"Semuanya akan berakhir, termasuk cinta dan rasa sakit."
_____________________________________YASA bangun tidurnya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, menyesuaikan pandangan dengan cahaya lampu kamar yang masih menyala. Perlahan, Yasa membuka mata, lantas menolehkan kepala, melirik tempat Gesa tidur semalam. Yasa terdiam saat mendapati kalau Gesa sudah tidak ada di sana.
Yasa gulirkan matanya ke arah lain, mencari figur Gesa di kamar bernuansa putih milik mereka. Namun, pria berbadan tinggi itu luput dari penglihatan Yasa. Samar-samar, Yasa mendengar keran air yang menyala di kamar mandi. Yasa yakin ada seseorang di dalamnya.
Sambil mengumpulkan seluruh nyawa selepas berkelana dalam mimpi yang begitu indah, Yasa bangkit dari posisi tidurnya. Dia terduduk dan kembali menatap sekililing kamar. Sampai akhirnya, pandangan sayu milik Yasa berlabuh pada figur Gesa yang baru keluar dari kamar mandi. Pria itu tersenyum kecil, menyambut pagi Yasa.
"Selamat pagi," begitu katanya.
Yasa tersenyum tipis. Melihat Gesa yang sudah rapi, Yasa hanya bisa menerka kalau Gesa akan pergi pagi ini juga. Tanpa bertanya sekalipun, Yasa tahu ke mana Gesa akan pergi dan siapa yang menjadi tujuan Gesa.
"Selamat pagi," balas Yasa. Dia berjalan gontai menuju kamar mandi untuk sedikit menyegarkan diri dengan membilas wajahnya dengan asal. Sesekali, Yasa melirik Gesa yang kini berkutat sendiri untuk mengemas barang bawaanya. Sebenarnya, tak banyak yang Gesa bawa. Hanya laptop dan beberapa perintilan kecil seperti kacamata, masker, dan jam tangan.
"Aku harus ke Bandung. Kamu jaga diri baik-baik di sini. Selalu kasih aku kabar. Kalau ada apa-apa, harus telpon aku."
Rasanya, Yasa sudah hapal dengan kalimat-kalimat itu. Itu pesan yang selalu Gesa minta sebelum dia pergi menemui Elfara. Memang sudah lama Gesa tak pulang ke Bandung. Namun, sekalinya pria itu pergi ke sana, dia seakan lupa untuk kembali ke sini.
Sambil mengeringkan wajahnya dengan handuk, Yasa mulai mendekati Gesa. Dia rapikan baju Gesa yang tak sengaja terlipat di bagian punggungnya. "Hati-hati di jalan. Kabari kalau udah sampai," ucapnya.
"Pasti."
Lagi-lagi hanya senyuman kecil yang Yasa lihat dari Gesa. Entah ke mana perginya hangatnya senyuman Gesa seperti tadi malam. Entah kemana perginya kata-kata manis Gesa untuk Yasa seperti tadi malam.
"Sebelum pergi, mau sarapan dulu gak?" tanya Yasa.
"Aku buru-buru," sahut Gesa.
Yasa mengangguk paham. Dia mengekori Gesa untuk keluar rumah. Ternyata, pria itu sudah memanaskan mobil di pekarangan rumah. Mobil hitam itu seakan sudah siap memisahkan Yasa dan Gesa saat ini juga.
Kini, keduanya berdiri di beranda rumah tanpa mengatakan apapun. Hanya pandangan yang berakhir pada pandangan. Tiba-tiba Gesa berjongkok dan melabuhkan ciumannya di atas perut Yasa yang masih terhalang kaos besar milik Gesa. "Ayah pergi dulu, jaga bunda kamu di sini," bisiknya pelan.
Jujur saja, Yasa antara mendengar dan tidak mendengar ucapan Gesa. Pikiran Yasa lebih dulu terganggu oleh kondisi Elfara. Entah bagaimana keadaan Elfara kali ini hingga mampu merebut senyuman Gesa untuk Yasa.
Ternyata, semanis apapun Yasa memperlakukan Gesa di sini, sehangat apapun Yasa meluapkan perasaannya di sini, Yasa selalu kalah oleh kondisi Elfara di sana.
Sumpah demi Tuhan, Yasa tidak berniat untuk merebut Gesa dari Elfara, tapi Yasa ingin membohongi dirinya sendiri. Dia ingin berbohong dengan percaya pada tipuan kasih sayang Gesa. Kasih sayang yang terkadang seakan nyata, tapi nayatanya hanya bias dari sebuah hubungan dan transaksi.
Kabut pagi masih berbekas di beberapa sudut pandangan. Udara dingin masih menyeruak hingga sanubari. Yasa menutup matanya saat hangatnya bibir Gesa berakhir di keningnya. Yasa biarkan perasaan bahagia itu muncul sejenak. Yasa biarkan keinginan akan cinta itu muncul sebentar. Diam-diam, Yasa meremat ujung kemeja hitam yang kini Gesa kenakan.
Hembusan napas Gesa lagi-lagi membuat Yasa terjatuh. Dalamnya tatapan Gesa lagi-lagi memaksa Yasa untuk terus kalah. Segarnya aroma mint yang hangat terasa menyiksa saat bibir mereka bersentuhan meski begitu singkat.
"Aku akan kembali."
Hanya kalimat itu yang Gesa ucapkan untuk Yasa. Entah sebuah janji atau harapan. Hal yang pasti adalah waktu yang akan menjawab sekaligus mengakhiri segalanya.
Gesa berjalan dengan tergesa ke pekarangan rumah dan segera masuk ke dalam mobil. Dengan cepat, dia parkirkan mobil itu untuk keluar dari pekarangan rumah.
Yasa hanya bisa memandangi mobil Gesa yang mulai menjauh. Dia terus menatap bagaimana roda mobil itu bergulir sampai akhirnya hilang di pelupuk matanya.
"Yas ...."
Suara Bapak mengalihkan pikiran Yasa. Dia pandangi figur sepuh yang berdiri di ambang pintu rumah.
"Pak Gesa pergi lagi?" tanya Bapak. Dia mendekati Yasa dengan sorot mata yang syarat akan makna. Anggukan kecil dari Yasa hanya Bapak balas dengan tatapan penuh kasih sayang.
Bapak usap rambut panjang Yasa. "Akhir-akhir ini, Bapak lihat kamu begitu dekat dengan Pak Gesa," ucapnya. Bapak menggelengkan kepalanya sekilas. "Bukan Bapak tak suka. Hanya ... Bapak takut kamu terluka, Yas ...."
Yasa tersenyum kecil. Jika luka itu mampu menghancurkan hati Yasa. Sudah sejak lama hati Yasa tiada. Sudah sejak lama hati Yasa hancur.
"Bapak takut, kamu lupa. Kamu lupa siapa Pak Gesa dan apa tujuannya. Dia pria beristri. Pada akhirnya dia tetap kembali ke tempatnya ... dan tempat itu bukan di sini ... juga bukan kamu."
Bukan niat hati Bapak untuk mematahkan hati Yasa, tapi akan lebih baik jika Yasa sadar sebelum dia terjatuh lebih dalam.
"Aku mengerti maksud Bapak. Aku juga gak lupa dengan tujuan Pak Gesa. Aku tahu siapa aku dan aku tahu siapa Pak Gesa. Dia hanya ingin bayi ini." Yasa tatap manik yang begitu dalam milik Bapak. Dia raih tangan Bapak. Yasa bawa tangan yang sudah termakan usia itu untuk menyentuh wajahnya. Yasa tersenyum saat menyadari hangat tangan Bapak masih sama.
"Tapi, Pak ... boleh gak ... untuk saat ini, kita bersandiwara. Percis seperti saat aku masih kecil. Kita bersandiwara punya sebuah kerajaan yang megah. Bapak rajanya dan aku putri raja yang punya kekuatan ajaib. Sekarang, kita bersandiwara lagi seperti hari itu. Bersandiwara kalau aku dicintai dengan tulus, bersandiwara kalau tujuan penikahanku adalah kebahagiaan, juga bersandiwara kalau anak yang aku kandung adalah anakku sendiri ...."
Yasa menghela napasnya sebentar. Dia menatap langit-langit rumah, menahan air matanya yang mungkin akan terjatuh dari pelupuk matanya.
"Bapak ... semua hubungan pasti akan berakhir. Entah karena waktu atau keadaan. Anggap saja hubunganku dan Pak Gesa juga sesempurna hubungan orang lain. Bedanya ... kesempurnaan milikku lebih cepat berakhir."
"Yas." Bapak sungguh telah kehilangan kata-katanya. Bapak usap air mata yang mengalir dari indahnya manik legam milik putrinya.
"Sampai bayi ini lahir, sampai bayi ini lahir aku ingin dicintai dengan tulus. Sampai bayi ini lahir aku ingin merasa berharga untuk seseorang ... dan sampai bayi ini lahir ... biarkan aku memiliki segalanya. Entah cinta atau kebohongan."
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .
![](https://img.wattpad.com/cover/313366127-288-k273298.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
Roman d'amourKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...