15. Stigma

28.3K 1.7K 55
                                        

YASA malu. Dia masih tak berani menunjukkan wajahnya pada siapa pun. Perempuan itu masih mengurung dirinya sendiri di dalam kamar yang begitu gelap. Tak ada satu cahaya yang menemani Yasa di sana. Bahkan, bayangan sinar mentari sekalipun tak sanggup menembus gelapnya kamar itu.

Yasa marah. Dalam benaknya masih terbayang bagaimana malam itu Gesa mengagahinya tanpa belas kasih. Lolongan demi lolongan dari bibir Yasa seakan menjadi lagu kematian malam itu. Yasa kira, dia takkan memiliki hari esok lagi. Nyatanya, malam kelam itu tetap berganti dengan pagi yang penuh penyesalan.

Yasa kotor. Dia masih mengingat bagaimana dia bertekuk lutut di hadapan Gesa demi sebuah kenikmatan yang fana. Aroma tubuh Gesa seakan masih melekat sempurna dalam diri Yasa. Kalau bisa, Yasa tak ingin menjadi dirinya lagi. Namun, sampai saat ini hanya tubuh pelik itu yang Yasa peluk.

Yasa Benci. Semua hal yang terjadi pada hidup Yasa, rasanya terlalu nista untuk disyukuri. Hanya penolakan yang berujung pada kekalahan. Entah sehina apa pandangan Gesa untuk Yasa. Pria itu pergi begitu saja tanpa mengucapkan satu kata pun yang bisa menyembuhkan luka hati Yasa.

Ingin sekali Yasa bisa mengutaran kejujurannya pada dunia, tapi tak ada yang bisa menggambarkan perasaan Yasa saat ini. Semuanya berpadu di dalam sebuah bejana yang dipenuhi oleh bisa. Setiap tetes dari bejana itu seolah-olah terus meracuni Yasa. Yasa lupa siapa dirinya dan untuk apa dia ada tempat ini dengan posisi menyedihkan seperti ini.

Namun, satu hal yang jelas terasa perih dalam relung Yasa.

Yasa hancur.

Air mata Yasa sudah kering sekarang. Suaranya sudah tak mampu untuk berteriak lagi. Bahkan, Yasa juga tak tahu bagaimana caranya dia bisa berpijak di atas dunia yang begitu kejam ini.

“Ibu ... boleh gak? Bawa aku ke sana. Aku gak mau tempat ini. Aku gak suka rasa sakit ini ... Semuanya baik-baik saja saat Ibu ada di samping aku. Semuanya baik-baik aja saat Ibu ada bersama kita semua,” lirih pedih tangisan Yasa.

Yasa pandangi potret usang sang Ibu. Dia usap wajah Ibu yang tersenyum indah dalam selembar potret itu. “Kenapa ibu harus pergi? Aku gak bisa jaga Mala, aku gak bisa rawat Bapak ... aku juga gak bisa jadi Yasa.” Perempuan itu buru-buru menghapus air matanya. Dia tersenyum dengan hati yang hancur tak tersisa. Samar-samar, Yasa menggelengkan kepalanya. “Aku gak bisa, Bu.”

Kini, matahari sudah tepat berada di atas kepala, tapi Yasa masih enggan untuk beranjak. Sampai-sampai dia tak memiliki keberanian untuk sekedar menyapa diri di balik cermin. Perempuan itu masih terduduk sambil memeluk lututnya sendiri. Hancurnya keadaan di sana seakan menggambarkan keadaan Yasa saat ini. Semuanya berarakan tanpa alasan. Entah pertentangan seperti yang Yasa dan Gesa lalui hingga menghancurkan hampir seluruh kamar bernuasa putih itu.

“Teh ... buka pintunya.”

Dari luar kamar, Mala tak henti membujuk Yasa untuk keluar dari kamar. Gadis itu sejak tadi pagi berdiri di depan pintu kamar, berharap pintu yang terkunci rapat itu bisa terbuka. Namun, pintu kamar Yasa tetap setia dengan kekokohnnya untuk terus mengurung pemiliknya.

“Teh, buka pintunya, ya ... aku janji akan bantu Teteh rawat Bapak ... aku juga janji gak akan meminta-minta lagi ke A Gesa.”

Ucapan Mala sama sekali tak menyembuhkan Yasa. Satu nama yang Mala sebut kembali mengusik hati Yasa. Yasa mengeratkan pelukannya. Dia menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajah beserta tangisannya. Isakan halus dari bibir Yasa bisa Mala dengar. Mala bisa mendengar lirih sakit dari kakaknya itu.

“Teh, buka!” Mala berteriak. Dia ketuk pintu tanpa henti. Dia tarik kenop pintu di depannya, tapi semuanya sangat sia-sia. Sampai akhirnya, tepukan kecil dari Bapak membuat Mala melangkah mundur. Dia jauhi pintu itu dan membiarkan Bapak mengetuk pintu itu. 

“Yas ... ini Bapak.”

Bapak mendekatkan telinganya pada pintu di depannya. Dia ketuk pelan pintu itu sekali lagi. Sekarang, Bapak juga mendengar tangisan putri sulungnya. Semakin Bapak dengar, semakin pilu rasanya tangisan itu.

“Yas, makan dulu, yuk! Mala yang masak loh. Rasanya lumayan asin, tapi enak. Cobain deh.”

Di dalam kamar, Yasa beranjak dari tempat tidurnya. Dia dekati pintu itu. Saat jarak Yasa dan pintu kamarnya sudah tak tersekat jarak lagi, Yasa ragu untuk membukanya. Entah harus di mana Yasa menyembunyikan wajahnya di depan Bapak. Dia malah kembali terduduk, lantas menyandarkan punnggungnya di balik pintu, mendengarkan Bapak yang mulai bercerita.

“Yas ... inget gak, kita pernah jalan-jalan bertiga. Bapak, Ibu, sama kamu. Kemana sih, Bapak lupa namanya ... yang ada bianglala-nya itu loh. Waktu itu, kamu minta naik, tapi Ibu lagi hamil, Ibu lagi ngandung Mala, jadi gak bisa. Kamu inget gak Yas, waktu itu kamu juga marah, pundung kalau kata kamu. Sama, waktu itu kamu juga ngunci pintu seperti ini. Kamu bilang, Bapak sama Ibu gak sayang kamu. Terus, Ibu yang bisa bujuk kamu. Sekarang, Bapak yang ada di sini, Yas. Buka pintunya, ya.”

Diam-diam Yasa terisak. Hatinya, makin saat saat mendengar setiap ucapan Bapak.

“Tahu gak, Yas ... di kecamatan sebelah ada pasar malam. Nanti, kita ke sana, yuk! Ada bianglala-nya juga. Kita pergi bertiga lagi, tapi kali ini sama Mala.” Bagi Bapak, Yasa tetap putri kecilnya. Gadis kecil yang masih merengek juga cengeng.

Dengan tenaga yang sudah hampir habis, Yasa kembali beranjak. Dia kembali berdiri di depan pintu itu. Dia putar kunci pintu yang sejak tadi membelenggunya. Akhirnya, Yasa berani untuk membuka pintunya.

Sekarang, terlihatlah dengan jelas wajah Yasa. Wajah pucat itu begitu berantakan karena tangisannya. Kelopak matanya terlihat begitu kelelahan dan sembab, bibirnya kering dengan hidung yang memerah.

“Pak,” ucap Yasa begitu parau.

Bapak tersenyum. Dia usap kepala putri sulungnya itu dengan penuh kasih sayang. Dia selipkan setiap helaian rambut yang menghalangi wajah cantik dari putrinya itu.

Maaf, batin Bapak bergumam perih. Sebagai seorang Bapak, dia meraga gagal menjaga putrinya. Bapak gagal memberikan kasih sayangnya untuk Yasa. Di saat seperti inilah, Bapak menginginkan kedudukan dan harta. Dia ingin berkuasa atas semua kepedihan yang Yasa lalui, dia ingin membeli segala macam kegagalannya sebagai orang tua.

“Aku mau naik bianglala,” lirih Yasa di sela tangisannya.

Bapak mengangguk. “Iya ... kita pergi sama-sama,” ucapnya. Bapak langsung membawa Yasa dalam pelukannya. Bapak ciumi pucuk kepala putrinya itu.

Tangisan Yasa mulai mereda. Perkataan Bapak memang tak selembut perkataan Ibu. Kasih sayang Bapak memang tak senyata kasih sayang Ibu. Namun, Yasa tak buta akan rasa. Dia masih bisa merasakan kuatnya bahu Bapak untuk menopang segala kekecewaan Yasa, juga kokohnya punggung rapuh Bapak untuk Yasa sandarkan segala kesedihannya.

Di tempatnya, Mala hanya terdiam saat melihat pemandangan itu. Dia ikut terisak di tempatnya. Sampai akhirnya, Bapak juga membawa Mala dalam pelukan hangat mereka bertiga.

“Kalian berdua udah sebesar ini, Bapak udah tua berarti, ya?”

Gurauan itu mampu menciptakan garis senyum dari wajah Yasa. Pelukan mereka perlahan terlepas. Yasa memandangi Bapak dan Mala bergantian. Yasa hampir lupa. Dia masih punya alasan untuk berpijak di dunia. Dia masih punya alasan untuk memamerkan senyumannya. 

“Iya, Bapak udah jadi aki-aki peot!” Mala membalas candaan Bapak.

Baru saja Yasa ingin ikut bergurau, dia malah menutup mulutnya. Tiba-tiba, dia merasa mual. Seluruh isi perutnya serasa diaduk-aduk dan memaksa untuk keluar. Perempuan dengan rambut panjangnya itu segera berlari ke kamar mandi.

Namun, hanya cairan bening yang keluar dari mulut Yasa, karena belum ada setetes air atau sesuap nasi yang masuk ke dalam perut Yasa. Yasa berjongkok di kamar mandi dengan perasaan yang mulai tak nyaman. Pandangannya mulai kabur dan menguning. Pening dan lemas, Yasa rasakan secara bersamaan.

Mala yang ikut berlari, memandang cemas punggung rapuh sang kakak di sana. “Teh,” panggilnya.

Yasa menolehkan kepalanya dengan wajah yang makin pucat pasi. “La ... pusing—”

Hanya itu yang Yasa ucapkan sebelum dia kehilangan kesadarannya dan terkulai lemah di sana.

“Bapak! Teh Yasa pingsan!” teriak Mala.

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang