59. Radikal

19.6K 1.3K 116
                                        

YASA menjadikan rumah Gesa dan Elfara sebagai tujuan dari perjalanannya hari ini. Perempuan berkemeja hitam itu berdiri di depan rumah bercat putih. Dia pandangi seluruh penjuru rumah yang terlihat begitu megah juga menyenangkan. Banyak sekali suka cita yang terlihat di tempat itu. Bahkan, rungu Yasa bisa mendengar dengan jelas bagaimana indahnya suara gemercik air mancur di depan rumah.

Entah apa yang membawa Yasa ke tempat Elfara. Kakinya seakan melangkah tanpa jera. Padahal, harapan Yasa pada rumah itu sudah lama lengkara, tapi jiwanya seakan kian mendera.

Rasa bercampur iba. Ego bercampur cinta. Yasa tak mengerti apa yang kini dia genggam. Semuanya semu terbias kelabu. Yasa menutup matanya sebentar. Dia hela napasnya begitu dalam. Perlahan, jemarinya bergerak untuk menekan bel. Belum sempat jemari lentik itu bersentuhan dengan pagar rumah, Yasa kembali menurunkan tanggannya sendiri. Dia genggam kehampaan rasa dalam jiwanya.

"Enggak ... Yas," gumamnya pelan. Yasa urung untuk memasuki lembah derita itu lagi. Dia melangkah mundur untuk menjauh.

Namun, langkah Yasa terhenti saat pintu rumah itu tiba-tiba terbuka. Dari kejauhan, Yasa bisa melihat figur cantik Elfara ber-dress biru muda. Senyuman bahagia dari wajah elok itu hingga mampu menyilaukan hati kelabu milik Yasa.

Tanpa sadar, Yasa tertegun dan enggan untuk urung. Perasaannya kian meluap saat stroller bayi berwarna merah muda terlihat di pelupuk matanya. Benda cantik itu Elfara dorong dengan suka cita. Gurauan kecil dari bibir Elfara seakan mampu Yasa dengar.

Yasa ingin menjadi figur cantik Elfara. Yasa ingin menjadi perempuan yang mendorong stroller bayi itu. Diam-diam, Yasa mencengkeram pagar tinggi yang memisahkan dunianya dengan dunia Elfara.

Distopia kisah ini seolah memaksa Yasa untuk terus merebut kembali haknya.

Jika Yasa tidak berhak untuk dibahagiakan, Yasa ingin menciptakan kebahagiaannya sendiri. Dia menginginkan segala hal yang seharusnya menjadi miliknya.

Yasa ingin putri kecilnya.

"Sayang, Bunda di sini ...."

Dalam dongeng naif miliknya, Yasa seakan mampu memeluk bayi cantik itu. Yasa berkhayal bisa mencium keindahan wajah mungil itu. Sampai-sampai, Yasa berfantasi kala dia berani untuk membawa putrinya pergi dan memilikinya sendirian.

Ego terus bersinggungan dengan hati nurani. Pikiran Yasa makin jauh tenggelam dalam fananya sebuah fantasi.

"Yasa, ya? Yasa, 'kan? Yasa!"

Elfara sedikit berteriak. Manik cokelatnya tak sengaja melihat figur Yasa. Dia berjalan cepat, mendekati Yasa sambil mendorong stroller di depannya dengan hati-hati.

"Yasa? Kok kamu di sini?" Elfara lantas membuka gerbang rumah seraya memberikan jalan untuk Yasa masuk. "Ngapain berdiri di sana?" tanyanya.

"Aku gak sengaja lewat," sahut Yasa dengan senyuman kecil di wajahnya. Seluruh pandangan Yasa masih tertuju pada bayi cantik yang kini tertidur pulas dengan dot kecil di mulut mungilnya.

Rasa kagum dan kecewa mulai menggeroti hati Yasa. Untuk pertama kalinya Yasa bisa melihat putrinya dengan jarak yang sangat dekat seperti ini. Begitu dekat hingga Yasa mampu merasakan bagaimana debar jantungnya selaras dengan debar jantung putri kecilnya.

"Rumah kamu di daerah sini juga, Yas?" Elfara kembali bertanya. Dia cukup heran sekaligus terkejut saat melihat Yasa di kompleks perumahannya.

Dengan berat hati, Yasa melepaskan pandangannya pada figur mungil itu. Dia beralih untuk menatap Elfara. "Enggak. Emmm, itu ... aku nyari rumah seseorang. Katanya, di daerah sini. Tadinya, aku pikir rumah ini rumah yang aku cari. Ternyata, rumah kamu, Mbak."

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang