41. Koheren

18.2K 1.3K 81
                                        

"Kita tak pernah tahu batasan cukup dari seseorang."
_____________________________________


GESA tak menyangka perjalanan panjangnya bersama Yasa akan disambut oleh puan-puan yang duduk di teras rumah. Entah apa yang mereka lakukan di rumah Yasa. Gesa hanya bisa melihat bagaimana para perempuan paruh baya itu bercengkerama dan sesekali terkekeh saling bersahutan.

Gesa menolehkan kepalanya, menatap Yasa yang masih duduk di kursi penumpang. Perempuan berwajah ayu itu sama bingungnya. Terlihat dari bagaimana kedua alisnya yang terpaut dengan sempurna.

"Di rumah ada acara apa, Yas?" tanya Gesa.

Untuk kesekian kalinya, tak ada jawaban dari Yasa. Sejak tadi, bahkan sejak mereka berangkat dari Bandung, tak ada satu kata pun yang terucap dari bibir semerah ceri itu. Yasa hanya duduk, menunggu mobil Gesa membawanya pulang ke rumah.

Gesa tak tahu harus dengan cara apa membuat Yasa mengerti. Gesa bukan tak cinta. Gesa bukan tak mau memperjuangkan Yasa. Gesa juga bukan enggan untuk berlaku adil. Namun untuk sekarang, Gesa hanya ingin Elfara sembuh dulu dan semua kembali normal. Hingga akhirnya mereka semua siap dengan segalanya.

Entah badai apa yang Gesa lalui bersama Yasa nantinya, untuk saat ini biarlah hubungan mereka seperti ini dulu. Cukup dengan Yasa tahu kalau Gesa juga punya rasa. Cukup dengan Yasa tahu kalau Gesa juga punya cinta.

Lain hati, lain pula angannya.

Yasa tidak menginginkan sekedar cukup. Dia ingin pengakuan. Dia ingin dunia tahu, kalau dia memiliki hati Gesa. Dia ingin dunia tahu, kalau dia sama berharganya dengan Elfara.

"Yas ... kita turun, ya."

Gesa keluar dari mobil, dia berjalan memutar demi membukakan pintu untuk Yasa. Gesa bantu istrinya yang tengah hamil itu untuk turun dari mobil. Gesa begitu telaten memperhatikan setiap langkah yang Yasa ambil.

"Hati-hati," seru Gesa pelan.

Keduanya jalan beriringan, menghapus jarak mereka dengan rumah. Sekarang, Gesa bisa melihat dengan jelas ibu-ibu itu tengah memotong bawang. Ada juga yang sibuk memarut kelapa. Di sisi lain, ada beberapa ibu yang tengah mengupas kentang.

"Eh, Ibu sama Bapak hajatnya baru datang," celetuk salah satu dari mereka.

"Assalmu'alaikum, Ibu-ibu ...," ucap Yasa. Dia mengulurkan tangannya.

"Wa'alikumsalam. Gak perlu salaman Bu Guru Yasa. Pada bau ini tangannya."

Baik Gesa maupun Yasa makin tak mengerti dengan apa yang terjadi di rumah mereka. Kedua tersenyum canggung sampai akhirnya Mala berlari dari dalam rumah.

"Kalian udah datang?" tanya Mala dengan wajah yang berseri-seri.

Yasa tatap adiknya itu dengan selidik. "Ini ada apa, La?" tanyanya.

"Nanti aku ceritain," sahut Mala. Dia lantas menatap Gesa. "Ada yang harus aku bawa gak, A?" tanyanya.

"Koper Kakak kamu masih di dalam mobil, tapi berat banget. Nanti, Aa aja yang bawa," sahut Gesa.

"Oke deh!" Mala kembali mendekati kakaknya. Dia berjingkrak sambil menyentuh pelan perut Yasa. "Ih, udah gede. Hampir dua bulan loh Teteh di Bandung. Kangen. Gak ada yang ngomel-ngomel di rumah."

"Kangen! Kangen! Salim dulu kalau ketemu orang itu!" sungut Yasa.

Mala cekikikan. Dia bergantian mencium tangan Yasa dan Gesa. "Kalian berdua sehat-sehat, 'kan? Aku kira, kalian gak bakal pulang ke sini lagi."

"Pasti pulang atuh, La. Kamu sama Bapak 'kan di sini," sahut Yasa.

"Iya sih ...." Sambil menggandeng Yasa, Mala membawa Yasa dan Gesa untuk masuk ke rumah.

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang