"Ada kalanya beberapa hal lebih baik jika mereka tidak ada."
_____________________________________YASA hampir lupa sudah berapa kali malam dan siang silih berganti. Bahkan, Yasa hampir lupa sudah berapa kali hari yang teramat panjang dia lewati. Ternyata, waktu memang selalu pergi tanpa menyadarkan hati. Mereka pergi begitu saja tanpa Yasa mengerti. Mengerti kapan harus berbakti dan kapan harus berhenti.
Sudah hampir enam pekan setelah hari itu. Hari di mana Yasa dan Gesa memutuskan untuk tidak menjadi satu. Biarlah segalanya dijawab oleh waktu, meski baik Yasa maupun Gesa tak hirau pada apa yang akan menjadi penentu. Mungkinkah sebuah jalan yang buntu ataukah sambutan akan restu.
Yasa mungkin mencinta, tapi dia lenggana untuk bersengketa. Banyak sekali kebahagiaan bersama Gesa yang ingin Yasa cipta. Namun, dia enggan untuk berakhir dalam derita. Biarlan semuanya menjadi cerita. Cerita gadis tuna asa yang terus meminta-minta.
Sudah hampir enam pekan pula Gesa menjauh. Pria itu memang tetap acuh. Dia selalu datang dan tetap merengkuh. Beberapa hari yang lalu Gesa datang membawa kabar kalau Elfara mulai sembuh. Yasa bukan tak acuh, dia hanya tak mau jadi musuh. Entah hari ini atau besok, entah cepat atau lambat, entah kukuh atau fana, Elfara pasti sembuh dan hari itu pasti tiba dengan sendirinya.
Hari ini, Yasa libur mengajar. Dia sengaja menghabiskan waktunya di rumah untuk sedikit rehat dari segala hirup pikuk mengajar. Tenyata, Gesa benar. Semakin hari, perut Yasa makin membesar. Untuk berjalan saja, Yasa memerlukan penyangga untuk berpegang. Entah karena bayinya yang makin tumbuh besar, tak jarang Yasa merasa sakit punggung. Terkadang, perutnya juga terasa keram. Belum lagi dengan ASI yang kadang-kadang mengalir deras.
Yasa bersama perut besarnya berjalan ke ruang tengah rumah. Niatnya, mau menonton televisi untuk mengusir rasa bosan. Ternyata, di sana ada Mala yang tengah asyik menggambar bersama televisi yang menyala. Gadis itu terlihat begitu serius menggoreskan setiap garis tipis, membentuk wajah seseorang.
"Ngapain, La?" Yasa lantas duduk di sofa sambil menyandarkan punggungnya di bantalan sofa.
"Lagi iseng aja, Teh. Gabut ih kalau libur sekolah teh," sahut Mala. Dia menoleh sebentar, memeriksa wajah kakaknya yang kini tengah meringis. "Sakit punggung lagi?" tanyanya.
Yasa hanya mengguk samar. Dia membenarkan posisinya untuk mencari kenyamanan.
"Mau aku pijat gak?" tanya Mala.
"Gak usah ... nanti juga ilang sendiri."
Mala kembali berkutat dengan gambarnya. Gadis itu memang hobi menggambar. Sambil membuka tablet gambar pemberian Gesa, Mala menghela napasnya sebentar. "Hamil itu ternyata susah, ya. Aku perhatiin Teteh ... kayaknya capek banget. Mau tidur susah, duduk susah, jalan susah, bahkan makan aja keluar lagi karna muntah."
"Makanya, kamu harus sayang sama Ibu. Walaupun Ibu udah gak ada, kamu jangan putus untuk kirim do'a buat Ibu. Setelah shalat, sebelum tidur, pokoknya setiap saat kamu bisa. Ibu pasti bahagia kalau putri bungsunya jadi anak sholehah," tutur Yasa.
"Selalu, Teh. Tapi ... yang aku sayangkan adalah saat kehidupan kita udah jauh lebih baik seperti ini, kehidupan kita udah enak begini, Ibu udah gak ada. Padahal, dulu Ibu yang selalu bilang kita bakal punya rumah besar, kita bakal punya hidup enak, makan enak, lalu Teteh akan nikah dan punya bayi yang lucu."
Yasa membeku. Setiap kata yang Mala ucapkan seakan menjadi mawar berduri indah yang kini tengah Yasa dekap. Semuanya terbias manis, tapi kenyataan selalu terasa kejam. Akan lebih baik jika Ibu tak pernah tahu kalau Yasa menjual rahimnya. Akan lebih indah jika Ibu pergi tanpa tahu semua kepalsuan ini.
"Teh, A Gesa tuh kerja apa sih?" tanya Mala. Entah kenapa gadis itu tak mau melanjutkan pembicaraan tentang Ibu dan harapannya. "Kok uangnya macam gak habis-habis. Kemarin, A Gesa kirim bangku dan lemari baru ke sekolah, 'kan? Lalu ditambah dengan renovasi perpustakaan. Sekarang, banyak novel dan komik juga di perpus. Tempatnya jadi nyaman, ada wifi tambahan lagi. Kalau teteh ngajar, coba deh masuk ke perpus. Nama gedung perpusnya pake nama Teteh tahu, Perpustakaan Yasa. Ada plakatnya gitu."
Lagi dan lagi Yasa hanya terdiam, mendengarkan bagaimana Mala dengan bangga bercerita.
"A Gesa kerja halal, 'kan?" tanya Mala lagi.
"Dia punya usaha dan beberapa outlet-nya udah tersebar hampir di seluruh pelosok Indonesia. Salah satunya yang ada di Sukabumi Kota, tempat Bapak kerja dulu," jelas Yasa
"Singgih Furniture?" tanya Mala.
Yasa menganggukkan kepalanya. "Iya ... dulu Bapak kerja di bagian gudang. Kamu inget gak, saat tangan Bapak harus diurut karna angkat-angkat perabotan berat?"
"Inget. Bapak lebih milih keseleo dibanding barang-barang itu jatuh."
"Iya ... karna kalau barang-barang itu rusak, Bapak yang harus ganti rugi."
"Harganya mahal, ya?" tanya Mala dengan wajah polos.
"Mahal Mala. Makanya, yang beli perabotan rumah di sana orang kaya doang."
Malah mengangguk-anggukan kepalanya. "Pantesan duit A Gesa gak abis-abis."
Sambil mengusap perutnya yang kini terasa keram lagi, Yasa memandangi tablet gambar yang kini Mala pakai. Seingat Yasa, tablet itu sempat Mala kembalikan dan gadis itu berjanji untuk tidak meminta barang-barang mewah lagi pada Gesa.
"Kok, tablet itu kamu pake lagi. Katanya udah dikembalikan?" tanya Yasa.
Mala kembali menolehkan kepalanya. "Tahu gak teh, A Gesa pernah janji ke aku," ucapnya.
"Janji?" tanya Yasa.
"Udah lama sih ... sebelum Teteh hamil deh kayaknya. Aku aja udah lupa. Saat aku baru tahu kalau A Gesa punya istri di bandung, aku sampai bolos sekolah demi bisa kerja. Demi Allah, aku beneran gak tahu lagi harus ngapain untuk bantuin Teteh lunasin utang-utang itu. Aku ngerasa bener-bener bodoh dan gak berguna. Aku enak-enak dengan barang-barang mewah itu tanpa tahu kebenarannya gimana, maaf ya ... Teh." Mala menatap langit-langit rumah, mengingat kembali obrolannya bersama Gesa waktu itu.
"Tapi, waktu aku balikin semua barang-barang dari A Gesa, A Gesa malah nolak dan dia ngasih sebuah janji. Dia janji gak akan buat Teteh terluka dengan pernikahan kalian. Aku percaya itu. Aku pegang kata-kata A Gesa sampai sekarang. Aku harap, A Gesa bener-bener menepati janjinya ... Teh." Mala menatap wajah kakaknya yang akhir-akhir ini jauh lebih sendu. "Teteh gak terluka, 'kan?" tanyanya.
Suasana rumah seketika berubah hening. Hanya suara televisi dengan volume kecil yang mendominasi pendengaran mereka berdua. Mawar berduri indah itu kembali Yasa dekap. Sekujur tubuhnya seakan kaku tak berdaya. Kalbunya terasa begitu perih.
Yasa kembali mengusap perutnya sambil menghirup udaranya begitu dalam. "La ... kamu sekarang udah kelas 2 loh." Yasa mengalihkan pembicaran. "Kamu harus mulai mikirin mau apa setelah lulus."
"Aku mau kuliah," sahut Mala.
"Belajar yang bener dari sekarang. Jangan gambar mulu. Hobi boleh, tapi kalau sekiranya ada yang jauh lebih penting, kerjakan yang lebih penting. Kamu gambar buat iseng doang 'kan? Mulai buka buku SBMPTN, ujian, TPA."
"Aku suka gambar, Teh. Cita-cita aku, aku mau ambil jurusan DKV di ITB."
"ITB?" tanya Yasa.
Mala menganggukkan kepalanya. "Katanya A Gesa, kalau aku bener-bener mau belajar untuk kuliah di sana, dia bakal biayain."
Yasa menghela napasnya lagi. Lagi dan lagi, Gesa dan Gesa. Entah kapan keluarga Yasa akan berhenti bergantung pada Gesa. Padahal, hitungan mundur dari pelunasan utang itu akan segera berakhir.
Sungguh, Yasa tak tahu. Apa Gesa tetap akan berada di pihak Yasa saat seorang bayi itu Gesa dapatkan dan saat kesembuhan Elfara sudah di depan mata?
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
Storie d'amoreKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...