"Tunjukkan apa yang hatimu rasakan, dia takkan menjadikanmu lemah."
_____________________________________YASA masih terjaga sendirian di ruang tengah. Dia pandangi jam dinding besar di tengah ruangan itu. Kini, hampir tengah malam, sedangkan Gesa tak kunjung pulang.
Yasa buka ponselnya, dia lihat sekali pesan yang dia kirimkan untuk Gesa. Beberapa pesan itu sudah terkirim, tapi belum Gesa baca. Sungguh, Yasa khawatir. Semestinya Gesa memberi kabar jika mau menginap.
"Nginep kali ya? Tapi ... di mana? Masa di rumah sakit?"
Sejak tadi, Yasa hanya bisa bemonolog sendiri tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan Gesa. Akankah pria itu pulang atau tidak?
Lelah menunggu hal yang ambigu, Yasa memilih untuk mengganti siaran televisi di depannya. Tak ada yang ingin Yasa tonton sebetulnya. Yasa hanya ingin mengusir rasa bosan dan menunggu rasa kantuknya kembali hadir. Sayangnya, layar tipis itu hanya menghadirkan kebisingan tanpa mengusir rasa bosan Yasa.
Yasa ubah kembali siaran itu, mencari tontonan yang mungkin memang seru. "Harus sambil ngemil kayaknya," gumamnya.
Yasa berjalan ke arah dapur. Dia ambil sebungkus mie instan. Tanpa mengolahnya terlebih dahulu, dia menjadikan mie mentah itu sebagai cemilan kering sambil menikmati siaran kartun tengah malam. Bunyi mie kering yang Yasa kunyah mulai bersahutan dengan suara televisi di depannya.
Tak berselang lama, ketukan pintu rumah mengalihkan perhatian Yasa. Dia berjalan cepat menuju pintu besar berwarna putih.
"Udah aku bilang kunci dari-" Yasa mengatupkan bibirnya saat bukan figur Gesa yang ada di balik pintu. Ternyata, Mamah dan Ary yang datang larut malam begini.
"B-bu ...," sapa Yasa gelagapan.
"Saya telpon Gesa, gak diangkat," ucap Mamah.
"Apa kabar, Yas?" tanya Ary.
Tanpa menunggu untuk dipersilakan, Mamah melangkah masuk. Perempuan sepuh itu duduk di ruang tengah dan langsung diikuti Ary dari belakang.
Pandangan Mamah mulai menyusuri keadaan rumah putranya itu. Ternyata, televisi masih menyala dengan cemilan tak wajar di atas meja. Mamah meringis, melihat remah-remah mie mentah di atas meja.
"Gesa mana?" tanyanya.
Yasa yang baru kembali dari dapur, tersenyum kecil. Perempuan berambut panjang itu membawa air dan kue kering.
"Saya gak butuh itu. Ini rumah putra saya, saya bukan tamu," ucap Mamah.
Tak ada keramahan yang Yasa dengar dari ucapan Mamah. Yasa malah mematung dengan nampan yang masih dalam genggamannya. Diam-diam, Yasa eratkan genggamnya pada nampan putih itu. Apa perempuan kaya akan selalu seperti ini? Sombong dan terkesan begitu congkak.
"Enggak apa, Yas ... bawa aja, saya haus. Terima kasih," sahut Ary.
"Maaf ...." Yasa simpan dua gelas minuman dan kue kering itu di atas meja. "Pak Gesa belum pulang. Dia nengok Mbak Elfara tadi siang. Mungkin, menginap di sana," tuturnya.
"Mungkin?" tanya Mamah.
"Duduk, Yas!" timpal Ary.
Meski dengan canggung, Yasa duduk di depan Mamah dan Ary. Dia tatap dua orang itu secara bergantian. "Tadi siang, Pak Gesa memang bilang bakal pulang larut," tuturnya.
Mamah menghela napasnya sebentar. "Ya sudahlah. Saya ke sini hanya mengantarkan ini."
Mamah menyodorkan sebuah bingkisan. Entah apa isinya, tapi dalam bungkusnya tertulis dengan jelas Singgih Butik.

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...