23. Marginal

24.5K 1.7K 72
                                        

“Ada yang saling mencinta, tapi tidak bisa bersama. Ada pula yang hanya berstatus, tapi tidak saling memiliki. Di mana pun posisi kita saat ini, aku tetap menginginkanmu.”
_____________________________________

GESA buru-buru memarkirkan mobil di parkiran sebuah klinik kecil. Langkahnya begitu tergesa saat keluar dari mobil. Pria itu berlari tanpa memperdulikan hujan yang kian deras menyapu bumi.

Tetesan hujan yang perlahan membasahi tubuh Gesa memaksanya untuk kembali mengulang kenangan buruk yang tak pernah mau dia ingat kembali. Namum, semakin dalam tetesan hujan itu menembus kesadaran Gesa, semakin jelas ingatan Gesa akan kepahitan itu.

Gesa ingat, waktu itu dia berlari ke sebuah klinik untuk bertemu Elfara. Di bawah hujan deras yang sama, kala itu Gesa tak henti melantunkan do'a, berharap tidak terjadi apa-apa pada Elfara.

Entah kenapa, hari itu Gesa harus sibuk dengan pekerjaanya. Dia hanya meng-iya-kan saat Elfara meminta izin keluar rumah. Sampai akhirnya, hanya sebuah pesan yang Gesa terima. Seseorang menelpon dan memberi tentang Elfara.

“Pak Gesa, Bu Elfara jatuh di depan rumah saya.”

Ternyata, itu bukanlah kabar sepele. Dunia Gesa dan Elfara runtuh hari itu juga. Ternyata, Bukan hanya Elfara yang jatuh, tapi harapan dan cita-cita mereka.

Sekarang, segalanya terasa terulang kembali. Gesa tak bisa menepis pikiran buruknya setelah mendapat kabar, “Bu Yasa jatuh pingsan.”

Berbagai macam pikiran buruk hinggap di kepala Gesa. Berbagai macam do'a dia lantukan kembali dalam lerung hatinya. Gesa tak mau kembali terjatuh untuk kedua kalinya. Gesa tak siap jika dunianya kembali runtuh. Entah harus sekuat apa hati Gesa untuk kembali mengulang kesakitan itu.

Langkah Gesa yang kian berat akhirnya membawanya masuk ke tempat mengerikan itu. Gesa tak bisa menopang tubuhnya lagi. Dia tertegun saat melihat Yasa berdiri di depan sana. Entah bahagia atau sedih, rasanya Gesa ingin menangis saat melihat Yasa baik-baik saja. Perempuan cantik itu masih mampu memamerkan senyumannya, meski dengan warna wajah yang begitu pucat.

“Yas ...,” panggil Gesa. Dia berjalan mendekati Yasa. Dia dia tatap manik legam Yasa dengan pupil mata yang bergetar. “Mana yang sakit?”" tanyanya.

Yasa tak mengerti kenapa Gesa sekalut ini. Bahkan, suaranya terdengar bergetar saat berucap.

“Saya baik-baik aja,” ucap Yasa.

Gesa menundukkan kepalanya sebentar sebelum dia hirup udaranya begitu dalam. Dia tatap sekali lagi wajah Yasa di sana.

“Bayinya juga baik-baik aja,” ucap Yasa lagi.

Gesa bawa Yasa dalam pelukannya. Dia dekat tubuh itu dengan erat. “Terima kasih ... terima kasih karena kamu baik-baik aja,” ucapnya dengan parau.

Sekarang, Yasa bisa merasakan hangatnya dekapan Gesa. Yasa tak bisa memungkiri bagaimana lembutnya suara Gesa saat berucap. Yasa juga bisa tak buta untuk merasakan bagaimana tubuh Gesa masih bergetar. Tanpa sadar, Yasa balas pelukan itu. Yasa dekap tubuh Gesa begitu erat. Perlahan, tangannya bergerak, menepuk punggung kokoh Gesa yang kian bergetar.

“Bu Yasa hanya kelelahan.”

Ucapan sang dokter menginterupsi Gesa dan Yasa di sana. Keduanya menoleh, menatap dokter perempuan yang baru saja keluar dari ruangannya. Perlahan, Yasa melepaskan pelukan Gesa. Di berdiri canggung di samping pria itu.

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang