GESA tak pernah menyangka dengan syarat yang diberikan oleh Yasa. Permintaan perempuan berlesung pipi itu bukanlah rumah mewah, bukan perhiasan seharga ratusan juta, bukan pula aset perusahan milik Gesa. Ternyata, Yasa hanya meminta untuk dipertemukan dengan istri Gesa.
Sekarang, di sanalah Gesa dan Yasa berdiri, di depan sebuah rumah mewah. Rumah berlantai dua itu berdiri kokoh di tengah kompleks perumahan elit daerah Kota Baru Parahyangan, Kota Bandung. Suasana asri berhiaskan sebuah danau indah, menjadi alasan yang tepat untuk menjadikan daerah itu sebagai tempat hunian bagi orang berada seperti Gesa.
“Silakan masuk!”
Gesa buka pintu rumah dan mempersilakan Yasa untuk mengikutinya. Jujur, pria itu jauh lebih ramah dibanding saat dia berkunjung ke rumah Yasa. Senyuman tipis dari wajahnya sampai-sampai tidak luntur sejak tadi. Namun, berbeda dengan Yasa. Perempuan itu tak henti meremat tangannya sendiri untuk menutupi kegundahan hati. Matanya menatap ke setiap sudut rumah bergaya klasik Eropa itu.
Sebenarnya, Yasa tak begitu peduli dengan benda mewah yang terpajang di sana. Yasa juga tak peduli dengan kerlap-kerlip kemakmuran di sana. Pikiran Yasa malah menerka sosok perempuan seperti apa yang akan dia temui saat ini.
Mungkinkah perempuan glamor berlipstik merah? Ataukah perempuan cantik berwajah angkuh?
Dengan memikirkannya saja membuat Yasa makin gugup. Sudah tak terhitung Yasa menelan ludahnya dengan kasar. Namun, langkah kakinya tetap mengekori langkah Gesa dari belakang. Tanpa Yasa sadari, langkah kaki itu membawa mereka berdua ke dalam sebuah kamar besar bernuansa putih. Di tengah ruangan, ada ranjang besar yang menjadi inti dari kamar itu. Di sudut lain, sebuah piano putih juga tak kalah megah menghiasi kamar itu. Perlahan, Yasa kembali menjatuhkan pandangannya ke sisi lain dari kamar itu. Tiba-tiba, dia tertegun melihat figur kurus di samping jendela. Entah keindahan apa yang tengah perempuan itu tatap, hingga dia tidak menyadari kedatangan Yasa dan Gesa.
“Itu istri saya.”
Gesa mulai memperkenalkan perempuan yang masih setia dengan dunia dan jendelanya. Terlihat dari sorot mata Gesa, dia begitu larut memandangi istrinya dari kejauhan. Entah karena apa, senyuman Gesa perlahan memudar. “Dia suka menatap jendela,” tuturnya pelan.
Yasa makin lekat memandangi perempuan itu. Berbeda dengan Yasa yang memiliki rambut legam nan panjang, rambut perempuan itu jauh lebih pendek bergelombang dan sedikit berwarna cokelat. Kulitnya terlihat begitu putih sampai mendekati pucat. Tubuhnya yang terkesan begitu kurus dibalut sempurna oleh sebuah cardigan besar berwarna putih tulang.
“Dia sakit.” Gesa kembali berucap, tapi dengan nada yang berbeda. Suaranya sedikit bergetar seolah tengah menahan rasa sesak di dadanya.
Yasa refleks menolehkan kepalanya, lantas memeriksa keadaan Gesa saat ini. Sesuai dengan dugaan Yasa, pria itu sedang menahan tangisannya. Matanya terlihat memerah dengan bibir yang mulai bergetar.
“Dan mungkin sangat sulit atau bahkan tak bisa disembuhkan.” Kali ini, ucapan Gesa jauh lebih pelan dan sendu. Yasa sampai tak berani untuk sekedar bertanya. Hatinya ikut berdenyut saat melihat wajah Gesa yang begitu putus asa.
“S—siapa namanya?” tanya Yasa penuh kesangsian.
“Elfara.”
Mendengar namanya disebut, perempuan bernama Elfara itu menolehkan kepalanya. Yasa terkejut melihat banyak sekali kehampaan dari sorot mata Elfara. Banyak sekali kesedihan yang tergambar dari wajah cantik itu. Di sisi lain, Gesa buru-buru tersenyum pada istrinya. Sekuat tenaga dia pamerkan sebuah senyuman untuk menutupi kesedihannya.
“Sayang,” panggil Gesa.
“Kamu udah pulang?” tanya Elfara.
Gesa hanya mengangguk. Pandangannya makin sendu saat menatap figur pilu dari istrinya. “Iya ... aku baru aja sampai,” jawabnya.
Elfara mendekati Gesa. Dengan kedua tangan yang terlilit kain kasa, perempuan cantik itu berlagak seolah tengah menggendong seorang bayi kecil. Tangannya terlihat begitu telaten menimang-nimang sesuatu dalam dekapannya. “Kamu tahu gak? Hari ini, putra kita rewel. Dia gak mau minum ASI. Nangis terus dari tadi,” tuturnya.
Sejauh mata Yasa memandang, tak ada bayi mungil dalam pelukan Elfara. Tak ada tangisan bayi yang Yasa dengar. Yasa tatap kedua orang di depannya dengan keheningan. Sekarang, Yasa mengerti. Yasa paham duka apa yang Gesa tatap sejak tadi.
“Sayang, dia siapa?” tanya Elfara. Perempuan itu baru menyadari keberadaan Yasa yang masih mematung di tempatnya.
Bukannya menjawab, Gesa malah membawa Elfara dalam pelukannya. Gesa kecup kening istrinya dengan sorot mata yang penuh perasaan. Yasa hanya bisa terdiam saat menatap pemandangan itu. Diam-diam, Yasa memalingkan wajahnya. Dia tertunduk dan menatap kedua kakinya sendiri.
“Dia tamu kita. Namanya Yasa,” jawab Gesa.
Elfara tak segan menatap Yasa. Setiap jengkal dari tubuh Yasa tak luput dia perhatikan dengan begitu teliti. "Yasa?" tanyanya dan hanya dibalas anggukkan samar dari Yasa.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Elfara.
Gesa buru-buru meraih kedua bahu istrinya. “Elfara ... aku yang ajak Yasa ke sini. Aku mau ngobrol sama dia sebentar. Boleh, ‘kan?”
Elfara mengangguk samar. Dia berjalan menuju ranjang bersama Gesa yang tak melepaskan rangkulannya. Sekarang, Yasa bisa menerka sedalam apa cinta Gesa untuk istrinya, sepenting apa Gesa untuk istrinya, dan seberat apa transaksi yang akan Gesa lakukan bersama Yasa.
Setelah memastikan Elfara damai dalam lelapnya, Gesa kembali mendekati Yasa. Pria itu melempar senyuman canggung untuk Yasa. “Elfara sangat suka bersandiwara. Saking sukanya, dia bahkan tak bisa membedakan antara hayalan dan kenyataan.”
Yasa hanya bisa terdiam saat mendengar ucapan itu. Dia memilih untuk menatap Elfara dari kejauhan.
“Saya dan Elfara kehilangan buah hati kami. Bahkan, sebelum kami sempat mendengar tangisan mungilnya.” Perlahan, Gesa mulai bercerita. Suaranya kian bergetar kala setiap kata terucap dari bibir tipisnya. “Saat itu ... tepat satu pekan sebelum Elfara melahirkan. Dia hanya ingin berjalan dan menyusuri kompleks rumah. Mungkin, dia ingin bertegur sapa dengan para tetangga. Tapi, dia malah terjatuh. Dia jatuh dengan posisi perut yang lebih dulu menghantam batu jalanan.” Gesa menundukkan kepalanya, dia tak kuasa untuk kembali mengingat hal mengerikan kala itu. Pria itu menghela napasnya sebentar dan ikut menatap Elfara dari kejauhan.
Lagi dan lagi, Yasa hanya bisa terdiam. Dia membayangkan akan semengerikan apa kejadian saat itu.
“Ternyata ... kecelakaan itu tak hanya merenggut malaikat kecil kami, tapi juga merebut cita-cita Elfara. Rahim Elfara harus diangkat. Dia tak bisa menjadi seorang ibu.”
Seakan terkena hunusan pedang, jantung Yasa terasa perih. Yasa bahkan tak sanggup untuk sekedar membayangkannya. Entah sehancur apa hati Elfara kala itu.
“Demi Tuhan ... saya tak peduli jika harus hidup tanpa keturunan. Saya tak peduli jika Elfara tak bisa mengandung lagi. Tapi, Elfara tak mengerti semua itu. Dia kehilangan kemampuannya untuk memandang dunia dengan cara yang benar. Tangisan bayi kami masih Elfara dengar. Bahkan, sosok mungil dari putra kami, masih ada di pelupuk mata Elfara.”
Dengan sedikit keraguan, Gesa meraih tangan Yasa. Dia gengam tangan itu dengan kedua tangannya. “Yasa ... hanya kamu yang bisa mewujudkan cita-cita Elfara. Beri kami seorang putra. Itu saja,” tuturnya pelan.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...