"Terlalu banyak harapan yang kita beli, hingga kita lupa bahwa sudah terlalu banyak hak dan cinta yang termanipulasi."
_____________________________________GESA tak tahu harus dengan cara apa untuk menghibur Yasa. Perempuan berambut panjang itu tak letih melamun setelah pertemuannya dengan Elfara. Sudah tak terhitung malam panjang yang Yasa habiskan dengan merenung. Sudah tak terhitung pula seruan Gesa yang Yasa tampik.
Malam ini, Gesa masuk ke kamar dengan sekotak penuh martabak hangat lengkap dengan toping stroberi dan keju kesukaan Yasa.
"Yas," panggilnya. Dia lantas duduk di samping Yasa.
Namun, Yasa masih tak mengindahkan keberadaan Gesa. Dia makin terjatuh dalam lamunannya sendiri. Pikirannya berkelana begitu jauh. Saking jauhnya, sampai Yasa tak tahu caranya untuk kembali.
Sebetulnya, Yasa tak menghitung sudah berapa kali malam kelam yang dia lalui bersama kokohnya para dinding kamar. Sebuah kamar yang asing bagi Yasa. Sebuah kamar yang diacuhkan untuk seorang tamu. Yasa memang belum pulang ke kediamannya. Dia masih berdiam di rumah mewah milik Gesa dan Elfara. Tak ada yang bisa Yasa lakukan di sana, hanya menghitung mundur setiap hari yang dia lalui.
"Yas ... aku bawa martabak. Kalau malam, kamu suka makan yang manis-manis, 'kan?" Gesa segera mengalihkan pikiran Yasa. Dia usap punggung tangan Yasa perlahan.
Lagi, Yasa hanya menoleh. Dia pandangi tangan Gesa yang masih setia di tempatnya. "Nanti, aku makan," cicitnya pelan.
Malam ternyata makin sunyi. Tepat di meja samping ranjang, makanan yang tadi sempat Gesa bawa juga belum Yasa sentuh. Potongan buah di atas piring sudah kehilangan kesegarannya. Segelas susu cokelat di sana juga sudah kehilangan kehangatannya. Deretan serangga mulai mengambil alih setiap kenikmatan makanan itu.
Gesa kembali menatap wajah Yasa. Dia usap pucuk kepala perempuan yang tengah hamil muda itu. "Tadi, kamu juga bilang gitu, mau aku suapin?" tanyanya.
"Nggak perlu."
Tak ada yang bisa Gesa baca dari sorot mata Yasa saat ini. Manik legam itu masih sedalam telaga dan masih sekelam langit malam. Tak ada harapan yang bisa Gesa pahami dalam legamnya tatapan Yasa. Tak ada ambisi yang bisa Gesa artikan dari dua bola mata itu.
Dalam kehampaan, ternyata bibir Yasa masih merekah bagaikan buah ceri yang ranum. Dengan bergetar, cantiknya bibir itu mulai berucap, "Sepertinya, aku adalah manusia paling egois di dunia ini."
Sontak, kedua alis Gesa menukik tajam. Dia tak mengerti dengan ucapan Yasa. Keningnya mengkerut dengan berbagai pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya.
"Aku tidur di kamar yang hangat ini ... aku makan semua hal yang sedap di rumah ini, tapi entah bagaimana kondisi pemiliknya di sana." Yasa meraih tangan Gesa. Dia genggam tangan yang terasa hangat itu dengan setiap jemarinya. "Di sana, Elfara tidur dengan nyaman, 'kan? Dia juga makan makanan enak, 'kan?" tanyanya.
"Yas-"
"Mbak Elfara baik-baik aja, 'kan? Dia pasti sembuh, 'kan?"
Setiap kata yang terucap dari bibir ceri itu mengusik hati Gesa. Dia terenyuh, mencari makna yang tersirat dari tatapan Yasa. Yasa menggelengkan kepalanya dengan ribut. "Enggak ... harusnya kamu gak di sini. Harusnya kamu gak perlu di sini. Elfara pasti ketakutan sendirian di sana. Kamu harus ke sana," paraunya dengan suara yang bergetar.
"Kamu juga tanggung jawab aku, Yas. Kamu juga seorang istri di rumah ini," ucap Gesa.
Yasa terdiam. Harusnya, jantung itu tak berdebar karena ucapan Gesa. "Aku gak mau di sini ... aku gak suka perasaan ini." Entah amarah atau perasaan bersalah. Yasa menangis dengan mata yang membara. Dia terisak dengan keringat dingin yang mulai bercucuran di keningnya.
Gesa usap kening yang basah itu. Dia singkirkan setiap air mata yang lolos dari perlupuk mata Yasa. "Kalau kamu gak suka di sini, kita pulang ... kita pulang malam ini juga."
Tertunduk, Yasa hanya mampu mengindari tatapan Gesa. Dia memalingkan wajah ayunya dengan getar hati yang tak karuan. "Aku mau berhenti," lirihnya. "Aku mau berhenti. Aku gak suka hubungan ini. Aku gak suka transaksi ini. Aku juga gak suka kehamilan ini!"
Yasa memukul perutnya dengan kepal tangannya sendiri. Dia lampiaskan kebenciannya pada setiap hantaman tangannya sendiri.
"Hey!" Gesa dengan cepat mencekal kedua tangan Yasa. Dia genggam lengan kurus itu dengan kedua tangannya. "Jangan bodoh!" teriaknya.
Dengan kedua tangan yang masih dalam cengkeraman Gesa, Yasa berontak tak karuan. "Aku gak mau hamil anak kalian!" Dia menjerit dan sungguh sudah kehilangan akalnya. Cengkeraman tangan Gesa makin kuat. Lengan kurus Yasa hingga memerah karenanya. Terlihat dengan jelas bagaimanna aliran darah Yasa seakan tertahan karena genggaman kuat lengan Gesa.
"Yasa! Sadar!"
Pekikan Yasa perlahan mereda dan digantikan dengan tangisan pilu. "Kenapa? Kenapa harus Mbak Elfara yang memiliki semua hal yang kumiliki! Kenapa harus Mbak Elfara ... kenapa harus dia," lirihnya.
Saat itu juga, Yasa tumpahkan seluruh perasaannya. Segala hal yang ada di kepalanya dia keluarkan. Tangisanya benar-benar menyatu dengan kebenciannya. Entah apa yang membuat Yasa marah. Gesa terus memegangi kedua tangan Yasa, berharap perempuan berwajah ayu itu bisa tenang.
"Akan lebih baik jika Elfara baik-baik saja ... akan lebih mudah bagiku untuk egois. Aku mau egois, tapi gak bisa."
Gesa tarik tubuh Yasa. Dia dekap tubuh rapuh itu dengan erat. "Maaf ... maaf membawamu pada situasi ini ... maaf, karena kamu harus merasakan semua ini. Maaf ... Yas," bisiknya.
Rasanya, tangisan Yasa terdengar makin pilu. Tubuhnya bergetar dalam pelukan Gesa. Yasa sungguh lupa diri. Yasa lupa segalanya. Dia eratkan pelukannya pada Gesa. "Aku ingin egois dan benar-benar memiliki segalanya. Aku ingin dunia yang kamu miliki. Aku ingin jadi mimpi indah dalam tidur kamu, aku ingin menjadi nama yang selalu kamu gumamkan, dan aku ingin menjadi perempuan beruntung yang kamu miliki."
Gesa memandangi wajah Yasa dengan tatapan yang sukar untuk diartikan.
Yasa balas metapa wajah Gesa dengan linangan air mata. "Aku gak peduli jika itu kebohongan. Aku gak peduli jika itu hanya sebuah skenario. Aku ingin memilikinya. Aku ingin memiliki semua hal yang kamu miliki."
"Aku milik kamu, Yas. Aku milik kamu, Yasa Sabrina. Aku cinta kamu."
Akhirnya, perasaan tak tahu diri itu muncul dari keduanya. Yasa terlena karena kata cinta dari Gesa. Gesa terpikat pada keegoisan Yasa. Mereka ingin lebih dari sekedar kata-kata tanpa arti. Gesa sambut dengan senang hati saat Yasa menyerahkan tubuhnya. Gesa cumbu setiap jengkal tubuh Yasa. Gesa nikmati setiap lekuk tubuh Yasa.
Kekelaman malam itu terasa memudar saat cinta mereka menyatu dengan sempurna. Keinginan bertemu dengan tuntutan. Keduanya semakin tenggelam dalam keindahan masing-masing.
Kali ini, tak ada penolakan dari Yasa. Perempuan itu dengan suka rela memberikan segala hal yang dia miliki untuk Gesa. Persetan dengan sebuah transaksi. Yasa tak peduli dengan penderitaan Elfara. Yasa tak peduli dengan kondisi Elfara di sana. Yasa benar-benar ingin egois dan dengan bangga mengakui haknya pada dunia bahwa Gesa juga miliknya.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...