YASA adalah sosok yang pertama kali Diaz ingat saat dirinya terbangun dari tidur. Pria berambut cokelat itu terbelalak hingga mata sipitnya membola. Namun, detik kemudian, dia celingak-celinguk mengabsen setiap hal yang menyambut pagi harinya saat ini. Semuanya terasa asing, mulai dari cat dinding kamar, pajangan, jendela, hingga selimut yang Diaz pakai. Diaz yakin, semua benda-benda di sana bukan miliknya. Pria itu lupa kalau dirinya bermalam di rumah Yasa.
Diaz memijat pelipisnya sebentar, mengingat kembali kejadian mengerikan kemarin sore. Seingat Diaz, Yasa mengalami nyeri luar biasa di bagian perut bawahnya. Rasa sakit di perutnya bahkan merenggut kesadaran perempuan berwajah ayu itu. Diaz kelimpungan sekaligus takut kala itu. Wajah pucat Yasa masih Diaz ingat, rintih sakit Yasa masih terbayang dalam penglihatan Diaz.
Jika Diaz tak membawa peralatan medis dalam mobilnya, entah akan seperti apa keadaan Yasa saat itu. Rumah Yasa sangat jauh dari tempat kesehatan. Jika ada sekalipun, entah akan memakan perjalanan berapa jam untuk sampai. Meski dengan perlatan seadanya, Diaz tak menyerah untuk membantu mengembalikan kesadaran Yasa. Sampai-sampai, Diaz lupa jam berapa dia keluar dari kamar Yasa. Pria itu tak pasai untuk terus memastikan kondisi Yasa. Setiap perkembangan dan perubahan dari tubuh Yasa yang terkulai lemas, tak luput Diaz catat dan perhatikan.
Namun, setelah memeriksa tubuh Yasa, Diaz terkejut. Tubuh kurus itu sudah dijamah tanpa ampun. Entah binatang buas mana yang tega melakukan hal mengerikan seperti itu. Banyak sekali tanda mengerikan pada tubuh Yasa. Saat Diaz bertanya pada Mala, tak ada seorang pun yang menyetuh Yasa, kecuali Gesa yang mengurung Yasa dalam kamar semalaman. Tanpa dijelaskan sekalipun, Diaz paham, Gesa yang telah mengagahi Yasa.
Namun, Diaz masih tak mengerti, atas dasar apa Gesa melakukan hal seperti itu. Diaz tahu, secinta apa Gesa pada Elfara. Diaz juga tahu, sekeras apa ambisi Gesa untuk mendapat seorang keturunan. Kelakuan bodoh Gesa tak hanya melukai Yasa, tapi juga membahayakan kesemalatan bayi yang Yasa kandung.
Sebenarnya, tadi malam kondisi Yasa sudah jauh lebih baik. Perempuan itu sudah sadar meski rasa sakit di perutnya tak kunjung mereda. Sekarang, Diaz penasaran dengan kondisi Yasa. Diaz beranjak dari tempat tidurnya. Dia berjalan ke luar kamar, menuju kamar Yasa. Pintu kamar Yasa sudah terbuka. Diaz mengedarkan pandangannya, mencari figur Yasa yang kini sudah tak ada di atas ranjangnnya.
“Ke mana dia?” tanyanya.
Diaz kembali menggulirkan matanya, sampai akhirnya pandangan itu berlabuh pada Yasa yang kini duduk di depan meja rias. Perempuan itu tengah asik menyisir surai panjangnya. Perempuan itu seperti sudah bangun lebih awal. Pakaiannya sudah berbeda dengan hari kemarin.
“Kamu udah baikan, Yas?” tanya Diaz.
Yasa menoleh. Wajahnya masih terlihat pucat, tapi senyumannya tetap ada di sana. “Udah, Dok ... tinggal lemesnya aja.” Lagi-lagi Yasa memamerkan sebuah senyuman hingga terbit sepasang lesung pipi yang hampir memenuhi kedua pipinya. “Terima kasih dan maaf jadi merepotkan begini,” ucapnya.
Diaz tak ragu untuk mendekati Yasa. Dia ambil peralatan dokternya yang masih dia simpan di kamar itu. “Syukurlah, tapi saya periksa dulu sebentar,” ucapnya.
Diaz memasangkan ujung stetoskop di kedua telinganya, sedangkan ujung lainnya dia tempelkan di dada Yasa. Sambil memeriksa denyut nadi Yasa, Diaz terus mendengarkan detak jantung perempuan itu.
Sesekali, Yasa meringis saat alat yang Diaz gunakan terasa dingin saat bersentuhan dengan kulit. Namun, senyuman kecil dari Diaz seakan memberikan kabar yang baik. Semuanya normal. Kondisi Yasa jauh lebih baik dibanding kemarin malam.
“Perutnya masih sakit gak?” tanya Diaz.
“Masih, tapi ... gak seburuk kemarin,” sahut Yasa.
Diaz menganggukkan kepalanya samar. “Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk bilang,” ucapnya.
Diam-diam, Yasa memegangi perutnya. Rasa sakit itu masih ada meski tak sehebat kemarin sore. Dia menatap Diaz dengan hati yang penuh dengan pertanyaan. “Dok ... kandungan saya gimana? Tadi pagi, keluar bercak darah.”
Diaz mengekerutkan keningnya. “Banyak gak?” tanyanya.
“Enggak terlalu ... sih,” ucap Yasa ragu.
“Siang nanti, kita langsung USG aja.”
Yasa hanya mengangguk kecil. Perempuan itu malah larut pada pikirannya sendiri. Yasa memang tak mengharapkan kehadiran bayi dalam rahimnya, tapi Yasa tak tahu apa yang akan Gesa lakukan jika kehamilan itu gagal. Yasa tak mau mengulang segalanya dari awal. Jika kehamilannya gagal, artinya Yasa harus menghitung ulang semua transaksi yang harus dia selesaikan. Dengan kata lain, lebih banyak waktu yang harus juga Yasa korbankan demi melunasi utangnya.
“Yas ... saya mau tanya.” Diaz terlihat ragu saat menatap Yasa di sana. “Kalau kamu bisa memilih, kamu lebih memilih mengandung anak kamu sendiri atau anak orang lain?” tanyanya.
Yasa terdiam. Bibirnya kelu untuk berucap. Dia menatap Diaz dengan hati yang tak karuan. Berbagai macam gejolak hati Yasa rasakan. Darahnya terasa berdesir dan kadang berdenyut seirama dengan detak jantungnya sendiri.
“Lupakan! Hanya pertanyaan gak penting, gak perlu dijawab,” sambung Diaz dengan cepat. Pria itu buru-buru membenahi segala peralaan medis yang tadi sempat dia keluarkan. “Oh ya ... saya udah telpon Gesa. Mungkin dia akan datang hari ini,” ucapnya.
Yasa menghela napasnya sebentar. “Jika bisa memilih. Saya akan memilih untuk tidak bertemu Pak Gesa,” ucapnya.
Di tempatnya, Diaz terpaku karena ucapan Yasa. Dia pandangi wajah pucat Yasa. Sorot mata dari wajah itu terlihat kuat dalam kelemahan. Seakan tak ada hal yang Yasa takutkan. Seakan tak ada khawatirkan sedikitpun di sana.
“Pak Diaz, saya gak jauh berbeda seperti perempuan lainnya ... saya juga mengharapkan hubungan yang indah. Saya ingin memilik suami yang mencintai dan bisa dicintai ... saya juga ingin rahim saya sendiri. Mengandung dan melahirkan anak saya sendiri, bukan untuk orang lain dan bukan milik orang lain.” Yasa tersenyum sekilas. Dia balas tatapan Diaz di sana. “Sayangnya, dongeng Cinderella tak ada di dunia nyata. Gadis miskin yang tidur di atas kotornya tumpukan jerami, tidak akan pernah menemukan keindahan sepatu kaca yang megah.” Yasa tak henti meluapkan perasaannya.
Di balik pintu, Gesa diam-diam mendengarkan ucapan Yasa sejak tadi. Pria itu urung untuk masuk ke kamar dan memilih menyembunyikan tubuhnya di sana.
“Pak Gesa dan istrinya sudah membeli rahim saya. Apa saya masih punya pilihan untuk mengandung anak saya sendiri?” Yasa tahu, pertanyaannya tak memerlukan jawaban. Dia hanya mengingatkan dirinya sendiri. “Bahkan, anda datang ke sini pun ... karena bayi mereka berdua ada dalam rahim saya,” pungkasnya.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...