YASA hampir lupa sudah berapa hari dia ada di rumah sakit. Semerbak bau obat yang masuk ke indera penciumannya seakan menjadi hal yang biasa untuk Yasa. Hilir-mudik orang-orang terus bergantian datang dan pergi demi mengharapkan sebuah kesembuhan, menjadi pemandangan yang mulai familiar bagi Yasa. Dia duduk di samping berangkar Bapak. Kondisi Bapak memang jauh lebih baik dari sebelumnya.
“Neng ... maafin Bapak, ya.”
Bapak mulai berbicara, meski badannya masih terlihat begitu lemas. Yasa hanya bisa menatap sendu kedua manik lelah milik Bapak. Dia genggam tangan Bapak. Hatinya ikut terenyuh saat mendengar Bapak meminta maaf.
“Maafin Bapak ... Bapak terus ngerepotin kamu, Bapak nyusahin. Bahkan, di usia Bapak sekarang ... Bapak belum bisa jadi Bapak yang baik buat kamu sama Mala.”
Pria sepuh itu menghela napasnya sebentar. Dia usap kepala putrinya dengan penuh kasih sayang. Jemari kasar yang sudah termakan usia itu mulai menyusuri wajah cantik Yasa. Bapak usap wajah putrinya dengan setiap jemarinya.
“Maaf, Bapak yang sakit-sakitan ini terus jadi beban buat kamu. Maaf, karena kesalahan Bapak ... kamu harus berjuang sendirian. Maafin Bapak ya, Neng.”
Yasa menggelengkan kepalanya. Dia cium punggung tangan Bapak dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Yasa ikhlas ... Yasa ikhlas, Pak. Asal Bapak bisa sembuh, Mala bisa sekolah, dan kita bisa sama-sama.” Yasa tersenyum dengan air mata yang mulai berjatuhan. Dia tengah mencari penawar dari rasa sakit hatinya sendiri. “Yang terpenting ... Bapak terus do'akan Yasa. Supaya Yasa sehat, supaya Yasa kuat, terus bisa membagiakan Bapak sama Mala.”
“Selalu bahagia, itu do'a Bapak buat kamu, Yas.”
Yasa menganggukkan kepalanya. “Tapi, Bapak juga harus janji. Bapak harus bahagia untuk Yasa ... juga untuk Mala,” ucapnya.
Yasa tak bisa manahan dirinya lagi. Dia ingin tersedu-sedu dalam kesunyian tangisannya sendiri. Mungkin, seperti ini jalan hidup yang harus Yasa lalui. Dia pasrahkan segalanya pada takdir Tuhan. Apa pun yang Tuhan rencakan untuknya, Yasa terima. Karena, Yasa yakin. Rencana Tuhan akan sesempurna pencipta-Nya. Hal yang ada dalam do'a Yasa saat ini, hanyalah kesembuhan Bapak juga kebahagiaan Mala. Yasa tak menginginkan apa pun lagi.
Hanya itu.
“Pak … aku mau keluar dulu sebentar.”
Yasa pamit sambil menahan isak tangisanya dalam-dalam. Setelah mendapat anggukan kecil dari Bapak, perempuan berwajah ayu itu keluar kamar dan mulai menyusuri lorong rumah sakit. Tanpa sadar langkah kaki itu membawanya ke tempat yang pernah dia masuki, sebuah ruang operasi. Bukan hanya untuk menemani Bapak yang dirawat, tapi Yasa juga mulai melakukan proses bayi tabung di rumah sakit yang sama. Lebih tepatnya bersandiwara menjadi seorang perempuan yang akan melakukan prosedur bayi tabung. Karena, bagaimanapun prosedurnya, calon bayi Gesa dan Elfara yang akan Yasa kandung.
Berbagai macam prosedur sudah Yasa lalui demi menyamarkan praktik surogasi. Mulai dari pemberian obat kesuburuan, hingga operasi kecil untuk pengambilan sel telur. Sekarang, Yasa hanya tinggal menanti sel telur milik Elfara dengan sempurna terbuahi dan berubah menjadi embrio.
Yasa sempat berpikir, apakah yang dia lalukan menyalahi hukum atau tidak. Namun di saat yang sama, Yasa kembali menepis pikirannya. Persetan dengan sebuah hukum. Ternyata, tak hanya Yasa yang tunduk pada selembar kertas, dunia pun masih berada dalam genggaman formalitas. Segalanya hanya menginginkan bukti tanpa peduli bagaimana bukti itu didapatkan.
“Yasa, ya?”
Pertanyaan itu menyadarkan lamunan Yasa. Di sana, seorang dokter cantik ber-snelli putih dan sebuah stetoskop yang masih mengalung di ceruk lehernya. Yasa pandangi dokter itu. Wajah dokter itu memang tak secantik Elfara, tapi auranya begitu kuat. Karismanya sebagai seorang dokter begitu terpancar dari sorot matanya yang berwarna biru.
“Saya Ary,” ucap orang itu.
Yasa mengerjapkan matanya beberapa kali. Seingat Yasa, dia tidak memiliki teman atau kenalan bernama Ary. Apalagi, seorang dokter cantik seperti ini.
“Saya sahabatnya Gesa.” Kini, Ary mengulurkan tangannya.
Tanpa sadar, raut wajah Yasa berubah begitu saja. Sekali lagi, dia pandangi wajah Ary di sana. “Oh, Saya ... Ya-yasa,” ucap Yasa sambil menerima jabatan tangan Ary.
“Yasa, kita boleh ngobrol sebentar gak?” tanya Ary dan hanya dijawab anggukan kecil oleh Yasa. “Sambil jalan aja,” sambung Ary.
Yasa dan Ary jalan beriringan dan kembali menyusuri lorong rumah sakit. Awalnya, Yasa dan Ary hanya sekedar berbincang basa-basi. Sampai akhirnya, obrolan itu berhenti saat langkah kaki keduanya sampai di depan sebuah ruang rawat inap.
“Kamu sudah bertemu dengan Elfara, ‘kan?” tanya Ary.
Lagi-lagi, Yasa hanya menganggukkan kepalanya.
“Sekarang, dia di sana,” sambung Ary. Pandangannya mengarah pada pintu berwarna cokelat di sana, seakan mengisyaratkan bahwa Elfara ada di dalam ruangan itu.
Yasa ikut melongok ke dalam ruangan yang Ary maksud. Melalui celah kaca pintu, Yasa bisa melihat apa yang ada di dalam. Dengan jelas Yasa melihat Elfara terbaring lemah di atas brangkar rumah sakit. Di sana, juga ada Gesa. Pria itu duduk di samping Elfara tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. Samar-samar, Yasa juga melihat Gesa yang sepertinya menangis sambil menciumi tangan Elfara.
“Gesa itu keras kepala,” ucap Ary.
Yasa menolehkan kepalanya dan mengalihkan pandangannya pada Ary. Namun, Ary malah ikut memandangi Gesa dan Elfara dari balik pintu itu. “Saya sudah bosan mengingatkan Gesa kalau Elfara harus dirawat di rumah sakit. Tapi, Gesa dengan kepala batunya itu selalu bilang kalau Elfara baik-baik saja. Pria itu tak tega jika Elfara berjuang sendirian di rumah sakit. Padahal, semuanya demi kebaikan Elfara. Demi kesembuhan Elfara sendiri. Sekarang, jika sudah begini ... siapa yang harus disalahkan?”
Siapa yang harus disalahkan? batin Yasa ikut bergumam. Rasanya, terlalu egois jika menyalahkan Tuhan. Tiba-tiba, Ary menepuk pelan bahu Yasa.
“Yasa, ucapan Gesa memang tak pernah terdengar lembut. Wataknya yang keras, keegoisannya yang penuh ambisi, dan keangkuhannya ... tak bisa terkalahkan oleh siapa pun. Mungkin, sekarang kamu berpikir bahwa Gesa hanya menjadikan kamu sebagai alat untuk dia dan Elfara mendapatkan seorang keturunan. Tapi, tolong ... jangan beranggapan seperti itu. Saya tahu itu sangat sulit bagi kamu. Saya mengerti, hal itu begitu berat untuk kamu. Jika kamu tidak bisa melakukan pengorbanan itu demi Gesa. Jangan lakukan demi pria itu. Tapi, lakukan semuanya demi kemanusiaan.”
Yasa mencebikkan bibirnya. Rasanya, terlalu hormat jika apa yang Yasa lakukan disebut pengorbanan demi kemanusiaan. Kemanusiaan seperti apa yang dilandasi oleh sebuah transaksi. Bahkan, Yasa menerima sebuah bayaran untuk apa yang dia lakukan. Yasa tak gila hormat. Dia tak mau menjadi manusia yang memanusiakan manusia. Biarlah Yasa menjadi perempuan putus asa yang memang menjajakan rahimmya.
“Sebagai sesama perempuan, tolong bantu Elfara.”
Yasa tertawa kecil saat mendengar ucapan Ary. Sang dokter itu berbicara seolah Yasa hanya satu-satunya perempuan yang tersisa di muka bumi ini.
“Anda juga perempuan,” ucap Yasa.
“Benar.” Ary menganggukkan kepalanya. “Saya juga perempuan. Tapi, saya tidak sesempurna kamu, Yasa. Saya sama seperti Elfara. Bedanya, saya sudah menyerah,” tuturnya pelan.
Tiba-tiba, Ary tertegun sebentar. “Bukan, saya bukan menyerah. Tapi, saya sudah berdamai. Saya berdamai dengan keadaan. Saya berdamai dengan Tuhan saat Dia menciptakan saya menjadi perempuan yang tidak sempurna. Saya juga berdamai dengan takdir saat suami saya memilih untuk pergi. Saya sudah berdamai,” ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Yasa hanya membeku saat mendengarkan ucapan Ary. Ternyata, banyak sekali hati yang terluka di dunia ini.
“Tapi, Yasa ... semua orang punya cerita mereka masing-masing. Dan saya yakin, dalam cerita kamu sendiri, kamu adalah perempuan yang kuat dan memiliki kelapangan hati untuk berdamai dengan segalanya … Gesa itu sahabat saya dan sekarang kamu istrinya. Kalau bisa ... coba berdamai dengan Gesa.”
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...