33. Sanksi

24.1K 1.5K 99
                                        

"Kita dibelenggu oleh keindahan ego, sedangkan ego bertugas untuk menghancurkan segala keindahan."
_____________________________________


YASA masih berpikir malam tadi hanyalah sebuah mimpi indah. Kebahagiaan itu rasanya terlalu sempurna untuk jadi nyata. Cinta itu rasanya terlampau indah untuk Yasa miliki. Namun, harum tubuh Gesa masih Yasa rasakan, hangat dekapan Gesa masih Yasa tuai dengan mesra, dan desah napas itu masih mengalun merdu di telinga Yasa.

Nyatanya, semua nyata.
Bukan kepalsuan bunga tidur.
Bukan pula bualan dari indahnya dusta.

Tubuh berbalas tubuh, tak ada sehelai benang pun yang berani menghalangi tubuh indah mereka. Peluh berbalas peluh, tak ada kepayahan sedikit pun dalam keinginan hati mereka. Yasa biarkan perasaan senang itu muncul kembali. Yasa biarkan lekuk elok dari raganya menyatu dengan keindahan diri Gesa.

Yasa mencinta, Gesa juga mencinta. Keduanya teramat enggan jika malam tadi berlalu begitu saja. Dengan jemari yang masih terpaut begitu molek, deru napas mereka saling bersahutan dalam dekapan hangat itu.

"Yas ... kamu udah bangun?" parau Gesa dengan suara yang mendayu merdu. Dia kecup kening Yasa. Dia eratkan pelukan itu dengan cinta yang merasuki jiwa dan raganya.

"Kita harus bangun ... lihat kekacauan yang kamu buat."

Yasa mengisyaratkan agar Gesa menatap sekeliling kamar. Pertempuran nikmat seperti apa yang mereka lalui, hingga segala benda berserakan bukan pada tempatnya. Bahkan, setiap helai dari pakaian mereka pun tercecer di setiap sudut kamar.

"Biarkan kita begini dulu, Yas ... aku ingin seperti ini, rasanya benar-benar menyenangkan. Sungguh ... terima kasih. Aku bahagia."

Semu merah kembali menghiasi wajah Yasa saat bibir mereka berlabuh satu sama lain. Lumatan demi lumatan seakan menyambut pagi mereka yang begitu penuh oleh perasaan. Yasa mengizinkan Gesa untuk menyusuri setiap kenikmatan yang Yasa miliki.

Awalnya, Yasa berpikir bahwa perasaan itu akan hilang saat dia membuka matanya. Yasa kira, cinta itu akan pudar layaknya malam tadi yang teramat panjang.

Ternyata, Yasa masih menginginkan Gesa dalam pelukannya. Yasa biarkan Gesa menenggelamkan cintanya lebih dalam. Setiap sentuhan Gesa seakan membangkitkan sengatan anggun di tubuhnya. Erangan kecil dari bibir Yasa akhirnya menyambut kenikmatan yang Gesa berikan.

"Pelan-pelan ...," paraunya.

Gesa tertawa pelan. Jujur, dia menyukai setiap hal yang Yasa miliki. Bahkan, Gesa menyukai tahi lalat kecil di dada Yasa. Dia pandangi tubuh polos itu dengan hati yang membuncah.

"Yas, kamu tahu gak? Katanya ... tempat tahi lalat kita sekarang adalah tempat belahan jiwa kita sering mencium kita di kehidupan sebelumnya."

Yasa mengerjapkan matanya beberapa kali. "Masa sih?" tanyanya selidik. "Berarti, kamu sering dicium di bawah mata?"

"Mungkin, tapi aku yakin di kehidupan berikutnya kamu akan punya banyak tahi lalat." Gesa terbahak sambil menciumi seluruh wajah Yasa. Gesa bubuhkan seluruh cintanya pada setiap tempat yang dia sukai.

Tiba-tiba, semuanya sunyi. Hanya debar jantung yang samar terungu oleh logika yang seakan dungu. Gesa terdiam dengan tatapan lembut yang dia tujukan untuk Yasa.

"Yas ... aku menginginkannya lagi. Kita lakukan sekali lagi."

Anggukan samar dari Yasa dengan jelas mengabulkan keinginan Gesa yang seakan tak pernah cukup untuk memiliki Yasa. Keduanya hampir tak menghitung berapa kali mereka menyatukan cinta mereka. Hal yang jelas dalam benak mereka hanyalah keinginan dan ego untuk mengenyam rasa satu sama lain.

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang