24. Kecurangan

20.2K 1.5K 74
                                    

"Aku tidak takut untuk mencinta, tapi aku takut melakukan hal yang sia-sia."
_____________________________________


YASA hanya berharap dia tidak bangun dari mimpi indahnya. Semua hal yang Gesa berikan seakan menjadi mimpi indah dalam belenggu peliknya kenyataan. Kasih sayang yang Gesa berikan bagaikan penawar di tengah luka akan rasa.

"Yas ... mau nambah lagi gak?" tanya Gesa.

Angin sore perlahan berhembus, kesejukan hati mulai terasa memeluk, Yasa terpikat oleh hangatnya tatapan Gesa. Legamnya manik itu bagaikan telaga indah penuh kedamaian. Ingin sekali Yasa mengungkan perasaannya, tapi hangat napas dan harum tubuh Gesa membuat Yasa terjatuh begitu dalam.

"Malah bengong. Mau lagi gak? Mumpung si Abang penjualnya masih di sana."

Lengkungan senyuman mulai terukir samar dari wajah Yasa. Dia menggelengkan kepalanya. "Cukup, udah full tank." Yasa bergurau sambil menepuk pelan perutnya sendiri.

Gesa tertawa pelan. Dia menatap mangkuk kosong di depan Yasa. Tadinya, mangkuk itu dipenuhi oleh sup buah lengkap dengan kuah es yang hampir tumpah. "Sekarang, kacang polongnya udah kenyang, ya?" tanyanya.

"Bukan kacang polong!"

"Loh, kamu sendiri yang bilang bayinya baru segede kacang polong."

Wajah Yasa bersemu merah muda, menyambut indahnya dunia yang membawa kedamaian. Kecantikan itu tak mampu Gesa lewatkan. Bagaikan sang dewi dalam sanubarinya, indah wajah Yasa terukir sempurna di dalam sana.

Tanpa Yasa dan Gesa sadari, lekuk indah senyuman dari keduanya hadirkan mandala dari sengat dinginnya sore hari. Gurauan sederhana dari bibir mereka seolah-olah mampu terdengar hingga ke langit jingga di atas sana.

Asmara perlahan berdikari. Duduk berdua, menatap lukisan Tuhan di pelupuk mata, Yasa dan Gesa tergelam pada keindahan masing-masing. Mungkinkah, sebuah kisah yang mereka sebut dengan cinta akan mulai berlayar dalam indahnya kebersamaan.

Ketidakpastian akan hal yang terlarang. Mata bertemu mata, menyiksa batin yang mencinta. Desah itu tak mampu berdusta. Keduanya makin tersesat.

Yasa terbawa akan suasana. Dia biarkan hangatnya bibir Gesa menyentuh miliknya. Deru indah napas Gesa perlahan menerpa wajah Yasa. Ranum bertemu ranum. Yasa terpejam, merasakan kelembutan ciuman itu.

Yasa terlena akan keinginan. Dia biarkan lembutnya tangan Gesa menjamah lekuk tubuhnya. Getar dawai sentuhan Gesa perlahan menghipnotis Yasa. Rasa bertemu rasa. Yasa tenggelam, merasakan indahnya kenikmatan itu.

Demi Tuhan, Yasa rela mencurangi bualan takdir demi kebohongan cinta yang tulus ini. Yasa ingin tipuan hubungan yang sempurna seperti ini. Yasa juga mendambakan kemunafikan dari perasaan bahagia ini.

Perlahan, Yasa bertanya pada cinta, di mana Yasa saat ini. Duduk bercumbu bersama milik orang lain.

Yasa sadar tak mungkin terus memeluk Gesa, tak mungkin terus bersenandung bersama Gesa. Perlahan, Yasa menjauhi Gesa. Yasa campakkan segala keindahan itu. Yasa tinggalkan segala kenikmatan itu. Yasa lepaskan pelukan Gesa dari tubuhnnya.

"Kenapa?" tanya Gesa.

Kini, semilir angin sore terasa jauh lebih dingin. Kini, pekatnya sorot indah manik Gesa mampu membutakan mata hati Yasa. Keindahan Gesa benar-benar membuat Yasa ingin hidup selamanya. Dia menundukkan kepalanya tanpa memberikan sebuah jawaban. Diam-diam, ratapan asa hanya mampu Yasa teriakkan dalam relung hatinya sendiri.

"Kamu gak suka?" Gesa kembali bertanya.

Yasa bukan tak suka, tapi dia takut akan sebuah akhir.

"Maaf, kalau kita melewati batas," ucap Gesa.

Yasa hanya mampu bergeming dalam kesunyian. Batas apa yang Gesa maksud. Segalanya telah Gesa renggut. Gesa ambil hati Yasa. Gesa rebut impian Yasa. Bahkan, sekarang Gesa racuni kebencian Yasa. Yasa tak tahu, haruskan Yasa membenci atau haruskah Yasa mencinta.

Dengan begitu lembut, Gesa raih tangan Yasa. Dia pautkan setiap jemari lentik itu dengan jemarinya. Seakan memang tercipta untuk Gesa, tangan Yasa begitu indah dalam genggamannya. Gesa labuhkan ciumannya pada indahnya tangan itu. "Setelah ini, kita mau ke mana lagi?" tanyanya.

Entah apa keinginan Yasa sekarang. Hal yang pasti adalah Yasa sudah terlalu buta untuk bangun dari mimpinya. Banyak sekali kata cinta yang Yasa dengar dari Gesa. Banyak sekali kalimat memuja yang Yasa terima dari Gesa. Namun, Yasa tak tahu setulus apa kata cinta itu dan senyata apa kalimat puja itu.

"Di sini dulu sebentar lagi, boleh gak?" tanya Yasa.

Sebuah jawaban sudah ada di ujung lidah Gesa, tapi pria itu lebih dulu dihentikan oleh dering ponselnya sendiri. Dia lepaskan genggaman tangannya dengan Yasa. Dia merogoh ponsel dalam saku celananya. Pria itu sempat tertegun beberapa saat ketika membaca kontak yang kini menghubunginya.

Ingin rasanya Yasa bertanya, Siapa?
Namun, untuk apa?

"Sebentar, ya," pamit Gesa. Dia berjalan beberapa langkah untuk menjauhi Yasa.

Yasa pandangi punggung lebar yang mulai menjauh itu. Yasa puja figur indah itu dari kejauhan. Siluet indah dari tubuh Gesa dan keindahan horizon yang dunia pamerkan seakan menjadi definisi utuh dari sebuah kesempurnaan.

"Halo ... sayang ... kenapa nelpon?"

Samar-samar, Yasa bisa mendengar apa yang Gesa ucapkan bersama ponselnya.

Sekarang, Yasa kembali ditertawakan oleh kenyataan. Yasa tak bisa tertidur untuk selamanya. Dia harus terbangun dalam mimpi indahnya dan kini hanya tanya yang kembali Yasa dapatkan. Sampai kapan nikmatnya kecurangan ini akan bertahan?

Yasa memalingkan wajahnya. Dia memilih untuk menatap keindahan lain dari ciptaan Tuhan. Yasa tatap sebuah lukisan indah dari bentangan perbukitan kecil di kaki gunung.

Tak ada kehangatan sekarang. Tak ada hasrat saat ini. Hanya Yasa dan segala hal yang telah Gesa rebut.

Awalnya, Yasa hanya ingin menghilangkan dahaga dengan semangkuk sup buah, tapi dia malah berakhir dengan terpenjara dalam keinginannya sendiri. Keinginan akan kisah cinta yang abadi, keinginan akan hubungan yang indah, dan keinginan akan memiliki semuanya sendiri tanpa harus berbagi.

Tak lama, langkah kaki kembali terdengar di pendengaran Yasa. Semakin dekat langkah kaki itu, semakin cepat jantung Yasa berdegup.

"Maaf ... lama, ya," ucap Gesa.

Yasa hanya menoleh. Dia pandangi wajah Gesa yang masih sama indahnya.

"Kita pulang sekarang, yuk! Udaranya makin dingin, langitnya juga mulai gelap," ajak Gesa. Pria itu mulai mengemas setiap hal bekas kebersamaan mereka.

"Telpon dari siapa?" tanya Yasa.

Bukan gelapnya langit yang menjadi alasan Gesa. Bukan pula dinginnya udara yang menjadi sebab Gesa meminta Yasa untuk pulang.

"Elfara ... dia minta aku pulang."

Yasa hanya mampu tersenyum kecil. Sekarang, Yasa benar-benar harus bangun dari mimpi indahnya.

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang