27. Desersi

22.8K 1.6K 111
                                        

"Bukan untuk kebahagiaan, kita melangkah hanya untuk menghindari luka."
_____________________________________

GESA membeku saat melihat perban tebal yang melilit pergelangan tangan Elfara. Dia tak bisa mengira seberapa dalam luka itu dan sebanyak apa luka itu, hingga harus ditutup perban begitu banyak. Sampai-sampai, Gesa tak berani untuk sekedar menatap dari bentangan jarak yang sedikit.

Sekarang, Elfara kembali terbaring di tempat mengerikan untuk kesekian kalinya. Perempuan cantik itu tertidur dalam kamar berbau obat dengan beberapa alat yang menakutkan. Selang infus masih menusuk lengan Elfara yang kian kurus. Reaksi dari obat penenang masih menguasai kesadaran Elfara yang kian tak terurus. Sedangkan Gesa, dia hanya mampu bertumpu pada kedua kakinya sendiri. Dia tak tahu harus melangkah ke mana lagi saat ini. Pria itu hanya membeku dengan tatapannya sendiri.

Rasanya, sejauh apa pun Gesa berkelana, sekeras apa pun Gesa berusaha, dia kembali dipertemukan dengan luka yang ternyata takkan pernah sembuh, luka yang seakan terus memaksa Gesa untuk berhenti tersenyum. Lagi dan lagi, kondisi Elfara kembali mematahkan hati Gesa untuk kesekian kalinya. Harus dengan cara apa lagi Gesa mencari penawar atas lara hatinya sekarang. Bahu yang seharuskan Gesa berikan untuk Elfara, kini mengemis untuk disembuhkan. Tangan yang seharusnya Gesa menepis kekecewaan Elfara, kini bergetar tanpa ketabahan.

"El ...," panggilnya begitu parau.

Gesa usap wajahnya dengan kasar. Helaan napasnya yang begitu berat kembali terdengar oleh telinganya sendiri. Gesa biarkan pandangannya berlabuh pada Elfara yang terbaring di sana. Kedua manik Elfara yang tertutup itu hanya mampu Gesa tatap dari kejauhan. Wajah pucat yang bersemayam di sana hanya mampu Gesa renungkan dalam diam.

"Maaf, A ... Mamah gak bisa jaga Elfara."

Gesa menoleh karena suara lembut dari Mamah. Gesa tatap wajah yang menenangkan itu. Tatapan teduh dari Mamah mengusik relung hati Gesa.

"Malam tadi, Mamah udah bujuk Elfara untuk nunggu kamu sampai besok, A ... Mamah udah coba bawa Elfara untuk masuk rumah, Mamah udah coba ... tapi ... dia marah." Mamah mengadu dengan suara bergetar. Perempuan sepuh itu mendekati Gesa dengan perasaan bersalah. Jika malam tadi Mamah tidak memaksa Elfara untuk menunggu sendirian, mungkin Elfara takkan berakhir seperti ini. Jika malam tadi Mamah tidak menyerah, mungkin Elfara takkan berakhir dengan mengiris pergelangan tangannya sendiri.

Gesa menggelengkan kepalanya. Dia raih kedua tangan Mamah. Dia cium punggung tangan itu. "Bukan salah Mamah ... Aa yang salah ... Aa yang gak ada," ucapnya.

"Tapi ... kalau malam tadi Mamah tetap di sana, Elfara ... Elfara gak akan ...." Mamah menundukkan kepalanya. Dia tak mampu melanjutkan ucapannya.

"Bukan salah Mamah ...." Gesa usap dengan lembut punggung tangan Mamah. "Bukan salah Mamah, aku yang-" Tiba-tiba Gesa terdiam. Dia terdiam saat menyadari sebuah plester menempel di telapak tangan Mamah. Gesa sentuh plester cokelat yang melintang di setiap garis tangan Mamah.

"Ini kenapa, Mah?" tanya Gesa.

Mamah ikut terdiam di tempatnya. Perempuan itu tengah mengingat kembali saat dia dan Elfara menarik satu benda tajam yang sama. "A ... Mamah coba rebut pisau itu dari Elfara ... tapi Mamah gak bisa."

Gesa terkejut bukan main karena ucapan Mamah. Mata sipitnya terbelalak. Dia tatap sekali lagi telapak tangan Mamah. Tangan rapuh itu terlihat bergetar.

"Udah diobati?"

"Udah, tadi Ary bantu bersihin pake antiseptik."

Gesa mengangguk samar. Sekarang, dia mengerti akan ucapan Ary kala itu. Dokter bermata biru itu sempat berkata, "Bukan hanya melukai dirinya sendiri, Ges. Elfara bisa saja melukai orang lain."

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang