YASA hanya bisa berdialog dengan dirinya sendiri. Tak ada figur lain yang Yasa cari. Tak ada yang hati lain bisa Yasa curi. Hanya sepotong hati yang menari dalam sanubari.
Kisah bersenandung elegi ini seakan menjadi alegori dari kidung kenestapaan. Nuraga terdesak oleh sesak. Lisan terbungkam oleh diam. Jiwa terbunuh oleh peluh. Sampai akhirnya tetes air mata yang kembali membiaskan akal sehat.
Yasa tak mau menangis seperti ini. Yasa juga tak mau kembali merengkuh pilunya seperti ini. Namun, langkahnya kian samar membawa diri. Yasa tak tahu ke mana jalan yang dia pijaki berarah. Mungkinkah sebuah anugerah ataukah pelampiasan dari sebuah amarah.
Satu hari yang teramat panjang telah Yasa lalui. Dalam gelap malam sekalipun, Yasa menyematkan sebuah harapan terang untuk hari esok. Dia pandangi pintu kamar yang terutup di depan matanya. Pintu itu yang sempat Gesa buka, tapi kembali ditutup rapat oleh figur yang sama. Gesa telah pamit dan membawa hati Yasa yang samar berdegup.
"Kita pikirkan lagi soal perceraian. Aku pamit dulu." Ucapan itu yang Yasa dengar dari Gesa sebelum pria itu pamit pulang ke Bandung.
Yasa sontak berdiri saat kenop pintu kamarnya dijamah seseorang di luar sana. Perempuan itu berdiri di depan pintu, menanti figur siapa yang akan netranya pandang.
Perlahan, pintu itu terbuka dan membiarkan sinar lampu dari luar menyelinap masuk dalam kamar Yasa yang penuh kegelapan. Yasa bisa melihat siluet seseorang dari bayangan sinar itu. Figur tinggi yang sedikit bongkok dengan jaket tebal yang membalut tubuhnya.
"Bapak," panggil Yasa pelan.
Wajah Bapak terlihat lelah bercampur kantuk. Rambut kelabu miliknya terlihat berantakan. Pria sepuh itu terlihat baru saja bangun dari tidurnya.
Yasa menoleh, mencari jam dinding di kamarnya. Benda yang berdetak itu menunjukkan pukul sebelas malam. "Bapak kebangun lagi? Kenapa? Bapak lapar atau haus?" tanyanya beruntun.
"Di bawah ada tamu, tapi Bapak gak tahu siapa."
"Tamu?" Yasa tak mengerti. Entah orang aneh mana yang bertamu hampir tengah malam begini. Perempuan itu mengkerutkan keningnya dengan pandangan yang menerawang jauh. "Bapak udah suruh masuk ke rumah?" tanyanya.
"Iya. Dia nunggu di ruang tamu."
"Bapak, gimana kalau orang itu berniat jahat. Mana ada tamu yang datang tengah malam begini, Pak?" Yasa cemas sekaligus khawatir. Dia keluar dari kamar dan melongok ke ruang tamu yang samar terlihat dari lantai atas.
"Katanya, teman kamu dari Bandung. Bule cantik, matanya hijau, rambutnya pirang. Katanya, seorang Dokter. Namanya siapa ya? Lupa lagi Bapak." Pria itu sepuh itu terlihat begitu kesulitan mengingat nama tamu mereka malam ini.
"Ary?" tanya Yasa.
"Iya, itu," sahut Bapak. "Bapak bangunin Mala dulu."
Yasa mengangguk. Dia lantas berjalan menuruni tangga ke ruang tamu.
Ternyata, benar. Di salah satu sofa itu, Ary duduk menunggu. Dokter cantik terlihat begitu tenang dengan buket bunga besar di sampingnya.
"Dokter Ary?" sapa Yasa.
Ary langsung berdiri dan mendekati Yasa. "Yas, maaf malam-malam begini aku malah bertamu. Tadi tuh sempat nyasar. Harusnya bisa nyampe jam 4 sore. Aku muter dulu ke daerah mana tuh gak tahu, pokoknya yang ada air terjun dekat helipad. Ternyata, rame juga di sana. Keasyikan nengok sunset, jadi kemalemam. Tadi, aku mau nelpon kamu, tapi gak aktif. Awalnya, mau ngasih kejutan, tapi malah menganggu orang tidur," jelasnya dengan ramah dan senyuman cantik di wajahnya.
"Tapi, kejutannya berhasil. Aku kaget, Dokter bisa sampai ke sini. Seriusan sengaja dari Bandung ke sini?"
Ary memeluk Yasa sekilas dan cipika-cipiki layaknya kawan lama yang baru bertemu lagi. "Serius dong. Aku khawatir. Setelah pulang dari rumah sakit, kamu gak ada kabar lagi. Makanya, aku ke sini. Mumpung gak ada tugas juga di rumah sakit. Sekalian cari suasana baru. Healing dikit."
"Ya, ampun, Dok. Saya terharu. Saya ganti nomor doang padahal." Yasa menuntun Ary untuk kembali duduk. "Duduk dulu, Dok. Perjalanan panjang, pasti capek. Mau nginep, 'kan? Gak mungkin langsung pulang lagi."
"Kalau boleh, mau nginep sih." Ary tertawa pelan.
"Boleh, lah. Nanti, aku tinggal lapor ke Pak RT." Yasa ikut duduk di depan Ary. Dia sungguh tak mengira akan kedatangan Ary seperti ini. Apalagi, Ary bawa mobil sendiri dari Bandung ke sini.
"Lapar gak? Mau makan?" tanya Yasa.
"Tadi udah beli makan, sebelum ke sini. Terima kasih atasa tawarannya."
Ary pandangi rumah Yasa sekilas. Rumah Yasa memang tak semewah rumah yang Gesa berikan itu Elfara. Namun, dengan melihat sekilas saja, Ary bisa merasakan kehangatannya di dalamnya. Ada beberapa potret lawas yang terpanjang di sana. Di sudut lain juga ada gambar Mala yang sengaja dipajang.
Ary menelan ludahnya dengan kasar saat melihat sebuah potret. Potret Yasa dan Gesa di hari pernikahan mereka. Memang tak ada kebahagian yang terpajang dalam potret kecil itu. Hanya ada dua orang yang berdiri berdampingan tanpa rasa ataupun tujuan yang sama.
Perlahan, Ary melabuhkan pandangannya pada figur Yasa. Sekarang, Yasa jauh berbeda. Tak hanya rambutnya yang pendek, sorot matanya juga jauh lebih kuat dari sebelumnya. Selama ini, Ary kira hanya dirinya yang mendapat ketidakadilan dari dunia. Ternyata, di dunia ini banyak hati yang terluka. Namun, di dunia yang sama pula, tak terhitung hati yang mampu pulih dan kembali bersemi indah.
"Dokter Ary, kamu dapat alamat saya dari mana?"
Pertanyaan Yasa benar-benar membuyarkan pikiran Ary. "Oh, aku minta dari Mamah. Eh, tapi gak apa-apa 'kan aku datang ke sini?" tanyanya.
"Aku senang malah."
"Oh iya, ini." Ary menyodorkan buket mawar yang dibawanya. Mawar merah muda itu disusun dan dirangkai begitu cantik nan megah. Bahkan, harumnya masih semerbak wangi.
Yasa terima bunga itu. Dia cium sekilas dan menetapnya dengan lekat.
"Yas, aku sungguh kagum." Ary kembali bersuara. Dia memandangi Yasa yang masih bergeming dengan selembar surat di tangannya. "kamu perempuan hebat yang pernah aku temui. Entah selapang apa hatimu hingga rela memberikan putrimu sendiri demi menolong perempuan lain. Sebagai seorang perempuan, aku merasa terhomat bisa mengenalmu seperti ini," tutur Ary.
Jantung Yasa seketika berdebar tak karuan. Dia menatap Ary dengan tangan yang bergetar. "P-putriku?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar.
"Awalnya aku terkejut, Yas ... tapi Diaz bilang kalau Elfara gak bisa memiliki keturunannya sendiri, sama sepertiku. Tapi, Elfara jauh lebih beruntung, karena ada kamu."
Yasa menggenggam tangan Ary. Tatapannya kian bingung karena pernyataan dokter cantik itu. Namun, deru napas Yasa tak bisa berbohong. Dia menggelengkan kepalanya.
"Dokter Ary, aku gak ngerti. Tolong, jelaskan semuanya."
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...