GESA tak tahu bagaimana caranya mengakhiri. Langkahnya bersama Yasa telah menjadi histori. Namun, Gesa masih enggan untuk memisahkan diri. Dia ingin bersama dan mengukir asa dengan hati yang berdikari.
Padahal, dulu Gesa pernah berjanji pada Elfara. Dia berjanji bahwa dia tidak akan pernah menjatuhkan hatinya pada perempuan lain. Dia juga yang berjanji dengan sepenuh hati bahwa tidak akan ada perempuan lain dalam hatinya. Nyatanya, janji itu hanyalah isapan jempol belaka. Janji itu hanya bualan dusta semata.
Mungkin benar kata orang, pencundang hanya menebar janji dan Gesa adalah pecundang itu.
Gesa mendesau lelah. Dia membantingkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu. Pria itu duduk sambil memijat pelipisnya frustasi.
Alih-alih melepas penat pikirannya sendiri, Gesa merogoh saku celana dan mengambil sebungkus rokok. Dia keluarkan sebatang rokok dan mengapitnya di ujung bibir tipis miliknya. Pria rupawan itu lantas meraba tubuhnya sendiri, mencari pematik api.
Belum sempat ujung lintingan tembakau itu Gesa bakar, Elfara lebih dulu merebutnya. Perempuan cantik itu duduk di samping Gesa dengan Ayas dalam pangkuannya.
"Ayah, gak boleh ngerokok kalau ada Ayas."
Dengan wajah terkejut, Gesa mengerjapkan matanya beberapa kali, hingga akhirnya lengkungan tipis dari bibirnya menyambut senyuman Elfara.
"Sayang, aku gak ngelarang kamu untuk ngerokok, karena gak bakal mempan dari dulu juga. Tapi, kamu jangan lupa. Sekarang, di rumah bukan hanya kita berdua, ada Ayas juga. Perokok pasif itu jauh lebih berbahaya loh. Apalagi, Ayas masih sangat kecil. Kalau kamu mau ngerokok, di luar aja. Pokoknya, jauh-jauh dari Ayas ...."
Gesa makin merekahkan senyumannya saat mendengar omelan Elfara. Bukannya takut, pria itu malah tertawa pelan, mendengarkan Elfara yang sampai sekarang belum selesai menggerutu.
Gesa rindu setiap ucapan Elfara. Gesa rindu setiap keluhan Elfara. Entah kapan terakhir kali Gesa mendengar Elfara berbicara dengan nada menjengkelkan seperti itu. Ternyata, Elfara masih sama. Perempuan itu masih sama menjengkelkannya seperti dulu.
Gesa menopang dagunya, menikmati setiap omelan Elfara masuk ke telinganya. Sekarang, Gesa yakin, istrinya yang cantik itu benar-benar telah kembali. Elfara benar-benar telah pulih.
Gesa tak bisa berbohong kali ini. Semuanya berkat kehadiran malaikat cantik dalam hidup mereka. Ayas benar-benar membawa kebahagiaan di rumah Gesa. Tak luput satu detik pun, senyuman Elfara mengiasi rumah mereka. Tak ayal satu hari pun, canda dan tawa Elfara membesut indah kebersamaan mereka.
Tiba-tiba, Gesa tertegun dalam diam. Hatinya tiba-tiba terusik.
Harusnya, kebahagiaan ini sanggup membuat Gesa cukup dengan segalanya. Harusnya, suka cita ini bisa membuat Gesa tak lagi menginginkan figur lain. Namun, keinginan Gesa untuk memiliki Yasa seakan tak memiliki batas rasa cukup.
"Malah bengong! Kamu dengerin aku gak sih?!" Elfara kembali mengeluh. Dia gemas melihat Gesa yang seakan-akan tidak mendengarkan ucapannya sama sekali. "Ayas, lihat ... Ayah kamu memang begitu kalau dinasehati. Batu! Pura-pura gak denger."
Gesa tetawa kecil. Dia sadar dari lamunan singkatnya. Pria itu ikut menatap Ayas yang ternyata kini tertidur dalam pangkuan Elfara. "Maafin Ayah, Sayang," bisiknya
Gesa ciumi figur mungil dalam pangkuan Elfara. Aroma khas bayi itu seakan menjadi penawar Gesa atas kegelisahan hatinya. "Udah mandi, ya? Wangi."
"Udah dong. Emangnya Ayah yang malas mandi," sahut Elfara dengan nada bicara seperti anak kecil.
"Anak Ayah memang pintar. Sayang, aku bukan malas mandi, cuma menimilisasi penggunaan air." Gesa terus tertawa. Dia usap pipi gembul putrinya yang terasa begitu lembut. Dia cium kembali wajah mungil itu sekilas. "Hari ini, Ayas cukup anteng, gak terlalu rewel maksudnya."
"Iya. Tapi ... Yang, kok aneh ya?" tanya Elfara tiba-tiba. Wajahnya terlihat bingung sekaligus heran. "Tadi, aku coba kasih ASI buat Ayas, tapi tetap gak bisa keluar. Kenapa ya? Apa mungkin kita harus konsultasi ke Diaz? Kasihan Ayas. ASI itu penting 'kan untuk dia?" tanyanya.
Gesa sempat tertegun beberapa saat. Kebohongan apa lagi yang harus Gesa lantangkan untuk Elfara sekarang.
"Kata Diaz, diberi susu formula juga boleh. Apalagi, berat badan Ayas harus tetap naik," kilahnya asal.
"Begitu, ya?"
Gesa mengangguk samar. "El, kamu bahagia sekarang?" tanyanya.
Elfara terdiam sambil menatap wajah Ayas yang begitu damai dalam pangkuannya. Bayi cantik itu benar-benar seperti malaikat kecil. Dengan melihatnya saja sanggup menghadirkan getar kebahagiaan dalam hati Elfara.
"Lebih dari sekedar bahagia." Elfara tatap legamnya kedua mata Gesa. "Aku bersyukur. Apalagi yang kurang dalam hidupku sekarang? Semuanya benar-benar sempurna."
"Kalau suatu saat nanti, kebahagiaan itu hilang, kesempurnaan itu Tuhan ambil kembali, kamu akan tetap akan bersyukur?"
Pertanyaan Gesa malah dibalas kekehan geli dari Elfara. Perempuan cantik itu maeraih tangan Gesa. Dia usap punggung tangan itu dengan jemarinya. Sampai akhirnya, Elfara membiarkan setiap keindahan jemari Gesa terpaut sempurna dengan jemari lentiknya.
Hangat dan nyaman. Genggaman Gesa selalu menjadi kerinduan Elfara.
Dengan bibir merah muda bagaikan kelopak bunga mawar, Elfara berucap, "Ayo kita pikirkan hal-hal menyenangkan aja. Aku gak mau merusak kebahagiaan ini dengan kekhawatiran apa pun. Bagaimana kalau kita mulai dengan mempersiapkan pendidikan Ayas? Atau enggak, konsep ulang tahun dia yang pertama. Atau-atau! Kita pemotretan aja. Kita harus pajang foto Ayas di setiap sudut rumah ...."
Sekarang, Gesa tak bisa membayangkan seberapa besar rasa kecewa Elfara saat dia mengetahui fakta tentang Yasa dan Ayas. Biarlah Elfara bahagia dalam dunia penuh kebohongan yang Gesa ciptakan. Biarlah Elfara memiliki Ayas sebagai putrinya.
"Aku masih kepikiran, deh ... setelah besar nanti, Ayas jangan sekolah di luar negeri macam kamu. Pergaulannya gak terkontrol. Ya, meski tergantung anaknya juga sih, tapi lebih baik kalau Ayas sekolah di dekat sini-sini aja."
Elfara tak henti berceloteh kala pikiran Gesa berkelana jauh di tempat lain.
"Gimana menurut kamu?"
Gesa mengerjap. "Oh, sekolah?" tanyanya gelagapan. Dia usap rambut cokelat Elfara. "Sayang ... sekarang usia Ayas aja baru genap satu bulan, masih jauh soal sekolah."
"Namanya well-prepared."
Di ujung bibir Gesa sudah terangkai sebuah kalimat, tapi belum sempat dia berucap, dering ponselnya lebih dulu mengalihkan perhatiannya.
Gesa cukup terkejut saat mendapat panggilan dari nomor baru. Seingatnya, dia tak pernah memberikan nomornya pada sembarang orang.
"Siapa?" tanya Elfara.
Gesa mengedikkan kedua bahunya tak acuh. "Gak tahu, nomor baru. Biarin ajalah. Kalau penting, pasti nelpon lagi."
Sesuai dengan ucapan Gesa, nomor yang sama menghubunginya kembali.
"Penting berarti," ucap Elfara.
Gesa menghela napasnya. Dia angkat telpon itu. "Halo," ucapnya.
"Penipu!"
Teriakan itu yang menyambut Gesa. Matanya terbelalak karena cacian dari seberang sana. Namun, hal yang lebih mengejutkannya adalah suara yang dia dengar. Gesa kenal suara itu.
"Yasa?" tanyanya.
Gesa sontak berdiri dari duduk. Dia berjalan cepat, meninggalkan Elfara dan Ayas di ruang tamu. Pria itu makin panik saat teriakan Yasa dibarengi suara tangisan.
"Yas, kenapa?"
"Keparat! Kembalikan putriku, brengsek! Aku ingin putriku sekarang juga!"
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .
![](https://img.wattpad.com/cover/313366127-288-k273298.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...