GESA geram saat kepulangannya malah disambut oleh suara piano yang begitu menusuk telinga. Seingat Gesa, dari tadi pagi buta nyanyian itu sudah terdengar. Sejak Gesa keluar dari rumah hingga sekarang Gesa kembali pulang ke rumah, setiap tuts piano itu tak henti melantangkan nada-nadanya. Gesa tak tahu kapan lagu mengerikan itu akan berakhir.
Jujur, Gesa enggan jika harus melepas penat pekerjaan dengan amarah. Namun, telinganya sudah sangat pengang sekarang. Dia berjalan ke kamarnya dengan tergesa. Dia ketuk pintu kamar itu.
"Elfara!"
Seolah tak ada penghuni di dalam kamar itu, teriakan Gesa seakan tidak sampai ke dalam kamar hingga satu kata pun luput untuk menyahuti Gesa.
Gesa ketuk kembali pintu kayu di depannya. "Elfara!"
Semakin lantang Gesa berteriak untuk memanggil nama Elfara, semakin vokal juga perempuan itu mericaukan lagunya. Gesa mengepalkan tangannya. Dia tendang pintu yang terkunci itu dengan kasar.
Di dalam sana, Elfara seolah sengaja menulikan pendengaran. Dia benar-benar menikmati teriakan Gesa yang berpadu dengan tangga nada yang tercipa dari jemari lentiknya. Senyumannya bahkan begitu merekah. Padahal, tak ada lagu merdu yang terdengar. Tak ada kidung indah yang tercipta. Hanya ada rentetan notasi lagu yang tidak beraturan. Bahkan, nadanya terdengar mengerikan saat masuk ke telinga.
Gesa masih berdiri di depan pintu dengan darah yang seakan mendidih. Dia pandangi pintu kamar itu dengan sorot mata yang membara. Sampai akhirnya, kedatangan Bi Narti mengalihkan perhatian Gesa.
Bi Narti dengan daster motif bunga ciri khasnya, berjalan bersama Ayas dalam pangkuannya. Wajah perempuan paruh baya itu terlihat begitu panik karena tangisan Ayas yang tak kalah nyaring. Bayi mungil itu meronta dengan wajah yang sudah sangat merah.
"Bi, Ayas kenapa?" tanya Gesa. Dia tak kalah panik melihat keadaan putrinya.
"Badan Ayas hangat, Tuan. Dari tadi pagi gak berhenti nangis. Dia gak bisa tidur karena suara piano Nyonya dari pagi. Minum susu juga gak mau."
Amarah Gesa semakin tersulut. Dia kembali mendekati kamarnya. Dia tendang pintu itu beberapa kali. Dia tak memperdulikan kaki yang dibalut pantofel itu memar karena tendangan kasar pada pintu jati itu. Setelah beberapa kali tendangan, amarah Gesa berhasil mendobrak pintu itu.
Di dalam kamar, Elfara masih duduk di depan piano. Setiap jemarinya sudah memerah, tapi tawa perempuan itu tetap bersahutan dengan lagunya yang mengerikan.
"Kamu gila!" Gesa berteriak. Dia tarik tubuh Elfara untuk berdiri dan menghentikan permainan pianonya dengan paksa.
"Ayas nangis sejak pagi! Kamu malah main piano seperti ini?!"
Elfara tidak kalah begitu saja. Dia menepis tangan Gesa dengan kasar. Dia pandangi wajah sang suami dengan tatapan tak kalah membara. "Sejak kapan ada orang yang melarangku bermain piano?! Hah?! Ini rumahku! Aku berhak melakukan apa pun yang aku mau!"
"Sekarang ada Ayas, El! Dia terganggu dengan permainan pianomu yang bodoh itu!"
Elfara terdiam. Dia memiringkan kepalanya seolah tengah kebingungan. "Siapa Ayas? Aku gak mengenalnya? Apa dia anak anjing yang kamu bawa?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa.
Perempuan itu belagak seolah tengah mencari benda di sekitar kamar. Dia berjalan ke sisi lain dari kamar, hingga matanya melihat Bi Narti dengan Ayas dan tangisannya yang belum mereda.
"Kukira anak anjing. Ternyata, ini Ayas? Bayi kecil yang cengeng!" Efara berdecak penuh kebencian. Dia memalingkan wajahnya, tak mau berlama-lama memandangi bayi cantik itu.
"Dia putriku!" Gesa tersinggung dengan setiap ucapan Elfara. Dia mencengkeram kuat lengan Elfara, menjauhkan perempuan itu dari putri kecilnya.
"Oh, ya. Aku lupa. Dia putrimu dan perempuan murahan itu!" Elfara mencecar penuh hina. Sekali lagi dia tepis tangan Gesa dari tubuhnya. "Berapa banyak uang yang kamu keluarkan untuk membeli bayi cengeng seperti ini?!"
Meski tubuh Gesa sudah diselimuti oleh aura kemarahan. Bahkan, air mukanya sudah jauh dari kata ramah, Elfara tetap berani mendekatkan tubuhnya pada Gesa. Dia sedikit mendongkak, menyamakan pendangannya dengan Gesa. Dia tatap kedua bola mata Gesa begitu lamat.
"Bangga kamu punya istri dua? Bangga kamu bisa menghamili gadis kampung yang naif? Bangga kamu punya anak dari hubungan gelap kamu dan wanita itu?!"
Nu asih dipulang sengit, Gesa tak menyangka kasih sayang yang dia berikan untuk Elfara dibalas oleh caci maki seperti ini. Padahal, hal yang dia lakukan hanya untuk Elfara. Pengorbanan yang diberikan Yasa juga untuk kesembuhan Elfara.
"Aku lakukan semua itu untuk kamu! Kamu yang maksa aku untuk membawa seorang bayi! Kamu yang setiap hari bertanya di mana anak kita?!"
"Bukan ini yang aku mau, Gesa! Aku mau anak kita! Anak kita berdua! Bukan anak hasil perselingkuhan kamu bersama Yasa!"
Setelah pertemuannya dengan Yasa, Elfara benar-benar menjadi liar. Sudah tak tehitung malam panjang yang Gesa lalui untuk menjaga Ayas sendirian. Tak. terhitung pula tangisan Ayas yang Gesa dengar seorang diri. Elfara benar-benar tak mau menyentuh Ayas sedikit pun. Bahkan, untuk sekedar menatap pun, sepertinya Elfara sangat tidak sudi.
"Jangan kira aku bisa menerima semua pengkhianatan kamu, Gesa! Apalagi, menerima anak itu di rumah ini!"
Gesa sungguh tak percaya dengan setiap kata yang keluar dari bibir Elfara. Dia mengepalkan tangannya begitu erat.
"Gila!" gumamnya. "kamu udah kehilangan akal sehat, El! Kamu sendiri yang minta agar Ayas tinggal di sini. Kamu juga yang mengancam akan memenjarakan keluarga Yasa kalau Yasa merebut Ayas dari kamu! Hah?! Kamu lupa?! Sekarang, setelah Ayas di sini, kamu mau menelantarkannya, begitu?! Hah?! Ayas putriku, Elfara!"
Suara lantang dari Gesa tidak menggoyakan Elfara. Perempuan itu duduk di tepi ranjang. Dia bertumpang kaki sambil memeriksa kuku jarinya yang baru tadi pagi dia beri warna dengan kutek merah. "Kamu salah paham, Gesa," ucapnya.
Diam-diam, Bi Narti pergi bersama Ayas yang masih menangis dalam pangkuannya. Perempuan itu sudah tak sanggup menyaksikan Gesa dan Elfara yang tak kunjung berdamai dengan segala hal yang harus mereka tuai. Padahal, ini konsekuensi yang harus mereka terima.
Masih dengan mengagumi warna merah dari kukunya, Elfara kembali menatap Gesa yang kini di hadapannya. "Sayang, aku hanya ingin Yasa merasakan apa yang aku rasakan! Dia gak boleh memiliki apa pun yang tidak aku aku miliki! Baik itu kamu atau pun seorang bayi! Yasa gak boleh memilikinya. Perempuan yang gak punya harga diri itu bahkan gak berhak merasakan ke—"
Ucapan Elfara terhenti saat tamparan Gesa mendarat tepat di pipinya. Panas dan perih menjalar bagaikan kilatan petir di tengah langit biru. Wajah cantik Elfara terpaling. Namun, tak ada tangisan di sana. Tatapan kian membara dengan darah yang kian berdesir.
Tiba-tiba, Elfara berlari keluar kamar. Dia berlari sekuat tenaga, meninggalkan Gesa yang masih terpaku oleh kelakuannya sendiri.
"Di mana bayi itu?! Bi Narti! Bawa bayi cengeng itu!"
Teriakkan Elfara menggema di seisi rumah. Perempuan iru terus mencari keberadaan Bi Narti dan Ayas. Dia tiba-tiba terdiam saat dua sosok yang dicarinya ada di tepi ujung tangga.
"Bi, berikan Ayas padaku," pinta Elfara. Senyumannya terus merekah kala tangisan Ayas semakin menjadi. Perlahan, Elfara mengulurkan tangannya, meminta Ayas dari Bi Narti.
Yasa, sekarang kamu akan mengerti arti dari sebuah kehilangan.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...