69. Risiko

23.2K 1.4K 81
                                        

YASA bertanya pada hati pada hatinya sendiri. Apa lagi yang harus Yasa minta pada Tuhan?

Rasanya, kini sudah lebih dari sekedar cukup. Yasa bangun dari tidurnya dan mendapati mimpi indah itu masih dia miliki. Yasa membuka matanya dan rangkaian senyuman itu masih menyambut Yasa setiap hari. Ternyata, tak ada hal lain yang Yasa minta pada Tuhan kali ini. Semuanya telah Yasa miliki.

Kebahagiaan, juga setiap senyuman.

Mungkin benar kata orang, bukan uang yang menjadi tolak ukur kebahagiaan, bukan pula materi yang menjadi alasan dari seberkas senyuman. Namun, kebahagiaan adalah senyuman rasa syukur terhadap apa yang telah diberikan Tuhan.

Meski dengan tertatih pada rapuhnya diri sendiri. Meski dengan berdialog pada hati pilu miliknya sendiri. Nyatanya, rasa syukur itu masih mendera sanubari.

Figur Bapak masih tertawa bersamanya. Mala juga masih semangat untuk mengejar cita-citanya. Dan kini, hadir seorang malaikat kecil yang cantik bagaikan surya-Nya. Semuanya sudah cukup. Yasa tak mau apa pun lagi di dunia ini.

Baik itu air mata ataupun rasa cinta.

Biarlah Yasa menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Biarlah hati Yasa menjadi pulih untuk berbalik. Jika tidak cukup dalam beberapa minggu, Yasa akan menunggu hingga hitungan windu. Sampai akhirnya, Yasa berani untuk kembali menangis karena cinta dan rindu.

Sekarang, Yasa hanya ingin menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Dia ingin memberikan seluruh hati dan kasih sayangnya untuk keluarga juga putri kecilnya.

Tak ada satu hari pun yang Yasa lalui tanpa mengagungkan keindahaan Ayas. Keajaiban demi keajaiban seolah menjadi mantra kebahagian yang selalu Ayas kecapkan. Bayi cantik itu tumbuh dengan indah. Dia sudah bisa menggenggam mainan kecil. Dia juga mulai berceloteh, meski sekedar satu atau dua suku kata yang tidak jelas.

Pagi ini, keajaiban baru kembali muncul. Yasa terkejut saat Ayas mulai memiringkan tubuhnya. Bayi cantiknya tengah berusaha untuk berguling. Badannya yang semakin gempal, begitu menggemaskan saat berusaha untuk tengkurap.

Yasa duduk di tepian ranjang. Dia asyik menyaksikan bagaimana putrinya masih berjuang untuk berguling. Pantat mungil yang membesar karena popok itu terus bergerak menggemaskan. Sesekali, rengekan Ayas terdengar, seolah meminta bantuan untuk menggulingkan tubuhnya.

"Ayo, baby ... dikit lagi. Kamu pasti bisa!"

Dengan suara yang tak kalah menggemaskan, Yasa menyemangati Ayas layaknya seorang suporter di lapangan olahraga. Sampai-sampai, Mamah muda itu mengepalkan kedua tangannya penuh semangat.

"Ayo ... sayang!" serunya begitu antusias.

Rasanya, Yasa ingin segera melihat Ayas tumbuh besar. Yasa sudah tak sabar untuk mendengar keluhan bawel dari putrinya. Yasa tak sabar untuk mengepang surai panjang putrinya. Bahkan, Yasa tak sabar untuk melihat Ayas memakai seragam sekolah untuk pertama kalinya.

Meski kehadiran Ayas sempat menjadi buah bibir di tengah kampung, tapi Yasa tak mau kembali terjerat dalam kebohongan. Mungkin benar, hal yang Yasa dan Gesa lakukan merupakan sebuah kesalahan. Mungkin juga benar, Yasa dan Gesa begitu fakir akan norma. Namun, Ayas bukanlah kesalahan, dia bukanlah sebuah kebohongan.

Ayas adalah bukti dari cinta yang sempat Gesa berikan untuk Yasa.

Tak peduli jika cinta itu takkan hadir kembali, Ayas akan tumbuh di tengah gelimang kasih sayang. Tak Yasa biarkan cela hina orang-orang menyakiti putri cantiknya. Tak Yasa biarkan pandangan keji orang-orang melukai hati nirmala dari malaikat kecilnya.

Sekali lagi, Yasa nikmati pemandangan Ayas yang masih berusaha berguling. Yasa terus membiarkan putrinya berusaha sendirian. Sampai akhirnya, bayi itu menangis. Dia terisak, merasa usaha untuk memutar tubuhnya ternyata gagal.

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang