GESA duduk di kursi kebesarannya. Pria itu tengah memeriksa setiap tumpukan berkas di atas meja. Dibukanya lembar demi lembar tumpukan kertas-kertas itu. Sesekali, Gesa mencocokannya dengan data dan email di dalam laptop. Tak jarang pula, Gesa membuat tulisan kecil di sudut kertas.
Sejujurnya, jika bukan karena tanggung jawab, enggan bagi Gesa untuk duduk dan menghabiskan waktu di ruang kerja seperti ini. Jika bukan karena Gesa ingat bahwa dia bukanlah seorang konglomerat, Gesa ingin lepas tangan pada kerjaannya itu. Namun, Gesa tetap harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Apalagi, sekarang ada anggota baru yang harus Gesa nafkahi, bayi cantik yang usianya belum genap dua pekan.
"Ayolah, Gesa! Fokus kerja! Bisa!" gumamnya, menyemangati dirinya sendiri.
Lelah melihat layar laptop yang terus menyala, Gesa pandangi ruangan yang mengurungnya sejak tadi pagi. Dalam ruangan bernuansa hitam itu, tak ada satu figur pun yang menemani Gesa, tak ada satu kawan pun yang bisa Gesa ajak untuk bercakap. Dengan kemeja hitam yang membalut tubuh kekarnya, Gesa hanya duduk sendirian dengan kertas-kertas dan desir jam pasir yang tak henti menghitung mundur.
Bukannya menyelesaikan apa yang dia kerjakan, Gesa malah tertegun dengan lamunan, seakan tak ada hal yang benar-benar bisa Gesa kerjakan. Pria itu sedang terjebak oleh angan dari pikirannya sendiri.
Ada hal yang terus mengganggu fokus Gesa sejak tadi. Entah apa yang Gesa khawatirkan dan entah apa yang menjadi kekalutan Gesa.
Perlahan, Gesa menyandarkan punggungnya pada bantalan kursi, lalu memandang langit-langit ruangan dengan helaan panjang dari bibir tipisnya.
Sekarang, hidup Gesa hampir mencapai puncak kesempurnaan. Benar-benar sempurna hingga Gesa khawatir semua ini akan berakhir oleh Maha Kesempurnaan Tuhan.
Seorang putri cantik sudah Gesa miliki, kesembuhan Elfara juga mulai menyambut kebahagiaan keluarga kecilnya. Namun, Gesa tak mengerti. Harusnya kegelisahan seperti ini tidak pernah ada. Harusnya ketidaknyamanan seperti ini tidak Gesa rasakan.
Ternyata, sampai detik ini hati Gesa masih menginginkan hal lain. Entah apa hal lain yang menjadi angan Gesa, seolah ada ruang kosong dalam hati yang kehilangan pemiliknya.
Gesa menutup matanya sebentar.
Sumpah demi Tuhan, bayangan wajah Yasa masih tak bisa Gesa tepis dalam pikirannya. Apalagi, saat melihat putrinya. Bayi kecil itu benar-benar memaksa Gesa untuk terus mengingat Yasa dengan wajah indahnya.
Bukan kemauan Gesa untuk memutus segalanya begitu saja. Sejak hari di mana Yasa meminta untuk pulang, Gesa tak bisa menghubungi perempuan berwajah ayu itu lagi. Mungkin, Yasa mengganti nomornya, atau memang kontak Gesa sengaja Yasa blokir.
Hari sudah berganti beberapa kali tanpa Gesa sadari, tapi Gesa benar-benar tak tahu bagaimana kabar Yasa saat ini. Entah bagaimana kondisi Yasa sekarang. Berdo'a dari kejuahan pun rasanya sangat sia-sia untuk Gesa lakukan.
Gesa usap wajahnya dengan kasar. Dia singkirkan tumpukan kertas itu dari pandangannya. Dia pijat pangkal hidungnya kesal. "Yas, kenapa sih?" monolognya.
Padahal, Gesa yakin Yasa juga tak mau pernikahan mereka berakhir begitu saja. Gesa juga yakin kalau Yasa masih memiliki rasa yang sama. Sama besarnya seperti perasaan Gesa, bukan prasangka kebohongan yang selalu Yasa agungkan, bukan pula bualan sandiwara yang selalu Yasa rindukan.
Terus bergulat dengan pikirannya sendiri, hingga Gesa tak menyadari pesan masuk dari Elfara.
Istrinya itu mengirim sebuah pesan, Sayang, kalau pulang, jangan lupa mampir beli dot susu Ayas. Dia rewel hari ini. Nangis terus, gak mau minum susu juga. Kayaknya, dotnya beneran kebesaran deh, makanya dia gak mau. Jadi, beli yang agak kecil ya, Ayah. Luv you 💓
Gesa kembali tertegun saat membaca pesan singkat itu. Ayas, putri mungilnya memang rewel akhir-akhir ini. Tangisannya seakan tak mau berhenti dari pagi hingga ke pagi lagi. Padahal, baik Gesa maupun Elfara sudah berusaha untuk menjaga dan merawat bayi mungil itu dengan segala macam cara. Sampai-sampai, Gesa juga minta bantuan pengasuh untuk ikut menjaga Ayas.
Dalam lubuk hatinya, Gesa tak bisa menyangkal. Ikatan batin seorang ibu dan anak tak bisa dia putuskan begitu saja. Ayas menginginkan sentuhan dari ibu kandungnya. Bayi cantik itu ingin Yasa.
Sekali lagi, Gesa pandangi ponselnya. Dia cari kontak Mala.
Tak jauh berbeda dengan Yasa, Mala juga enggan untuk menerima panggilan Gesa. Pesan yang Gesa kirimkan juga hanya Mala baca.
Gesa tak bisa menyalahkan siapapun sekarang.
Untuk ke sekian kalinya, Gesa kembali hubungi nomor Mala. Nomor itu masih terhubung, tapi tak kunjung mendapat jawaban.
"Mala! Angkat sekali aja!"
Gesa menggertakkan giginya dengan kesal. Dia pukul meja di depannya dengan frustasi.
"Sialan!"
Hanya umpatan demi umpatan yang keluar dari bibir tipis Gesa. Pria itu melemparkan ponselnya saat panggilannya tak kunjung dijawab. Ponsel yang terbentur dengan lantai marmer itu hancur menjadi beberapa bagian.
Entah apa yang membuat Gesa marah. Dia berdiri dengan mata membara dan deru napas yang memburu.
"Permisi!"
Gesa makin tersulut emosi saat pintu ruangannya diketuk. Dia mendelikkan matanya, menunggu figur siapa yang akan dia lihat. Pintu itu perlahan terbuka. Di sana seorang perempuan berkemeja putih berdiri dengan ID-card yang mengalung di ceruk lehernya.
"Selamat sore, Pak Gesa," sapanya
"Ada apa, Fina?!" sungut Gesa.
Perempuan bernama Fina itu tersenyum tipis. Dia masuk ke dalam ruangan dengan canggung. "Saya dapat telpon dari Pak Wira. Katanya, nomor Pak Gesa gak bisa dihubungi, makanya beliau telpon ke kantor. Saya sudah sambungkan telponnya ke sini," jelas Fina.
Fina mangut sekilas sebelum akhirnya kembali meninggalkan Gesa di sana. "Saya permisi," pamitnya.
Gesa melirik telpon kantor yang ternyata memang berdering sejak tadi. Dia angkat panggilan itu dengan hati yang masih merengut-rengut.
"Halo," ucap Gesa.
"Selamat sore, Pak Gesa. Ini saya, Wira, Kepala outlet Sukabumi. Punten pisan ini mah ... Pak Gesa bisa ke Sukabumi dulu gak? Besok atau mungkin lusa?" tanya Pak Wira dari seberang sana. Suara pria berumur itu terdengar canggung bercampur segan.
"Ada apa?" tanya Gesa.
"Begini, Pak." Suara Pak Wira kembali terdengar terdengar canggung. Bahkan, suara napasanya bisa sampai ke pendengaran Gesa. "Outlet kita kena musibah. Tadi malam, ada perampokan. Bukan outlet kita aja, toko di sebelah juga kena. Beberapa toko di blok sebelah juga sama," jelasnya.
Kedua alis tajam Gesa terpaut sempurna. "Kok bisa?" tanyanya.
"Kasusnya masih diusut pihak kepolisian. Cuman, Pak Gesa ... gak hanya uang yang mereka gasak, motor milik security kita juga jadi sasaran mereka. Makanya, kalau Pak Gesa tidak berhalangan, Bapak ke sini dulu untuk ikuti perkembagan kasusnya. Pihak kepolisian juga memerlukan kehadiran dan pernyataan Pak Gesa di sini."
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...