GESA kembali ke rumah sakit, tempat di mana hatinya ingin menjerit. Dengan jiwa yang seakan menderit, Gesa bahkan tak tahu untuk sekedar bangkit. Entah kenapa semuanya kian sulit. Merakit harapan sekali pun membuat semuanya makin berbelit.
Suara langkah kakinya sendiri yang mampu Gesa dengar. Semakin dekat langkah itu dengan tujuannya, semakin deras jantungnya berdebar.
Gesa bukan tak bahagia melihat Elfara yang semakin membaik, tapi dia bingung bagaimana cara menjelaskan tentang Yasa nantinya. Pada awalnya, tak ada niat sedikit pun dalam hati Gesa untuk menduakan Elfara. Apalagi membagi hatinya untuk Yasa. Semuanya bersemi begitu saja.
Sekarang, hal yang ada dalam benak Gesa adalah dia ingin semuanya. Dia ingin Elfara, dia ingin seorang putra, dan dia juga tak mau untuk melepaskan Yasa.
Jika memiliki semuanya adalah keegoisan, biarkan Gesa menjadi manusia paling egois di dunia ini. Jika dengan abai pada tujuan dari langkah kakinya sendiri adalah kemunafikan, Gesa rela mendekap kemunafikan itu sepenuh hati.
Karena sekali lagi, Gesa ingin semuanya.
Menyusuri lorong rumah sakit dengan pikiran yang tak henti berkelana, Gesa hampir saja melewatkam pintu ruangan yang menjadi tujuannya kali ini. Dengan bertumpu pada kedua kakinya sendiri, Gesa berdiri di depan pintu. Terdengar samar-samar suara piano yang mengalun begitu merdu.
Perlahan, Gesa buka kenop pintu di depannya. Saat ruangan itu terbuka lebar, Gesa disugukan pemandangan betapa anggunnya Elfara duduk di depan sebuah piano. Jemari lentiknya dengan gemulai menari di setiap tuts hitam dan putih itu. Sinar mentari sore yang menyelinap masuk ke dalam ruangan seakan menjadi lampu sorot sebuah panggung yang megah.
Dalam kesederhaan panggung di depan sana, kecantikan Elfara masih menjadi hal yang selalu Gesa puja. Rambut cokelatnya yang bergelombang masih menjadi dambaan Gesa. Tanpa sadar, Gesa tersenyum bersamaan dengan lengkungan mata yang membentuk dua busur panah.
Gesa terpanah oleh keindahan demi keindahan Elfara dan nyanyian merdunya. Gesa terhipnotis oleh kecantikan demi kecantikam Elfara dan wajah moleknya. Sampai akhirnya, tepuk tangan dan sorak sorai orang-orang, menyadarkan Gesa akan keterpukauannya.
"Okay! Jadi ... untuk acara lusa, acaranya akan ditutup oleh penampilan piano dari Elfara, selebihnya sama seperti latihan kita tadi. Gladi hari ini kita cukupkan sampai di sini. Semua sudah bekerja keras. Semoga acara kita sukses dan jangan lupa untuk selalu bahagia."
Begitu ucapan Bu Nabil yang sayup-sayup Gesa dengar dari kejauhan. Sebetulnya, Gesa juga yang membawa sang pelatih musik itu ke sini. Gesa pikir, akan lebih baik jika para pasien di sini memiliki banyak kegiatan untuk mengalihkan fokus mereka dari berbagai macam hal kekhawatiran dan kesedihan mereka. Terutama untuk Elfara.
Kecintaan Elfara pada musik memang tak pernah bisa Gesa pungkiri. Bahkan, pandangan pertama Gesa pada Elfara juga bermula saat perempuan cantik itu bermain piano seperti tadi. Semuanya bahkan masih sama seperti seperti dulu. Alunan kidung yang merdu, keelokan wajah yang mempersona, juga debaran jantung yang meluap-luap. Semuanya masih sama.
Di depan sana, senyuman kebahagiaan dari wajah Elfara begitu terpancar saat manik cokelatnya berlabuh pada figur Gesa. Perempuan cantik itu melabaikan tangannya dengan bersemangat.
"Sini!"
Gesa mengangguk samar. Dia melangkah, mendekati Elfara dan Bu Nabil di depan panggung kecil itu. "Selamat sore," sapanya.
"Pak Gesa ...." Bu Nabil cukup terkejut karena kedatangan Gesa. Dia tersenyum canggung sambil menatap Gesa. "Kita baru bertemu lagi. Bagaimana kabar anda?" tanyanya.
"Saya baik." Gesa mengulum senyuman sebentar sambil mellirik Elfara di sampingnya. "Gimana persiapan acara besok lusa?"
"Puji Tuhan, semua pasien dan tenaga medis di sini bisa bekerja sama dengan baik. Hanya saja, ada beberapa acara yang harus dihapuskan karena kondisi pasien yang tidak memungkinkan," jelas Bu Nabil.
"It's okay. Yang paling utama tetap keamanan dan kondisi pasien di sini dulu. Oh iya, ada beberapa relasi saya yang akan memberikan donasi juga. Jadi, mungkin nanti saya mau minta tolong—"
"Sayang." Elfara memotong ucapan Gesa yang belum selesai. Dia meraih tangan Gesa dan memautkan jemari mereka.
Gesa menoleh. Dia usap surai cokelat Elfara sekilas. "Apa, Sayang? Kenapa?" tanyanya.
"Ada sesuatu yang mau aku tunjukkan." Layaknya seorang anak kecil, Elfara menarik-narik lengan Gesa agar mengikutinya.
Bu Nabil yang mengerti, menganggukkan kepalanya samar. "Nanti, kita bisa bicara lagi," ucapnya.
"Kami permisi," pamit Gesa.
Dengan jemari yang masih saling terpaut, keduanya berjalan beriringan menyusuri lorong rumah sakit. Sesekali, Gesa mangut sopan pada perawat yang tak sengaja mereka lewati. Sampai akhirnya, langkah mereka berdua sampai di kamar Elfara.
"Kemarin, aku belajar menggambar. Menurut aku, ini gambar aku paling bagus." Elfara berjalan ke ranjangnya, dia ambil selembar kertas di bawah bantal. Dia tersenyum sekilas sebelum memberikan gambar itu pada Gesa.
"Bagus gak?" tanyanya.
Gesa terdiam. Gambar itu memang tidak sebagus gambar Mala. Bahkan, lebih mirip gambar anak SD. Namun, Gesa bisa menerka siapa yang Elfara gambar dalam kertas yang hampir sobek itu. Dalam gambar itu ada keluarga kecil. Ada sepasang suami-istri yang berdiri di bawah langit jingga bersama putra mereka.
"Itu kita."
Gesa menoleh, menatap tatapan Elfara untuknya. Dia tercekat oleh tuturan indah dari Elfara. Lagi, senyuman cantik itu malah membuat hati Gesa teriris perih.
"Dan putra kecil kita."
Gesa memalingkan wajahnya. Dia memandang sembarang, menghindari tatapan Elfara. Terbersit rasa bersalah dalam sanubarinya. Gesa mungkin Egois. Gesa mungkin munafik. Namun, Gesa tak pernah bisa berdusta pada hatinya sendiri. Gesa tahu dia salah. Gesa sadar kenyataan yang tengah dia pijaki bukan hal yang benar.
Pria itu memilih berjalan ke salah satu sudut kamar. "Gambar ini akan cantik kalau ditempel di sini," ucapnya.
"Aku juga berpikir begitu, tapi aku mau pakai figura," sahut Elfara. Dia tertawa pelan sambil mendekati Gesa di sana.
"Nanti aku bawakan figura yang paling bagus."
Elfara mengangguk pelan. Dia melingkarkan kedua lengan kurusnya di tubuh Gesa. Dia labuhkan seluruh tubuhnya dalam dekapan hangat itu.
Gesa balas dekapan itu tak kalah erat. Dia usap surai cokelat Elfara. Dia ciumi pucuk kepala istrinya itu dengan penuh perasaan.
"Sayang ... aku mau pulang. Aku gak suka di sini."
"Kenapa gak suka? Di sini, ada banyak teman. Kamu juga bisa main piano, menggambar, dan bernyanyi. Kata dokter, kemarin kamu juga bernyanyi."
Elfara melepaskan pelukan mereka. Dia tatap sendu kedua manik legam milik Gesa. "Aku gak suka di sini. Mereka mengikatku di tempat tidur. Mereka juga pegang tanganku kaya gini," adunya sambil meniru para perawat saat mencengkeram kedua lengannya.
"Karena kamu marah-marah." Gesa kembali usap rambut cokelat nan lembut itu.
"Aku gak marah-marah. Aku hanya ingin pulang. Sayang ... bawa aku dari sini. Aku gak sakit. Aku mau bertemu putra kita. Sudah sebesar apa dia sekarang?"
Gesa kembali membawa Elfara dalam dekapannya. Dia eratkan pelukan itu dengan hati yang teramat pilu. "Sebentar lagi ... sebentar lagi kita pulang. Kita jemput putra kita," bisiknya.
Sungguh, Gesa bahkan tak tahu siapa yang akan tersakiti oleh keputusannya. Gesa tak tahu siapa yang akan dia khianati nantinya.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomantizmKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...