YASA meringis sakit, merasakan payudaranya yang terasa diperas kuat. Bengkak dan terasa panas. Sedikit bersentuhan dengan jemarinya saja, terasa sakit luar biasa. Padahal, baru beberapa menit yang lalu Yasa mengompresnya dengan air hangat dan mengganti bra dengan ukuran yang lebih nyaman.
Sungguh, sampai sekarang rasa nyeri itu tak kunjung mereda. Entah apa yang harus Yasa lakun sekarang. Dia hanya bisa mengernyih sambil menghisap bibirnya sendiri. Perempuan itu bersandar pada bantalan ranjang dan kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh kaki hingga perutnya.
Yasa melirik jendela di kamarnya yang terbuka. Jingganya langit sore sudah mulai terbentang angkuh. Riuh bocah kecil sepulang pengajian sore juga mulai mengalun merdu.
Perlahan, Yasa menghela napasnya. Padahal, cuaca di luar sangat cocok untuk berjalan-jalan sore atau sedikit bersantai di beranda rumah, tapi tubuh Yasa terasa panas dan kedinginan secara bersamaan. Dia sedikit mengigil dengan keringat tipis di pelipisnya. Dia usap kening dan lehernya. Hawa panas itu benar-benar terasa menyengat saat bersentuhan langsung dengan punggung tangannya sendiri.
Yasa demam.
Lagi dan lagi, dia hanya bisa meringis nyeri. Dia tatap bajunya yang kini sangat basah karena rembesan ASI yang terus mengalir. Mungkin, ini alasan Yasa sakit. Tubuhnya masih menjadi tubuh seorang ibu baru melahirkan. perempuan itu hanya bisa mendesah pasrah. Hari ini, sudah ketiga kalinya Yasa mengganti pakaian. Menggunakan breast pad pun rasanya tidak begitu membantu. Kini, Yasa harus mengganti bajunya lagi.
Meski sambil memeluk tubuhnya sendiri, kedinginan, Yasa beranjak dan berjalan ke depan lemari pakaian. Belum sempat Yasa mengambil setelan baju bersih, dia lebih dulu dikejutkan oleh kedatangan Mala. Gadis yang masih memakai seragam putih abu-abu itu berjalan cepat dengan ponsel di tangannya.
"Teh, A Gesa nelpon terus dari tadi pagi," ucap Mala. Dia sodorkan ponsel ber-case merah muda di tangannya. "A Gesa juga ngirim pesan juga. Katanya, angkat dulu sebentar."
Yasa menatap Mala melalui sudut mata. Dia menghela napasnya dan enggan menerima ponsel Mala. "Gak usah diangkat, Mala."
Dengan satu setel baju bersih, Yasa kembali duduk di tepi ranjang. "Dari kemarin, Teteh udah bilang sama kamu, La ... blokir aja nomornya. Ganti nomor kamu kalau bisa. Jangan berhubungan lagi dengan orang itu," tuturnya.
Jujur, tak ada keramahan ataupun kemarahan dari nada bicara Yasa. Hal itu yang malah membuat Mala takut. "Teh, tapi-"
"Tapi apa, La? Sekarang, dia bukan siapa-siapa lagi. Semuanya udah selesai."
Mala menundukkan kepalanya. Dia memilin ujung baju sergamnya sendiri dengan perasaan gelisah. "Teh," cicitnya pelan.
"Tolong, La. Tolong bantu Teteh. Cukup kita bertiga aja." Yasa menggelengkan kepalanya samar. Dia tatap adiknya dari kejauhan. "Teteh gak mau apa-apa lagi sekarang. Semuanya udah cukup. Cukup Bapak sehat dan kamu bisa sekolah. Itu aja. Kamu bisa bantu Teteh, 'kan, La?" tanyanya.
Dengan pandangan yang masih tertunduk, Mala menggelengkan kepalanya samar. "Teh ... bisa gak sih, kita lihat putri Teteh sekali aja? Dia juga keluarga kita, 'kan?"
"Dia bukan putri Teteh, La! Dia bukan cucu Bapak! Dia juga bukan ponakan kamu! Bayi itu bukan keluarga kita! Kamu ngerti gak sih?!" Yasa berteriak hingga tubuhnya bergetar dengan napas yang terengah-engah. Dadanya kembang kempis seolah tengah memburu udara yang menipis di rongga pernapasannya.
Sambil memijat pelipisnya, Yasa kembali bertutur, "Tolong ngerti, La!"
Keduanya terdiam dalam keheningam. Tak ada hal yang mampu Yasa dan Mala lontarkan satu sama lain.
"Yas, La," panggil Bapak.
Pria sepuh itu sejak tadi berdiri di ambang pintu sambil mendengarkan perselisihan Yasa dan Mala. Mata lelahnya berkaca-kaca, menatap dua putrinya. Namun, air mukanya seketika berubah saat mendapat tatapan dari kedua putrinya itu. Bapak sembunyikan kesedihannya. Linangan air matanya sengaja Bapak tepis jauh-jauh.
"Makanannya keburu dingin. Bapak udah lapar."
Tawa kecil dari Bapak hanya mampu Yasa balas dengan senyuman tipis di wajahnya. Perempuan cantik itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Pak. Aku ganti baju dulu sebentar. Bapak sama Mala boleh duluan ke bawah aja. Nanti, aku nyusul," ucapnya.
"Yuk, La." Bapak mengangguk pada Mala seolah meminta putri bungsunya itu untuk ikut keluar dari kamar Yasa.
Maaf, Teh. Mala melirik Yasa sekilas sebelum akhirnya menuntun Bapak untuk turun ke lantai bawah.
Diam-diam, Yasa meremat baju di pangkuannya. Dia menunduk, melepas kepergian dua orang itu. Luka yang dengan susah payah Yasa kubur dalam-dalam, kini terasa terusik kembali. Kepediahan yang sejak tadi Yasa sembunyikan, kini terasa menemukan tempat untuk dia pamerkan lagi.
Namun, enggan bagi Yasa untuk menangisi hidupnya lagi. Tak sudi bagi Yasa untuk meratapi nasibnya lagi. Yasa ingin menjadi kuat, dia ingin menjadi kokoh, dan tidak lemah karena luka yang sama.
Yasa usap wajahnya. Dia kembali mencari penawar atas semua rasa sakitnya. Entah dengan berdamai dengan dirinya sendiri atau mungkin dengan menikmati segala luka yang dia miliki.
Setelah mengganti pakaiannya, Yasa turun ke lantai bawah, menyusul Bapak dan Mala di sana. Yasa pijaki satu demi satu anak tangga, meski dengan sedikit terhuyung.
Yasa eratkan jaket tebal yang memblalut tubuh kurusnya.Belum sempat sepasang kaki jenjang itu sampai si lantai bawah, Mala kembali berlari. Gadis itu kembali kembali berjalan cepat untuk mendekati Yasa.
Tepat di bawah tangga, Mala berdiri dengan tatapan yang tak Yasa mengerti.
"Teh, ada A Gesa."
Yasa terhuyung. Hanya dengan satu kalimat itu mampu membuat Yasa terdiam. Hanya dengan satu nama itu sanggup memaksa Yasa kehilangan keberaniannya. Yasa lemah. Jantungnya kembali berdebar perih.
Sekarang, di sanalah Yasa dan Gesa berada. Dua orang itu duduk berhadapan di ruang tamu. Tak ada kata yang mereka katakan. Tak ada sapaan yang mereka kecapkan. Hanya netra yang berlabuh pada netra.
Di tempatnya, Gesa pandangi wajah Yasa. Meski masih Gesa puja, wajah ayu itu sungguh berbeda. Tak ada rambut panjang yang Gesa rindukan. Tak ada senyuman manis yang Gesa damba. Bahkan, tak ada tatap indah yang Gesa agungkan.
"Kamu potong rambut?" tanya Gesa.
Yasa menghela napasnya dengan culas. Gesa datang hanya untuk menanyakan rambut? Yasa memalingkan wajahnya geram. "Pak Gesa, bukankah anda sangat gak suka basa-basi? Katakan apa yang ingin anda katakan."
Baru saja Gesa akan membuka suaranya, dia mengatupkan bibirnya saat Yasa kembali menimpali ucapannya sendiri dengan cepat. Perempuan itu beranjak dari duduknya.
"Oh, iya. Setelah masa nifas saya selesai. Kita selesaikan semuanya dengan benar. Kita selesaikan transaksi ini dengan perceraian yang sah di hadapan hukum dan agama."
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...