20. Ambigu

25.4K 1.7K 61
                                    

GESA tak mengerti kenapa hatinya begitu sakit. Dia terluka oleh setiap kata yang keluar dari bibir Yasa. Seakan menjadi belati perak yang menembus jantungnya, perkataan Yasa terasa indah sekaligus menyakiti. Entah karena cinta atau iba, Gesa tak mampu memalingkan pandangannya dari Yasa yang duduk di sana. Debar jantung Gesa tak mampu mengkhianati hal yang sudah tentu. Ada perasaan asing dalam hati Gesa. Ada deru yang berbeda dalam napas Gesa.

Sekali lagi, Gesa izinkan netranya untuk menyusuri setiap inci dari wajah Yasa. Setiap garis yang terukir di sana, memberikan sebuah pukauan yang Gesa inginkan. Bahkan, saking dalamnya Gesa memandang wajah Yasa, membuat dirinya sendiri lupa. Gesa lupa pada aroma obat yang masuk ke indera penciumannya. Gesa lupa pada tangisan pasien yang menusuk telinganya. Gesa juga lupa dengan lalu lalang setiap orang di sekitar mereka berdua. Dia dan Yasa hanya duduk dan menunggu.

Tak ada tegur sapa yang bisa Gesa ucapkan. Tak ada ramah tamah yang bisa Gesa kecapkan. Gesa membisu seribu bahasa, meski tatapannya tetap setia memandang Yasa yang duduk tepat di sampingnya. Yasa terlihat asyik dengan dunianya sendiri. Perempuan itu tengah bersusah payah untuk membuka botol minuman di tangannya. Wajah indah itu bahkan terlihat meringis karena kesulitan.

“Mau saya bantu?” Gesa refleks menawarkan bantuan. Dia mengulurkan tangannya, meminta botol yang masih dalam genggaman Yasa.

Yasa menoleh. Dia melirik tangan yang terulur itu sekilas. Perempuan itu memilih untuk menyimpan botol air dan urung untuk minum. Yasa lebih sudi untuk mati dalam kehausan daripada kembali mengemis bantuan dari Gesa. “Gak perlu,” ketusnya.

Untuk terakhir kalinya, Gesa hanya bisa membuang napasnya dengan kasar. Entah harus dengan cara seperti apa Gesa meluluhkan hati Yasa. Yasa itu seperti mawar berduri yang tak rela untuk dipetik. Jangankan dipetik, bahkan Yasa benci untuk sekedar disentuh keindahannya. Kebencian Yasa pada Gesa begitu tersirat dalam legam sorot matanya. Santunnya bahkan terbungkam untuk Gesa. Tak ada kata indah yang terucap dari bibir Yasa. Tak ada keramahan dalam wajah ayu Yasa.

Sedangkan, Gesa bagaikan budak dalam biduk. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Pria itu memalingkan wajahnya dan memilih untuk memandang pintu yang entah kapan akan terbuka untuk mereka berdua. Sudah sejak tadi Gesa dan Yasa duduk di sana. Gesa tak mengerti apa yang Diaz lakukan di dalam sana. Dokter itu hanya meminta Gesa dan Yasa untuk menunggu sebentar.

Tak berselang lama, pintu berwarna putih itu terbuka. Diaz berdiri di sana sambil memberi isyarat agar Gesa dan Yasa untuk segera masuk. Gesa dan Yasa nyaris beranjak di waktu yang sama. Namun, Gesa lebih dulu melihat Yasa yang terhuyung karena keseimbangan dari tubuhnya. Pria itu segera merangkul bahu Yasa dan menuntunnya dengan hati-hati. Namun, untuk kesekian kalinya, kesantunan Yasa tak dia berikan untuk Gesa. Dia tak segan untuk menepis tangan Gesa dari bahunya.

“Saya masih bisa jalan sendiri.”

Gesa membeku. Dia tatap punggung kecil Yasa yang berjalan lebih dulu di depan sana. Sepertinya, penolakan demi penolakan dari Yasa akan menjadi hal yang harus Gesa nikmati mulai saat ini. Pria itu berjalan cepat untuk menyamakan langkah kakinya dengan langkah kaki Yasa. Langkah kaki Gesa dan Yasa yang tak seirama tetap berakhir di ruangan yang sama, ruangan bernuasa putih yang selalu Diaz gunakan untuk berdiskusi dengan pasiennya.

“Silakan duduk,” ucap Diaz sambil mengarahkan pandangan pada sepasang kursi di depan mejanya.

Gesa dan Yasa mengangguk samar, lantas duduk di tempat itu. Dengan sebuah meja yang menjadi penyekat mereka berdua dengan Diaz, baik Gesa maupun Yasa hanya menunggu Diaz, membiarkan dokter itu memberikan kabar baik ataupun kabar buruk.

“Pendarahan yang Yasa alami, umum terjadi di masa awal kehamilan. Jadi, bukan hal yang perlu dikhawatirkan,” ucap Diaz.

Gesa tak tahu, kabar yang dia dengar adalah kabar baik atau kabar buruk. Hatinya Gesa terasa bimbang. Tak ada kebahagiaan yang Gesa rasakan. Tak ada kebencian yang Gesa rasakan. Padahal, bayi itulah yang Gesa harapkan. Kehamilan itulah yang Gesa inginkan. Harusnya, Gesa bahagia. Harusnya, kabar itu menjadi kabar baik.

“Tapi ....” Diaz sengaja menggantungkan ucapannya. Dokter itu menatap Gesa dan Yasa secara bergantian. “Untuk rasa sakit di perut Yasa, masih perlu pemeriksaan lebih lanjut. Semoga saja bukan hal yang menganggu kesehatan baik si calon bayi maupun sang ibu,” ucapnya.

Diam-diam, Gesa mencuri pandang pada Yasa. Jujur, Gesa tak bisa menebak isi hati Yasa. Perempuan itu hanya terdiam dengan pandangan yang begitu kosong. Tak ada kemarahan dalam sorot mata itu. Tak ada kebencian dalam manik legam itu. Bahkan, tak ada kekecewaann yang Gesa lihat di sana. Entah apa yang Yasa rasakan sekarang. Hanya kekosongan yang Gesa lihat.

“Jadi, selama belum ada kabar pasti ... kalian berdua jangan melakukan hal bodoh lagi. Saya gak akan larang kalau kalian memang ingin berhubungan ... tapi sekali lagi tolong tahan diri kalian untuk saat ini. Terutama Gesa, kelakuan ceroboh kamu mungkin bisa membahayakan ibu dan bayi.” Tiba-tiba, Diaz beranjak dari tempat duduknya. “Sebentar, saya ambil obat untuk Yasa,” ucapnya.

Gesa makin terdiam setelah kepergian Diaz. Gesa malah mengingat sumpah serapah yang dia dapatkan dari Diaz. Dokter sekaligus sahabatnya itu marah dan berteriak saat mengetahui Gesa mengagahi Yasa tanpa belas kasih.

Gua gak tahu otak lo ada di mana, Gesa! Karena kelakuan tolol lu itu, bukan hanya calon bayi lo yang terancam, tapi lo juga menghancurkan Yasa! Lo kerasukan setan! Hah?! Sumpah, gua gak ngerti, Ges! Di mana hati manusia yang lo punya! Lo gak sadar bagaimana kondisi Yasa setelah lo perkosa habis-habisan!

Begitu ucapan Diaz beberapa jam yang lalu. Gesa sadar dia salah. Bukan maksud Gesa untuk menghancurkan Yasa, tapi dia tak sudi jika ada orang lain yang mendahuluinya untuk menyentuh Yasa. Setiap hal yang Yasa miliki ingin Gesa miliki saat itu juga.

Gesa tatap wajah Yasa sekali lagi. Sekarang, Gesa mengerti kekosongan jiwa Yasa. Gesa telah merebut segalanya dari Yasa.

“Maaf, malam itu ... saya lepas kontrol,” ucap Gesa.

Yasa masih enggan untuk mengindahkan ucapan Gesa. Yasa lebih memilih menulikan pendengarannya sendiri. Perempuan itu ragu dengan makna dari kata maaf. Mungkinkah sebuah kata penebusan dosa, ataukah sekedar basa-basi sebelum melakukan kesalahan baru.

Semua orang memang bisa minta maaf, tapi tidak semua orang bisa sembuh.

“Maaf ... saya cemburu, Yas. Saya marah. Saya gak suka saat ada orang lain yang—”

“Cukup!” Yasa memotong ucapan Gesa dengan cepat. Dia menundukkan kepalanya. “Berhenti ... jangan diteruskan,” ucapnya begitu parau.

Gesa hanya terdiam di sana. Dia makin dalam melihat kekosongan jiwa Yasa di sana.

Perlahan-lahan, Yasa menatap mata Gesa dengan pupil yang bergetar. “Jangan membuat transaksi ini menjadi bias. Jangan membuat hubungan ini menjadi ambigu. Kita bukan sepasang suami-istri. Tolong bersikaplah seperti seorang pembeli. Saya gak akan pernah melihat anda sebagai seorang suami.”

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang