GESA tak tahu di mana kedua kakinya berpijak saat ini. Dia bahkan tak sadar masihkah kedua kaki itu berpijak di bawah langit atau tidak. Sekarang Gesa ragu, masihkah dia memiliki langit untuk berteduh atau masihkah dia memiliki dunia untuk dipijaki.
Malam mengerikan itu telah berlalu, tapi kepedihannya masih menjadi tangisan pilu. Rintih sendu itu juga sudah mereda, tapi rasa sakitnya masih ada. Gesa berdiri di depan sebuah ruangan yang terhalang oleh sebuah kaca yang teramat tebal.
Di dalam sana, seorang malaikat kecil tertidur dengan damai. Jemarinya begitu mungil. Kelopak matanya juga masih tertutup sempurna. Sesekali, bayi mungil itu menggeliat, mencari sentuhan kecil.
Gesa menempelkan tangannya pada kaca tebal itu. Jemarinya bergerak seolah tengah menyentuh wajah kecil nan indah itu dari kejauhan.
"Sayang, ini Ayah," lirih pilu seorang Gesa.
Rindu bercampur sendu. Bayi kecil itu yang selalu Gesa rindukan. Bayi kecil itu pula yang selama ini menjadi mimpi indah Gesa.
Gesa ingin bahagia. Gesa ingin memeluk buah hatinya sekarang juga. Dia membayangkan bagaimana malaikat kecilnya tumbuh besar. Dia membayangkan bagaimana malaikat kecilnya merengek dan marah.
Hanya dengan membayangkannya saja, membuat jantung Gesa berdebar tak karuan.
Namun, Gesa tak bisa bahagia. Apa yang harus Gesa ucapkan pada tatap polos itu nantinya. Apa yang harus Gesa tuturkan untuk menjawab pertanyaan naif itu nantinya.
Ayah, siapa bundaku dan di mana dia?
Debar jantung itu perlahan membawa Gesa kembali dalam keterpurukan. Dia menundukkan kepalanya, menahan rasa sesak yang menggerogoti hatinya.
"Dia sangat cantik, percis seperti ibunya," ucap Diaz.
Gesa menolehkan kepala, menatap Diaz yang berdiri di sampingnya. Entah sejaka kapan, Diaz ternyata ikut menatap bayi yang begitu damai itu dari balik kaca.
"Putriku, dia sungguh cantik ... mirip seperti Yasa."
Gesa tak bisa menyangkal. Yasa hampir memberikan seluruh wajahnya pada putri mereka. Bola matanya selegam milik Yasa. Bibir indah Yasa bahkan terlukis sempurna dalam bibir mungil itu. Sampai-sampai, bayi perempuan itu mulai berani memamerkan kedua lesung pipinya, sama seperti Yasa.
Gesa tak bisa memungkri. Semuanya sama dan benar-benar sama seperti Yasa.
"Tapi dia sekuat ayahnya." Diaz lantas menepuk bahu Gesa. Dia pamerkan senyuman kecil pada sahabatnya itu.
"Sekarang, kondisinya sudah jauh lebih stabil. Tangisannya sangat kencang. Dia juga mulai mencari susu. Untuk sekarang, kita beri susu formula. Kalau berat badannya ada peningkatan dan kondisinya makin stabil, dia bisa segera pulang. Kita berdo'a aja, semoga tidak ada hal yang perlu di khawatirkan lagi."
Gesa mengangguk samar. Dia kembali menatap putri kecilnya dari kejauhan. Meski teredam oleh tebalnya pasir kuarsa, Gesa seakan bisa mendengar tangisan mungil dari putrinya. Gesa ingin berlari ke sana saat wajah kecil itu kian memerah karena tangisannya.
"Biarkan dia nangis," ucap Diaz.
Gesa kalang kabut sambil menatap Diaz dan putrinya secara bergantian. "Emang gak masalah, jika dibiarkan nangis kaya gitu?" tanyanya panik.
Diaz hanya tersenyum kecil. Diaz sempat berpikir Gesa akan marah besar saat Yasa melahirkan seorang putri kecil yang cantik. Ternyata, Gesa memberikan seluruh cintanya pada versi kecil dari Yasa.
"Anakku masih nangis, Diaz! Penjaganya ke mana sih?!" Gesa tak lepas menatap putri mungilnya. Pria itu panik setengah mati melihat tangisan kecil buah hatinya.
"Dia baik-baik saja, Gesa."
Sekarang Diaz bisa mengukur rasa sayang Gesa pada putri kecilnya. Hanya dengan tangisan kecil saja, Gesa sudah bertingkah seolah dunia akan berakhir.
"Dia baik-baik saja?" Gesa masih ingin memastikan kondisi putri kecilnya.
Sesuai dengan perkataan Diaz, bayi mungil itu baik-baik saja. Tangisannya perlahan mereda. Dia kembali tidur dengan damai.
"Ges, lo udah ngabarin keluarga Yasa di kampung?" tanya Diaz.
Gesa kehilangan motoriknya dalam seketika. Dia membeku karena pertanyaan Diaz. Sungguh, Gesa bingung. Kabar apa yang harus Gesa sampaikan pada Bapak dan Mala, kabar baik ataukah kabar buruk. Padahal, tadi malam Gesa berjanji akan menjaga Yasa untuk Mala dan Bapak.
Perlahan, Gesa menggelengkan kepalanya. "Belum," tuturnya pelan.
"Mereka berhak tahu, Ges. Mau itu kabar baik ataupun buruk, mereka pasti masih menunggu Yasa pulang. Setidaknya, mereka harus tahu kalau Yasa sudah melahirkan."
Gesa menggenggam tangannya sendiri begitu erat. Tak hanya tenaganya yang hilang, lisannya juga tak mampu untuk berucap kembali.
"Gua bantu, Ges." Ucapan Diaz hanya mampu Gesa balas dengan tatapan kosong. "Gua bantu jelasin semuanya tentang Yasa. Kalau perlu gua yang ngomong, gua siap ngomong langsung ke keluarga Yasa."
Tak ada sedikit pun keraguan yang terdengar dari ucapan Diaz. Dokter muda itu begitu teguh dengan tatapan yang kokoh. Anggukan kecil dari Diaz seolah meminta Gesa untuk bertekad kuat.
Akhirnya, Gesa memberanikan diri untuk merogoh ponselnya. Dia langsung mencari kontak Mala. Sekali lagi, dia tatap kontak itu dengan keheningan. Jantungnya tiba-tiba berdebar. tangannya bergetar hebat. Dalam benaknya, Gesa tengah menyusun setiap kata demi kata yang akan dia sampaikan untuk keluarga Yasa di sana.
Diaz kembali menepuk pundak Gesa. "Kita hanya manusia biasa, Ges. Manusia mungkin bisa berencana, tapi tetap segalanya ada dalam kuasa Tuhan."
Gesa usap wajahnya dengan kasar. Dia menghembuskan napasnya begitu lelah. "Bissmillah," gumamnya pelan.
Darah Gesa seakan berdesir keras saat panggilan itu terhubung. Semakin banyak panggilan itu berdering, semakin gencar jantung Gesa berdegup.
Namun, Gesa tak mengerti, kenapa Mala tak kunjung menerima panggilannya. Hampir lima kali Gesa menghubungi Mala, tapi gadis itu seakan tengah jauh dengan ponselnya.
"Nyambung gak?" tanya Diaz.
"Nyambung, tapi gak diangkat," jawab Gesa.
Dua pria itu melempar pandangan satu sama lain dengan pikiran dan kekhawatiran masing-masing. Sampai akhirnya, langkah seseorang yang berlari dari lorong rumah sakit, mengalihkan dua pria itu.
Ternyata, Bi Narti berlari dengan wajah yang panik. Perempuan paruh baya itu terlihat kehabisan napasnya. Dia terengah-terengah sambil memegangi lututnya yang terasa akan copot karena berlari sekuat tenaga.
"Kenapa, Bi?" tanya Gesa. Dia ikut panik melihat kepanikan Bi Narti.
"Tarik napas dulu, Bi," timpal Diaz.
Bi Narti memegangi dadanya. Dia menatap Gesa dan Diaz. "Tuan Gesa ... Pak Dokter ... Nyonya Yasa ... Nyonya Yasa, Dia udah sadar."
Gesa tak mampu menahan dirinya lagi. Pria itu berlari tanpa memedulikan dunia yang kini tengah dia pijaki. Gesa tak menghiraukan setiap orang yang dia lewati. Gesa bahkan tak mengacuhkan setiap figur yang menghalangi jalannya.
Terima kasih Tuhan, batin Gesa menangis sekaligus berteriak.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...