat ini. Dia tak tahu bagaimana memulai hari yang berbeda. Bahkan, pria itu juga tak tahu apa yang membawanya duduk di dalam mobil dan menyusuri sebuah jalan yang teramat panjang.

Jalanan yang seolah tidak memiliki ujung itu menjadi kronologi penat hari ini. Tak ada sua yang Gesa kecapkan. Tak ada keluhan yang Gesa lantangkan. Bahkan, tak ada cita yang Gesa teriakkan. Gesa hanya ingin perjalanannya kali ini tidak sampai pada tujuannya.

Sudah terhitung persimpangan jalan yang Gesa lalui. Sudah jemu juga Gesa bertemu dengan setiap liku dari perjalanannya. Hanya satu yang Gesa pikirkan, akan berakhir di mana tujuan dari perjalanannya kali ini.

Mungkinkah kebahagiaaan atau benar kenestapaan?
Mungkinkah sebuah kebenaran atau memang kekejian dari dusta?

Pikiran terus berkelana ke sana dan kemari, Gesa hampir lupa kalau dia duduk bersama Elfara. Dengan midi dress berwarna baby blue, Elfara duduk di samping Gesa bagaikan maneken cantik yang tak mampu untuk kerucap. Keduanya hanya membisu, menanti tujuan macam apa yang akan mereka temui.

Percis seperti kemelut pikiran Gesa yang tak acap menemukan jalan keluar, perjalanan mereka kali ini juga seakan tak kunjung menemui akhir. Sudah dari pagi tadi mobil hitam Gesa melintasi bentangan beton bercampur aspal. Kini, matahari sudah melebihi pucuk kepala, tapi entah di mana letak ujung jalan itu.

Gesa menoleh sebentar, memeriksa keadaan Elfara yang sejak tadi bergeming dalam hening. Perempuan itu terus menatap jalanan, menunggu mobil Gesa sampai pada tujuannya.

"El, kita pulang lagi, yuk! Kasihan loh Ayas ditinggal di rumah sama Bibi."

Gesa hanya mendesah pasrah saat Elfara tetap mengatupkan bibir indahnya dengan sempurna. Dia hela napasnya begitu jemu. Dia kembali menatap jalanan dengan kedua tangan yang masih berada pada gagang bundar mobilnya.

Setelah semua kekacauan akibat amarah Elfara, perempuan cantik itu bangun dari tidurnya dan meminta untuk dipertemukan dengan Yasa hari ini juga.

Entah apa tujuan Elfara. Entah apa keinginan Elfara. Jiwanya sudah diselimuti kabut bercampur tekad untuk menemui Yasa di mana pun Yasa berada.

Setahu Gesa, Yasa sudah kembali ke rumahnya. Gesa tak tahu hal itu menjadi kabar baik atau malah kabar buruk.

Hal itu yang menjadi kekalutan Gesa saat ini. Hal itu pula yang membuat Gesa ingin perjalanannya bersama Elfara tidak sampai pada tujuannya. Namun, gulir dari setiap ban mobilnya tetap mengantarkan mereka pada sebuah tujuan.

Jingganya langit sore mulai menyapa, lelahnya raga juga selaras dengan penatnya jiwa, perjalanan panjang itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah besar bercat krem muda, rumah milik Yasa yang sempat Gesa tinggalkan.

Rumah itu terlihat sepi tanpa penghuni. Pintu dan jendelanya tertutup rapat. Bahkan, tak ada bekas jemuran yang Gesa lihat.

"El, kayaknya ... Yasa gak ada di rumah."

Gesa kembali menatap Elfara di sampingnya, tapi perempuan itu memilih untuk keluar dari mobil dan menatap rumah Yasa lebih dekat.

Gesa mengikuti langkah Elfara. Keduanya duduk di depan rumah tanpa getar ataupun gentar.

"Teh, aku ke depan dulu bentar!"

Teriakkan itu yang menyambut kedatangan Gesa dan Elfara. Dari suaranya, Gesa yakin itu Mala. Gadis itu berlari dari dalam rumah dengan celana boxer dan kaos oblong bertuliskan I Love Bandung.

"A G-gesa." Mala gelagapan sambil menatap kembali ke dalam rumah. Gadis itu terkejut saat melihat sosok Gesa dengan perempuan cantik di sampingnya.

Keterkejutan Mala disusul oleh kedatangan sosok Yasa dari dalam rumah. "La, Teteh nitip beli obat buat Bapak-"

Ucapan Yasa terputus begitu saja. Dia membeku di ambang pintu. Tatapannya dengan jelas tertuju pada Gesa dan Elfara di pekarangan rumah. Bibirnya mengatup dengan debar jantung yang seolah meletup.

"Yasa, boleh kami masuk?" tanya Elfara.

Yasa balas tatapan Elfara di sana. Senyuman kecil dari bibir perempuan itu sanggup membuat Yasa merinding ngeri.

Sekarang, di sanalah mereka semua duduk. Ketiganya saling melempar pandangan satu sama lain dalam keheningan di ruang tamu. Yasa terus memainkan jemarinya. Sesekali, dia mencuri pandang pada Gesa dan Elfara yang duduk di depannya.

Sungguh, Yasa tak tahu maksud dari kedatangan dua orang itu. Pikirannya terus menerka asumsi-asumi tak beralasan yang mungkin Gesa atau Elfara bawa.

"Aku mau bicara sama Yasa, berdua."

Elfara sontak memecah keningan di antara mereka. Gesa menoleh. Dia sangsi untuk meninggalkan kedua perempuan itu di sana. Dia sentuh punggung tangan Elfara seolah memberi tahu kalau dia enggan untuk beranjak.

"Hanya berdua!" Elfara kembali berucap. Kali ini dengan nada ucapan yang jauh dari kata ramah.

Gesa lantas menatap Yasa. Perempuan itu sama kokohnya seperti Elfara. Tak ada santun yang terucap untuk Gesa. Pria itu semakin kalut bercampur takut. Dia tengah menunggu ucapan Yasa di sana.

"Bisa anda pergi dulu?" tanya Yasa.

"Baiklah." Gesa beranjak dan meniggalkan kedua istrinya di sana.

Masih di tempat yang sama, Yasa dan Elfara kembali larut dalam kebisuan. Keduanya bingung untuk memulai pembicaraan.

Setelah pengakuan Yasa tentang hubungannya bersama Gesa dan Ayas, hati Yasa terus dilanda kecanggungan. Ada perasaan bersalah dalam lubuk hatinya. Ada rasa iba saat Yasa menatap Elfara.

Mungkinkah ini adalah kekalutan wanita murahan yang ingin merebut hak wanita lain?

"Maaf," ucap Elfara. Dia menatap Yasa begitu lamat.

Lagi dan lagi. Ada rasa bersalah dalam hati Yasa. Apalagi, saat dia menyadari kalau Elfara kembali melukai dirinya sendiri. Banyak sekali plester luka yang menempel di setiap jemari lentiknya.

"Maaf karena aku cacat. Maaf karena kondisiku merebut kesempurnaan yang kamu miliki, Yas."

Elfara membuka tas kecil miliknya. Dia ambil selembar kertas usang dan langsung memberikannya pada Yasa.

"Ini apa?" tanya Yasa. Dia pandangi kertas kusut penuh coretan itu. Di sana, hanya ada gambar penuh coretan asal. Jika diperhatikan, ada beberapa figur yang terggambar dalam kertas itu.

"Sejak kecil, aku gak pernah bisa menggambar dan itu adalah gambar paling bagus yang pernah aku buat. Aku menggambarnya saat di rumah sakit. Dalam gambar itu ada Gesa, aku ... dan anak kami. Gambarnya mungkin gak indah ceperti lukisan atau gambar di rumah ini, tapi aku menggambar sebuah kebahagiaan di sana. Ada cita-cita aku dalam gambar itu."

Elfara mulai menjelaskan setiap perasaan dari gambar yang telah dia buat. Suara terdengar kuat dan lemah secara bersamaan.

"Tapi tadi malam ... di dalam gambar yang sama, aku gambar kamu, Yas. Kamu ada dalam gambar itu. Kamu berdiri di samping Gesa dan menggenggam tangan Ayas. Tapi ... entah kenapa, gambar itu gak bagus lagi. Aku gak bisa melihat kebahagiaan dalam gambar itu. Semuanya jadi buruk dan menyakitkan."

Suara Elfara mulai bergetar. Manik cokeltanya mulai berkaca-kaca. Dia tercekat oleh deru napasnya sendiri.

"Yas ... bisa gak sih, kamu gak perlu masuk dalam gambar itu? Kamu gak perlu berdiri di samping Gesa atau menggenggam tangan Ayas. Kamu bisa, 'kan?"

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang