GESA berlari dari lantai bawah. Pria itu begitu tergesa saat menaiki tangga. Sampai-sampai, kedua kaki jenjangnya sangat cekatan melewati dua anak tangga sekaligus. Entah apa yang membuat Gesa begitu terburu-buru. Pria berkaos putih itu tidak memperhatikan setiap langkah yang mungkin bisa saja tersandung oleh kakinya sendiri.
Dengan napas yang terengah-engah, Gesa masuk ke sebuah kamar. Dia bersandar di ambang pintu, kemudian membungkuk sambil memegangi kedua lututnya.
Perlahan, Gesa menormalkan deru napasnya yang seakan habis tak tersisa. Dia tatap figur cantik di tepi ranjang, lalu menyodorkan popok bayi dari tangannya.
"Inih ... ah ..." Gesa mendesau lelah. Ingin rasanya Gesa membatingkan tubuhmya ke atas kasur, kemudian terlentang menghadap langit-langit kamar.
"Makanya, jangan kebanyakan ngerokok! Lari segitu aja udah sesak napas," sahut Yasa sambil menerima popok kecil dari Gesa. Dia pakaikan popok itu pada tubuh Ayas dengan hati-hati. "Lihat, Baby! Ayah kamu sampe bengek begitu ... termehek-mehek kaya anak kucing."
"Enak aja, aku gak termehek-mehek, ya! Mana ada kucing ganteng begini!" balas Gesa tak terima.
Yasa terkekeh geli mendengar ucapan Gesa. Dia semakin tak mampu menahan gelak tawanya karena wajah Gesa. Wajah rupawan itu terlihat memerah akibat berlari bagaikan dikejar setan. "Ada. Kucing garong! Hahaha," gelaknya tanpa henti.
"Padahal, kamu loh yang minta aku ambilin popok Ayas secepat kilat." Gesa merengut. Dia ikut duduk di samping Yasa dengan wajah rupawan yang tertekuk sempurna.
"Iya ... terima kasih, Ayah." Yasa sengaja menirukan suara bayi, seolah Ayas yang kini tengah berbicara.
Jantung Gesa sontak berdebar tak karuan karena ucapan Yasa. Alih-alih membuang tatapannya, Gesa memilih untuk menatap wajah putri kecilnya. Bayi cantik itu tertawa saat pakaianya dibuka. Kaki dan tangan mungil itu terus bergerak ke sana memari. Sesekali, suaranya samar terdengar meski hanya suku kata yang tidak jelas.
Gesa membaringkan tubuhnya di samping Ayas. Dia sejajarkan wajahnya dengan wajah Ayas. Dia ciumi wajah itu dari samping. Aroma wangi dan hangat dari bedak bayi dan minyak telon menjadi perpaduan yang sempurna untuk Gesa nikmati.
"Baby, hari ini Ayah jadi budak Bunda. Dari tadi, disuruh ambilin ini ... ambilin itu! Angkat ini, angkat itu. Capek banget ...." Gesa kembali menggerutu. Dia tengah memberikan laporan pada putrinya dengan menirukan ucapan Yasa.
Yasa hanya membalas dengan tawa kecil. Dia memilih untuk kembali melanjutkan sesi berpakaian Ayas. Kini, bayi kecil itu memakai bandana merah muda dengan pita cantik berwarna senada. Cantik dan menggemaskan. Ayas bagaikan malaikat kecil yang bisa Yasa miliki selamanya.
Ini adalah satu hari yang Yasa minta dari Gesa, satu hari menjadi satu keluarga utuh dalam curahan kebahagiaan.
Sejak tadi pagi, tak ada canda tawa yang luput dari Yasa dan Gesa. Tak ada kebahagiaan yang cabar dari hati mereka. Entah panggung sandiwara seperti apa yang mereka pijaki saat ini, tapi tak ada satu rasa pun yang membohongi hati mereka. Debar jantung itu masih sama, percis seperti saat mereka pertama kali jatuh cinta. Tatapan itu juga masih sama, puja dan puji layaknya dua figur yang saling mengasihi.
Seperti ini juga cita-cita Gesa, memiliki keluarga kecil yang sempurna dalam gelimang kasih sayang. Tak ada keegoisan yang mereka miliki. Tak ada ketamakan yang mereka dambakan. Hanya cinta yang bertemu dengan cinta.
Tak Gesa membiarkan satu detik pun berlalu begitu saja. Gesa ciptakan setiap tawa yang mungkin akan dia damba.
Dalam rungu Gesa, suara Yasa terus mengalun merdu. Suara Yasa terdengar lucu sekaligus indah saat memanggil Gesa dengan sebutan Ayah untuk Ayas.

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...