YASA menjadi nama yang Elfara teriakkan dalam amarahnya. Perempuan cantik itu tak henti mencaci sekaligus memaki nama Yasa dengan derai air mata penuh kecongkakan. Sumpah serapah dan setiap kutukan dari bibir Elfara juga tak luput dia lantangkan untuk Yasa.
Bersama tubuh yang tersapu amarah, Elfara tak lelah berteriak histeris. Buku pernikahan Yasa dan Gesa masih berada dalam genggaman amarahnya. Ingin sekali Elfara merobek habis buku itu. Ingin sekali Elfara membakar hangus buku itu. Bahkan, perempuan berambut cokelat itu sempat berpikir untuk melenyapkan dua nama yang tertulis di dalam sana.
Demi Tuhan, Elfara benci rasa sakit di hatinya. Elfara tak suka rasa cemburu yang kian mendera. Perempuan itu mencengkeram kepalan tangannya sendiri. Sekaranf, dia benar-benar merasa dikhianati. Dia bersimpuh dalam kekejian hati yang ingin melenyapkan segala keindahan.
"Argh! Aku benci Yasa! Aku benci wanita murahan itu!"
Erangan dari bibir Elfara semakin terdengar menyakitkan. Suka cita kebahagiaan di dalam rumah megah itu berubah mencekam kelabu. Teriakan Elfara benar-benar menggema di seisi rumah. Sudah tak terhitung pula setiap benda yang dia lempar hingga hancur tak tersisa.
Semuanya hancur tak tersisa. Sampai-sampai potret penikahannya dan Gesa juga tergeletak di lantai dengan pecahan kaca dari figura yang menghiasi mereka.
Sampai akhirnya, teriakan Elfara berubah menjadi tangis penuh kebencian saat dia melihat sosok Gesa. Dia bangkit dan berlari untuk mendekati Gesa.
Elfara cengkeram baju Gesa hingga kusut berbekas. Dia pukul tubuh Gesa dengan kepalan tangannya sekuat tenaga. Meski dengan jiwa yang hampir kehabisan upaya, Elfara terus menyakiti Gesa. Dia hanya ingin rasa sakit hatinya bisa sampai hingga seluruh hati Gesa. Dia ingin Gesa tahu, betapa hinanya perempuan bernama Yasa itu.
Gesa sendiri tak bisa berbuat apa-apa saat ini. Dia hanya pasrah ketima cacian demi cacian Elfara tertuju tepat di depan wajahnya.
"Siapa Yasa?! Kenapa nama kalian berdua ada dalam buku menjijikan ini?! Hah?! Siapa Yasa, Gesa?! Perempuan murahan itu bilang kalau Ayas miliknya. Ayas putriku! Aku, ibunya Ayas 'kan? Kamu yang bilang kalau Ayas putiku. Iya, 'kan? Kenapa perempuan itu memintanya! Aku benci Yasa! Aku benci kamu, Gesa! Aku benci semuanya!"
Waktu berlalu pelan.
Teriakkan itu yang terus bertabrakan dalam pendengaran Gesa hingga sekarang. Wajah penuh kebencian dari Elfara masih terbayang sampai saat ini. Jika Ary dan tenaga medis rumah sakit tidak datang, entah akan berakhir seperti apa kondisi Elfara saat ini. Suntikan bius yang mengalir di tubuh Elfara akhirnya bisa membuat perempuan itu tenang dalam ketidaksadarannya.
Kini, malam telah tiba dan Elfara masih damai oleh pengaruh obat. Perempuan itu tertidur dengan amarah yang masih terlukis di wajah cantiknya. Diam-diam, Gesa duduk di samping Elfara. Dia pandangi wajah itu dengan perasaan bersalah.
Dengan mata yang tertutup sekali pun, Gesa bisa melihat tatapan benci dari Elfara.
Ternyata, selama ini Gesa salah, Elfara masih tak mampu untuk kembali pulih. Tanyata, sampai saat ini Gesa baru sadar, penawar yang Gesa berikan malah menjadi racun untuk Elfara. Bahkan, putri kecilnya hampir menjadi korban amukan Elfara.
Gesa sungguh keliru akan semuanya. Dia masih terdiam dengan pikiran dan hati yang terus bekecamuk tanpa arah.
"Tuan," panggil Bi Narti. Sepuh berdaster batik itu berdiri di ambang pintu kamar dengan Ayas dalam pangkuannya. Bayi kecil itu terlihat menangis pelan. Isak tangisnya sayup-sayup tersengar oleh Gesa.
"Baby Ayas kebangun lagi," ucap Bi Narti lagi.
Gesa beranjak. Dia mengulurkan tangan, menyambut putri kecilnya. Gesa dekap figur mungil itu. Dia ciumi wajah indahnya. Dia tempelkan hidungnya dengan hidung kecil milik Ayas. Gesa hanya berharap Ayas benar-benar bisa menjadi penawar. Jika tidak untuk Elfara, Gesa yakin Ayas akan menjadi obat untuk kegundahan hatinya.
"Putri Ayah yang cantik ... jangan nangis, Sayang."
Gesa timang putri cantiknya. Dia tepuk pelan tubuh mungil putrinya. Lambat laun, tangisan kecil itu mereda dan digantikan dengan napas damai dalam tidur yang begitu tenang.
"Sayang, kamu juga benci Ayah? Tolong ... Jangan benci Ayah." Gesa berbisik pelan. Dia dekap sekali lagi tubuh kecil itu. Sesekali, dia benarkan posisi selimut yang memberikan kehangatan untuk Ayas.
Bi Narti masih membeku di tempat dia berdiri. Dia hanya hanya bisa menatap figur Gesa bersama bayi itu dalam heningan.
"T--tuan, Ayas mau dipindahkan ke tempat tidurnya lagi?"
Gesa menoleh. Dia berjalan mendekati Bi Narti. Namun, belum sempat kaki jenjang itu sampai pada tujuannya. Gesa lebih dulu menginjak sobekan buku pernikahan yang belum dia buang.
Gesa tak mengerti, dari mana Elfara mendapat buku penikahan itu. Seingat Gesa, dia tidak membawa buku penikahannya ke rumah ini.
Gesa menunduk, meperhatikan potongan kertas di bawah kakinya. "Bi, dari mana Elfara mendapatkan buku pernikahan itu?" tanyanya.
"Saya gak tahu, Tuan." Bi Narti menatap cemas. Tanpa sadar, dia menggulung ujung bajunya dengan gelisah. "Tapi ... tadi siang Nyonya Yasa sempat datang ke sini," tuturnya pelan.
"Yasa?"
Gesa tak mengira Yasa akan bertindak sejauh ini. Pria itu berkelana dalam lamunan sesaat. Haruskah, Gesa menyalahkan Yasa atas segala hal yang terjadi hari ini?
Bi Narti mengangguk samar. "Nyonya Yasa gak lama di sini. Saya hanya ambil minum sebentar, dia udah gak ada."
Gesa masih tertegun di tempatnya.
"Jika gua jadi Yasa, gua juga akan melakukan hal yang sama." Tiba-tiba, Ary ikut menimpali.
Dokter berambut pirang itu berdiri dia ambang pintu. Tanpa meminta izin, Ary ikut masuk ke kamar Elfara. Dia mendekati Gesa tanpa melepas pandangannya pada Yasa kecil dalam pangkuan Gesa.
"Gua yang menceritakan semuanya pada Yasa. Gua yang membongkar semua kebohongan lo di depan Yasa. Gua tahu, mungkin gua melewati batas, tapi gua gak menyesal sama sekali. Lambat laun, Yasa juga akan tahu semuanya dan hal yang terjadi hari ini pasti akan terjadi. Jika bukan hari ini, besok atau lusa."
Gesa benar-benar tak mengerti kepada siapa dia harus marah sekarang. Semua hal ini memang harus Gesa telan bulat-bulat. Mungkin Ary benar. Gesa tak mungkin selamanya menipu. Dia tak mungkin terus berlindung di balik kebohongan.
Sampai akhirnya, Gesa menyadari ponselnya bergetar di dalam saku celana. Sebelum merogoh ponselnya, Gesa memberikan Ayas pada Bi Narti.
"Bi, tolong gendong Ayas sebentar," ucapnya
"Iya, Tuan."
Tenyata, Gesa mendapat pesan dari nomor Yasa yang bahkan belum sempat Gesa simpan. Perempuan itu mengirimkan sebuah pesan singkat. Amarah Gesa langsung tersulut sat membeca pesan dari Yasa. Dia genggam ponsel hitam itu dengan emosi yang seakan meledak.
|+6285311421xxx
Pak Gesa, saya gak main-main. Jika anda gak mau memberikan hak saya, saya sendiri yang akan merebut hak itu. Kembalikan putriku!𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...